Salah satu adegan dari film 'Langit Merah Bulan Juni', produksi Komunitas Jeda, yg mengangkat situasi Pasar Rejowinangun pasca kebakaran 3 tahun lalu (foto 01).
.
Oleh: Khalimatu Nisa
Borobudurlinks, 29 Desember 2011. Beberapa masalah yang sering muncul terkait dunia perfilman dokumenter diangkat menjadi bahan diskusi ‘Film Dokumenter dan Permasalahannya’ dalam Pekan Film Dokumenter Magelang (PFDM), Minggu (24/4) lalu. Diskusi diikuti sekitar 30 kaum muda yang berasal dari wilayah Kabupaten Magelang. Ada juga dari Medan, Banjarmasin, Semarang, dan Klaten. Mereka adalah pelajar SMK yang sedang PKL di GrabagTV. Seniman dan kaum muda Kota Magelang justru tak terlihat memanfaatkan forum yang cukup menarik ini.
Seorang peserta mengajukan sebuah pertanyaan fundamental tentang sisi unik film dokumenter ketimbang film fiksi. Film fiksi ia akui lebih mencuri minatnya karena memiliki peluang kreativitas tak terbatas sebagai sebuah produk imajinasi. Sedangkan film dokumenter, menurut dia, terbatas sebagai suatu upaya menyampaikan pesan-pesan tertentu lewat realita yang ada.
Ginanjar Teguh Iman, salah satu finalis Eagle Award 2009, pembuat film ‘Dunia Kecil Dalam Kotak’ menyatakan bahwa di luar subjektivitas individu, film dokumenter menjadi unik justru berkat realitasnya. “Dalam film fiksi, ketika kita menjumpai adegan seseorang menangis,” ungkapnya, “itu adalah akting. Sedangkan dalam film dokumenter, tangisan itu nyata.” Disamping alasan umum itu, Ginanjar menambahkan bahwa tiap-tiap film dokumenter memiliki spesifikasi keunikan masing-masing. Hal itu, tergantung dari proses kreatifnya.
Tentang upaya membuat film dokumenter menjadi unik, Yohannes Aditya, Pemenang Festival Film Dokumenter Yogyakarta 2005, mengemukakan pendapatnya bahwa ada dua cara yang bisa digunakan. Pertama adalah dengan mencari kasus yang spesifik dan memiliki keunikan tertentu. Misalnya seperti dalam film finalis Eagle Award 2010 lalu yang berjudul ‘Kepala Sekolahku Pemulung’. Seorang Kepala Sekolah yang merangkap sebagai seorang pemulung bukanlah hal yang wajar, sebab itulah, ia menjadi unik.
Cara yang kedua adalah dengan menggunakan sudut pandang yang unik dalam melihat suatu kasus yang sifatnya umum. Dalam hal ini, Hartanto, pengasuh Grabag TV, yang juga seorang dosen IKJ, memberi contoh misalnya dengan membuat film tentang kesalahkaprahan masyarakat tentang penggunaan kata ‘kami’ dan ‘kita’. Fenomena itu telah membudaya dalam masyarakat Indonesia sebagai suatu bentuk kecacatan berbahasa, akan tetapi, melalui dokumenter, kita bisa melihatnya dari sudut pandang psikologis bahwa kini, dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia, mereka mengasumsikan orang lain sebagai bagian dari dirinya juga. Melalui sudut pandang yang berbeda itulah, suatu film dokumenter bisa digolongkan sebagai suatu karya unik.
Sisi-sisi kehidupan tunanetra yang diangkat Johanes Aditya dalam film "Againts Incapable" (foto 02).
Mekanisme pembuatan film dokumenter, turut dibahas pula dalam diskusi tersebut. Berbagi pengalaman yang didapatnya dari Metro TV, Ginanjar mengemukakan bahwa alur yang digunakannya setelah mendapatkan ide untuk membuat film dokumenter dengan tema tertentu adalah dengan membuat skenario, mengumpulkan informasi melalui pengambilan shot, membuat transkrip dari shot-shot yang ada, menyusun alur akhir dengan mengombinasikan skenario awal dan informasi/shot yang didapat hingga akhirnya masuk ke tahap finishing.
Diakuinya seringkali skenario yang telah dibuat tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, “Memang, itulah dokumenter. Sebenarnya kita bukan membuat skenario, melainkan sekedar storyline atau gambaran umumnya saja ,” jelas Ginanjar.
Pembuat film dokumenter sering pula mengalami kesulitan dalam menentukan narasumber yang tepat dan bisa merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya dengan sesuai. Adapun narasumber bisa digolongkan menjadi dua, yang pertama adalah narasumber individu sedangkan yang lain adalah narasumber komunal, misalnya suatu komunitas. Tidak ditemui kesulitan yang berarti ketika yang kita hadapi adalah narasumber individu. Seperti dalam film ‘Kepala Sekolahku Pemulung’, subjek yang menjadi tokoh sentral sudah jelas, yaitu kepala sekolah.
Sedangkan dalam kasus kelompok, Mualim M. Sukethi memaparkan teknik yang pernah digunakannya dalam pembuatan film ‘Ecofish, Case From Buleleng’, sebuah film pesanan LEAD Indonesia yang berkisah tentang upaya pemulihan terumbu karang yang selama ini hancur akibat perburuan ikan hias yang dilakukan para nelayan di Buleleng, suatu wilayah di bagian utara Pulau Bali. Trik yang ia pakai adalah dengan memilih tokoh sentral yang dapat mewakili kehidupan suatu komunitas.
Salah seorang nelayan ia ikuti kegiatannya sejak pagi hingga petang, sehingga kemudian tampak interaksi dengan nelayan-nelayan yang lain (one day in the life…). Selanjutnya, dalam film tersebut, tiap pernyataan dari si tokoh sentral ia konfrontir dengan pihak-pihak yang terkait akan hal itu. Sehingga keterlibatan mereka, misalnya LSM, Pemerintah, dll akan terlihat di dalam film.
Masalah muncul ketika seorang filmmaker harus menciptakan tokoh sentral dengan memilih satu dari sekian banyak orang yang mungkin. Dalam hal ini, pendekatan yang dilakukan Mualim adalah daerah asal dan pengaruh dalam komunitas. Ketika di Buleleng ia menjumpai kebanyakan nelayan adalah mereka yang bermigrasi dari Madura. Tapi ia tidak memilih tokoh utama dari etnis Madura. Ia memilih seorang nelayan pribumi Bali dan tentu saja, termasuk artikulatif dalam kelompoknya. “Rasanya kurang fair kalau kita pilih nelayan Madura, padahal kita mengangkat kehidupan nelayan di pulau Bali, “ alasan Mualim.
Lain halnya dengan Yohannes Aditya, filmnya yang membanggakan, ‘Against Incapable’, dalam menentukan tokoh sentralnya ia menggunakan pendekatan kemampuan interaksi dan tingkat intelektualitas. Dalam film yang berkisah tentang kehidupan sosial kaum tunanetra itu, ia memilih seorang tokoh sentral yang mampu bercerita dengan fasih dan memiliki bakat-bakat tertentu yang unggul dibanding sesamanya (bolinks@2011).
*). Khalimatu Nisa adalah siswi SMUN 1 Magelang. Ia adalah pembuat film ‘Langit Merah Bulan Juni’, yang bercerita tentang Pasar Rejowinangun pasca kebakaran Juni 2008. Dalam acara ‘Pekan Film Dokumenter Magelang 2011’, Nisa ikut menjadi panitia sebagai seksi diskus sekaligus MC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar