Halaman

April 25, 2011

MENUJU KOTA FILM (Laporan dari ‘Pekan Film Dokumenter Magelang 2011’).


Oleh: Myasa Poetika.

Borobudurlinks, 25 April 2011.
Banyak kalangan yang kurang percaya kalau film-film yang mereka saksikan malam itu adalah buatan siswa/I SMU dan SMP. Begitulah suasana yang terekam dari beberapa orang yang hadir pada pembukaan ‘PEKAN FILM DOKUMENTER MAGELANG 2011’, ketika dua film berjudul ‘Langit Merah Bulan Juni’ dan ‘Kotaku Kota Patung’ selesai diputar.
“Benar film itu buatan anak SMP ? “, tanya Bambang Eka Prasetya, seorang deklamator sekalgus pengusaha property, yang malam itu datang bersama istrinya, Mbak Nies, mantan anggota DPRD Kabupaten Magelang. “Gambar-gambarnya bagus ya…”, sergah Mami Kato, warga Jepang pemilik Studio Mendut.
“Film ‘Kotaku Kota Patung’ memang dibikin oleh Dini dkk, siswa/i sebuah SMP di kota Muntilan. Film itu dibuat dalam rangka lomba Kid Witness News yang diadakan sebuah merk produk elektronik, “ jelas Mualim M Sukethi, penggagas acara yang sekaligus Pemred borobudurlinks.com. Mendengar penjelasan itu, kedua aktivis kebudayaan Magelang itu nampak kagum.
Mualim juga menjelasakan kalau dari kawasan Muntilan muncul beberapa karya film yang bagus. Setidaknya pada pekan film kali ini, selain ‘Kotaku Kota Patung’, juga diputar ‘Againts Incapable’, karya Johanes Aditya yang memenangkan predikat film terbaik pada ‘Festival Film Dokumenter Jogyakarta 2005’.
“Mungkin suatu ketika Muntilan bisa mewakili Magelang Raya sebagai kota film, “ ujar Mualim, seraya menyebut beberapa judul film pendek karya beberapa komunitas film di kota ‘tape ketan’ itu, yang memenangkan beberapa penghargaan saat ‘Festival Film Pendek Tidar 2010’ lalu. “Yang jelas kualitas teknisnya jauh lebih bagus dari rata-rata film yang dibuat ‘saudaranya’ dari kota Magelang, “ puji Mualim lebih lanjut.

Pujian dan harapan memang bermunculan dari para hadirin yang jumlahnya cukup banyak pada pembukaan pecan film ini. “Lewat pengalaman mengelola forum seperti ini, kami berharap suatu ketika kami bisa mengadakan festival film yang bertaraf nasional bahkan internasional di Magelang, “ kata Ginanjar Teguh Iman, Koordinator Acara, dalam sambutannya. Ginanjar yang masuk final ‘Eagle Award 2009’ lewat filmnya “Dunia Kecil Dalam Kotak’, adalah penyelenggara ‘Festival Film Pendek Tidar 2010’.
“Semoga acara semacam ini mampu mendorong seniman film dari Magelang berkarya lebih baik lagi. Sehingga kehidupan senibudaya Magelang makin dinamis, “ sambut Edi Wahyanto, Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) kota Magelang. Selain Edi, nampak hadir Catur Sawahyo (Sekretaris Disporabudpar), Hartanto (mantan dekan FFTV-IKJ dan pendiri GrabagTV), Sutanto (Komunitas 5 Gunung), Sutrisman MSc (Akademi Magelang), Mbilung Sarawita (DKKM), Gepeng Nugroho (sutradara teater), dan Dorothea Rosa Herliany (penyair, Pengelola Rumah Buku Dunia Tera).
Sementara beberapa perupa Magelang ikut meramaikan perhelatan malam itu, antara lain: Deddy PAW, Damtoz Andreas, Kaji Habib, Untung Laluna, dan Wahudi. Tiga nama terakhir adalah pengelola ‘Magelang Art Pop-pourri’, yang menjadi mitra borobudurlinks sebagai penyelenggara hajatan budaya ini.
Selain memutar film, acara pembukaan malam itu juga diramaikan oleh performing-art Eka Pradaning, seorang penari pemimpin Padepokan ‘Tapak Liman’ Candimulyo, kabupaten Magelang. Selain menembangkan sinom yang menggambarkan kegundahan hati para pedagang pasar Rejowinangun, Eka dengan cerdik dan plastis memainkan enam buah lilin, yang berfungsi menjadi tatacahaya tariannya sekaligus menjadi idium api yang meluluhlantakan pasar legendaries bagi warga Magelang yang terbakar 3 tahun lalu itu.
Sedangkan Ki Sambi, seniman ketoprak/wayang wong, yang membuka pekan film ini juga menembangkan peristiwa terbakarnya pasar 3 tahun lalu itu, melengkapi sambutannya yang disampaikan dalam bahasa Jawa alusan. Salah satu penemu watang gethuk, yang juga pedagang barang antic atau klithikan di pasar penampungan, itu dengan tepat menggambarkan dirinya dan para pedagang lainnya yang cukup lama menantikan kepastian pembangunan pasar yang menjadi urat nadi kehidupan keluarganya itu.

“Kami memang mendedikasikan malam pembukaan ini bagi Ki Sambi dan pedagang pasar Rejowinangun. Kami ingin malam ini menjadi kegembiraan sekaligus renungan bagi nasib pedagang yang lama menderita ini, “ ungkap Mualim tentang kandungan kritik terhadap elite politik kota Magelang, yang disampaikan dengan bahasa seni itu. Menurut Mualim, ide ini muncul scara spontan, ketika mereka mendengar tentang pembatalan kontrak antara pemkot Magelang dengan pengembang yang memenangkan lelang. Seperti kita ketahui, pembatalan ini yang ke-5 kalinya selama hampir 3 tahun proses lelang pembangunan pasar yang dianggap pusat ekonomi Magelang raya itu.
Berbeda dengan malam pembukaan yang dipenuhi tokoh-tokoh kota Magelang, pemutaran film dan diskusi yang berlangsung sore harinya, selama 3 hari, tak banyak kalangan seniman dari kota gethuk itu yang nampak hadir. Yang nampak menikmati pemutaran film dan diskusi yang berlangsung setiap hari antara jam 15.00 – 17.30, itu adalah anak-anak muda dari beberapa wilayah di luar kota Magelang. Ada yang dari Muntilan, Secang, Glagah, dan Grabag. Bahkan sebagian berasal dari Medan, Banjarmasin, Semarang, dan Klaten. Mereka adalah siswa/I SMK jurusan broadcast, peserta PKL di GrabagTV.
Hampir tiap hari mereka, anak-anak muda, itu dengan setia menonton dan berdiskusi dengan para pembicara yang notabene adalah pembuat film-film yang diputar. Mereka merasa mendapat ilmu yang sangat bermanfaat bagi pengembangan keahlian yang mereka butuhkan sebagai calon pembuat film. “Selain teori yang canggih, kami juga mendapat petunjuk praktis yang pasti sudah teruji karena berasal dari pakarnya, “ kata Nisa, pembuat film ‘Langit Merah Bulan Juni’, mengutarakan kesannya bertemu dengan pembuat film professional seperti hartanto, Mualim M Sukethi, dan Johanes Aditya.
Sementara Agung Nugroho, aktivis petani dari Blabak, kabupaten Magelang, yang 2 kali datang menonton dan berdiskusi, mengatakan: “Saya memetik manfaat acara ini. Saya tergerak untuk membuat film bagi pemberdayaan petani. Dari sini saya belajar bagaimana memulainya “.
Selain pujian dan harapan yang muncul mengiringi acara pekan film ini, tentu ada juga kritik dan pendapat berbeda. Seperti kesan Sutanto Mendut dalam sambutannya. “Saya menyayangkan kenapa tak ada dari para film-maker ini yang tertarik mengangkat tragedy Merapi. Apa kurang dramatisnya ratusan ibu-ibu yang berlarian dari desa-desa di lereng Merapi, menyelamatkan diri dan keluarganya ke kota-kota yang dianggap aman, “ sindir penggerak budaya Magelangan itu.
Kaji Habib, perupa Magelang Art pop-pourri melihat indikasi ‘politisasi’ acara pecan film ini. “Acara ini sudah dipolitikkan, “ katanya mengomentari acara pembukaan yang sarat dengan nuansa gugatan dan keprihatinan terhadap masalah pasar Rejowinangun.
Mualim, penanggungjawab acara ini, dengan santai menjawab kritik itu. “Soal film tentang Merapi mungkin sudah ada yang membuat. Tapi proses membuat film kan tidak semudah membalik telapak tangan. Mungkin nanti akan muncul film-film itu. Kita tunggu saja….” Ujar Mualim, yang berniat membuat film tentang Merapi, tapi bukan letusan Merapi yang menurutnya sudah over-expose. Tapi tentang tragedy politik tahun 65 yang terjadi di desa lereng Merapi.
Sedangkan menjawab kritik Kaji habib, Mualim mengatakan: “kalau berpolitik diartikan secara partisan, atau ingin mengejar kekuasaan seperti layaknya politikus, tentu kami jauh dari interest semacam itu”. Menurut produser film dokumenter yang banyak bekerjasama dengan LSM itu, seniman berrpolitik tujuannya mempengaruhi elite politik agar melahirkan politik yang beretika, yang memihak kepentingan rakyat. “Kami hanya menghimbau agar elite politik kota Magelang lebih serius memperhatikan penderitaan pedagang pasar Rejowinangun. Tentu appeal itu kami sampaikan dengan bahasa kami, bahasa seni. Bukankah itu salah satu kewajiban seniman ‘menyuarakan realitas jamannya’, “ papar Mualim sembari mengutip penggalan sajak Rendra.

“Aku mendengar suara, jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan, anak burung terjatuh dari sarangnya,
Orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan tetap terjaga….! “.


Sementara Rosa, penyair terkemuka, itu dengan santai menukas: “Yang pasti dengan adanya acara semacam ini kehidupan senibudaya di Magelang makin rame “. (bolinks@2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar