Halaman

Mei 05, 2012

BERHARAP PADA SAUDARA CHINA.


(Dari 'Magelang Night Carnival').



Oleh Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 30 April 2012. Tidak semua sajian acara HUT Kota Magelang 2012 berujung pada pesimisme. Setidaknya masih ada “Magelang Night Carnival” (MNC), yang berlangsung pada Sabtu malam,  21 April 2012, di sepanjang jalan Pemuda, Magelang.
Merujuk pada judulnya kita pantas curiga acara ini juga sekedar mengekor ‘Jogya Nite Carnival 2011’ (JNC). Namun kalau kita menarik sejarah pada awal 1960-an, permainan barongsay atau liong samsy seringkali diselenggarakan malam hari di sepanjang Pecinan, yang kini disebut jalan Pemuda itu. Apalagi kalau melihat materi utama MNC yang dipenuhi unsur atau sajian budaya China, maka kecurigaan sekedar mengekor JNC pantas dikesampingkan.
Mungkin lebih tepat kalau MNC adalah revitalisasi tradisi budaya China di Magelang. Hal ini sesuai dengan pengakuan Jimmy Lo, Ketua Panitia MNC, yang mengakui kalau acara ini merupakan inisiatif warga keturunan China Magelang. Inisiatif ini sebagai respon atas permintaan Walikota Sigit Widyonindito agar warga keturunan ikut memeriahkan HUT kota di mana mereka tinggal.
Secara obyektif hajatan MNC tergolong sukses. Pesertanya cukup banyak memenuhi sepanjang jalan Pemuda yang menjadi rute karnaval. Bahkan barongsay yang katanya panjangnya 100 meter ikut menjadi peserta. Penontonnya pun berjubel memenuhi trotoar hingga meluber ke jalanan sepanjang jalan utama Kota Magelang itu.
Namun secara subyektif, dari kacamata saya, masih banyak kekurangan yang harus dibenahi untuk bisa dikatakan sukses. Atraksi jalanan (street-performance) yang menjadi sajian utama berlangsung kurang optimal. Tiga titik arena yang menjadi arena atraksi, yakni di sekitar patung Adipura, pertigaan Tengkon, dan jalan Alun-alun Timur terlalu banyak dijubeli penonton, sehingga peserta tak leluasa unjuk kebolehannya.
Di tiga titik itu juga tak dipersiapkan sarana teknik sebagai pendukung atraksi. Tak ada tata-lampu atau pengeras suara tambahan yang disediakan panitia untuk memberikan efek keindahan dan pembesaran yang dibutuhkan atraksi jalanan.
Hanya beberapa peserta, khususnya yang bertumpu pada mobil hias, yang telah memperhitungkan sarana teknis itu. Mereka memenuhi mobil itu dengan lampu warna-warni sehingga terlihat indah dan menarik perhatian.  Tata suaranya pun tergolong bagus dan berkapasitas besar sehingga mampu mengimbangi riuh rendah penonton, bahkan memancing penonton untuk mendatangi mobil hias itu.
Namun kalau didekati keindahan mobil hias itu nampak semu. Karena bunga yang digunakan untuk menghias bodi mobil ternyata hanya bunga plastic atau kertas. Hal ini tentu tak sejalan dengan slogan ‘Magelang Kota Sejuta Bunga’ yang dicanangkan Pemkot Magelang. Tentang hal ini akan saya tulis secara khusus.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, hajatan MNC ini pantas menjadi harapan. Kalau dikembangkan secara tepat maka MNC bisa menjadi hajat budaya yang mampu menjadi branding bagi Kota Magelang, dan bersaing dengan kota-kota lain seperti Jember Carnival dan Solo Batik Carnival.

Beberapa nilai positif yang menjadi asset MNC antara lain:

·  * Partisipasi warga keturunan China Magelang sebagai penyelenggara dan peserta utama MNC. Seperti kita ketahui, selama rezim Soeharto berkuasa  32 tahun, warga keturunan China bisa dibilang pasif dalam segala hal, khususnya dalam bidang politik social kebudayaan. Keikutsertaan itu tentu tak hanya sebagai peserta, tapi juga dalam hal pendanaan yang selama ini menjadi masalah bagi komunitas senibudaya di Magelang. Praktis tak pernah ada dana bantuan pemkot bagi kelangsungan dan pengembangan senibudaya di kota gethuk itu.
Jadi dengan ‘turun gunungnya’ saudara-saudara China ini kita bisa berharap kelangsungan MNC akan terjamin.

·  * Partisipasi warga dan komunitas senibudaya yang cukup beragam, khususnya beberapa satuan TNI seperti Armed dan Kostrad yang menurunkan tim barongsay-nya. Ini menarik. Selama ini militer dianggap hanya berurusan dengan budaya kekerasan. Maka dengan terjunnya mereka bersenibudaya maka diharapkan hati nurani para tentara itu menjadi lebih lembut, dan bisa lebih mengkedepankan aspek kemanusiaan dalam menangani masalah keamanan/pertahanan, khususnya ketika harus berhadapan dengan rakyatnya sendiri.
Suatu ketika saya berharap, sedulur-sedulur serdadu itu tak hanya memainkan barongsay. Tapi juga sigap dalam menarikan Topeng Ireng atau Soreng. Sebaliknya, saudara CVhina kita itu tak hanya jadi panitia atau menyediakan dana, tapi juga turun langsung sebagai peserta atau penari barongsaynya. Tidak seperti sekarang ini, sebagian besar penari barongsay-nya adalah pribumi termasuk para serdadu itu.
Fenomena ini menarik dicermati. Bagaimana kebudayaan China bangkit kembali di Indonesia, tapi pelakunya justru para pribumi. Jangan-jangan suatu ketika, saudara-saudara China itu harus belajar pada para pribumi kalau mau menari barongsay atau bermain ‘Opera Beijing’.
Saya jadi teringat suatu kelompok wayang orang di Solo, yang anggotanya justru China semua. Pembauran itu sungguh-sungguh terjadi lewat jalur kebudayaan. Kalau itu terjadi….wah batapa indahnya hidup berkeberagaman di Magelang.
·  * Ribuan penonton yang memenuhi jalan Pemuda ketika MNC berlangsung. Dalam konteks komunikasi pemasaran, ribuan atau berjubelnya penonton adalah potensi untuk menjaring sponsor. Apabila banyak sponsor terjaring alias dana terkumpul secara memadai, maka hajatan ini bisa diadakan secara kontinyu dan professional.
Dengan demikian pendanaan yang mengandalkan kelompok tertentu, dalam hal MNC adalah warga keturunan China, bisa dikurangi kalau tak bisa dihilangkan. Penyelenggaraan MNC nantinya bisa lebih independen.

Setelah segenap potensi itu dikembangkan dan dikelola secara baik, maka beberapa pengembangan yang semestinya dilakukan antara lain;

·  * Pembenahan sarana teknis seperti tata-lampu dan tata-suara, setidaknya di tiga titik yang digunakan peserta beratraksi.
·* Dekorasi bernuansa China di sepanjang jalan Pemuda. Saya masih ingat, dulu awal th 60-an, toko-toko di Jalan Pemuda memasang lampion saat pesta barongsay berlangsung. Di antara lampion itu juga tergantung angpao (bingkisan, biasanya berisi uang). Lalu dalam atraksinya para barongsay itu mencaplok angpao itu. Sungguh…kenangan yang indah.
· * Tiga titik arena beratraksi harus dibenahi, khususnya dari serbuan penonton. Kalau perlu dipagari agar peserta bisa beratraksi secara optimal.
Pagar ini tentu fungsinya berbeda dengan pagar saat sendratari atau wayang kulit berlangsung di alun-alun, yang membatasi atau membedakan (hak menonton) antara elit dan rakyat.
· * Hajatan ini akan semakin komplit kalau unsur-unsur budaya China yang lain juga ditampilkan. Seperti parade kuliner China. Mungkin bisa memanfaatkan jalanan sepanjang Tengkon atau jalan Jenggala menjadi semacam ‘Kya-Kya’ di Surabaya, atau gang Lombok di Semarang. Dua tempat itu menjadi ikon kuliner apabila wisatawan mengunjungi kedua kota itu.
·      Budaya China yang juga pantas dihidupkan kembali adalah pementasaran ‘Wayang Po Te Hi’ dan tari-tarian China di klentheng Liong Hok Bio. Pementasan wayang golek China dan taria-tarian  itu dulu rutin dipentaskan, sebelum dilarang oleh rezim orde-baru yang melarang unsur-unsur budaya China berkembang di Indonesia.
· * Promosi yang efektif dan murah, yang tak hanya ditujukan bagi warga Magelang sendiri. Tapi juga bagi masyarakat luas, bahkan hingga ke luar negeri. Toh saat ini, kita bisa melakukan promosi dan sosialisasi secara tepat guna lewat berbagai media social (online) yang terbukti murah dan efektif.

Sesungguhnya keterlibatan saudara China Magelang dalam pengembangan kebudayaan sudah berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Salah satu lokomotif kebangkitan senirupa Indonesia, khususnya di tahun 2000-an, adalah China-China Magelang. Selain Oei Hong Djien (OHD) yang mendirikan ‘Museum Senirupa Indonesia’ yang dianggap terbesar di dunia, puluhan kolektor dan kolekdol (art-dealer) yang notabene adalah China Magelang, yang memiliki peran penting dalam bisnis senirupa Indonesia sekarang ini.
Kebetulan, dalam di bulan April 2012, ini para kolektor dan kolekdol itu ikut ‘merayakannya’ HUT OHD dan peresmian museum ke 3-nya, dalam bentuk ‘Magelang Arts Event’ (MAE). Event senirupa besar-besaran itu mewujud dalam bentuk pameran bersama yang berlangsung di sekitar 10 museum dan galeri yang ada di kota dan kabupaten Magelang. Lebih 200 karya dan perupa ikut meramaikan hajat budaya yang tergolong terbesar di Indonesia itu. Wah….
Jadi kalau seluruh acara yang berlangsung di bulan April bisa terintegrasi secara kompak, pastilah ‘April Extravaganza’ ini akan mengangkat pamor Magelang di bidang kebudayaan di level nasional. Demikian pula, dalam konteks pengembangan pariwisata, tak mustahil Magelang akan mendapat brand sebagai ‘Kota Wisata Senibudaya’. Dan kita pantas berharap turis-turis local mau pun manca akan berbondong-bondong menyambangi kota tercinta ini.
Namun, yang perlu diingatkan, kita juga jangan sampai terlena, atau keenakan karena kegiatan kebudayaan di Magelang terus-menerus mengandalkan saudara China. Jangan sampai kita dicap hanya pinter ‘nadah’, dan kemudian secara kebudayaan dikendalikan oleh saudara-saudara kita itu. Seperti yang terjadi dengan elite politik, termasuk pemkot Magelang, yang banyak disinyalir dikendalikan ‘lima naga’ (bolinks@2012).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar