Halaman

Mei 03, 2011

(Kembali) MASALAH PASAR REJOWINANGUN.


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 3 Mei 2011.
Beberapa waktu lalu (5/4-11) kontrak kerjasama pembangunan Pasar Rejowinangun antara Pemkot Magelang dengan pemenang lelang DIBATALKAN. Alasannya, pemenang lelang yang merupakan konsorsium (PT Reka Konstruksi-PT Rizki Kembar Jaya-PT Bratautama Rodamandiri (JO), dianggap tak mampu memenuhi beberapa persyaratan. Ini adalah untuk ke 4-5 kali pembatalan (tender atau pemenang lelang) dilakukan oleh Pemkot Magelang, sejak kebakaran pasar 3 tahun lalu.
Kabar mengejutkan itu diterima oleh warga Magelang dengan hati yang beragam. Sedih, kecewa, malu yang campur aduk. Sedih dan kecewa karena harapan untuk bangkitnya ekonomi yang selama tiga tahun porak-poranda terpaksa harus pupus kembali.
Malu karena melihat pemimpin mereka tak mampu memenuhi janji-janjinya sendiri. Bayangkan keputusan itu hanya berjarak beberapa hari setelah Walikota Sigit Widyonindito melakukan peletakan batu pertama pertanda pasar segera dibangun (29/3-11). Bayangkan, dalam waktu 6 hari seorang walikota terpaksa ‘menelan ludahnya kembali’.
Saya sendiri bukanlah ahli hukum yang memiliki pemahaman memadai tentang aspek procedural lelang atau pengadaan barang/jasa yang dilakukan pemerintah. Saya hanyalah warga masyarakat sekedar bermodal akal sehat (common-sense), dan kebetulan nuraninya terusik oleh penderitaan pedagang pasar yang berlarut-larut.
Dengan nalar terbatas itu, tentu saya dan puluhan ribu warga Magelang lainnya susah memahami apa alasan Pemkot Magelang sehingga berkali-kali mementahkan proses pembangunan pasar yang menjadi urat nadi ekonomi ‘kota militer’ itu. Yang harus dimaklumi, kemudian, adalah munculnya kecurigaan di hati sebagian besar warga, ‘ada permainan apa’ sehingga elite Magelang tega terhadap penderitaan warganya itu.
Oke. Kita coba tinggalkan masalah kemelut akibat pembatalan yang berulang-ulang itu. Itu adalah masa lalu yang pahit bagi seluruh warga Magelang. Kita coba tatap masa depan. Apa yang bisa dan harus dilakukan untuk mempercepat pembangunan pasar, sekaligus tidak memperberat beban para pedagang yang sudah ‘berdarah-darah’ itu ?
Menurut beberapa pihak yang mencermati masalah ini, ada dua langkah yang bisa dilakukan oleh Pemkot sebagai pemegang otoritas. Pertama, melakukan proses lelang kembali. Tentu dengan memanggil semua pihak yang berminat dan memenuhi syarat. Konsekuensinya membutuhkan waktu yang lama apabila langkah ini yang diambil. Ibaratnya mulai dari nol kembali.
Kedua, melakukan penunjukkan langsung. Langkah ini bisa dilakukan, mengingat pembatalan lelang sudah dilakukan berulang-ulang. Namun langkah ini juga tak kurang beresiko. Siapa dan pihak mana yang akan ditunjuk oleh Pemkot, serta apa alasannya sehingga pihak itu yang ditunjuk ? Kalau yang ditunjuk adalah pengembang yang selama ini ikut proses lelang atau pengembang lain yang kualitasnya tak diketahui, tentu akan memancing pihak-pihak lain yang tidak ditunjuk bisa dan akan memperkarakan alasan penunjukkan itu. Selain waktu yang tak bisa diduga, ada resiko hukum yang akan dihadapi Pemkot.

KOPERASI.

Jika Pemkot memilih pilihan kedua, sesungguh ada pihak yang paling berhak serta kecil resikonya. Pihak yang dimaksud adalah para pedagang sendiri, sebagai salah satu stake-holder Pasar Rejowinangun. Model pembangunan pasar yang melibatkan secara penuh para pedagangnya kiranya sudah dilakukan di beberapa daerah lain, seperti di Jakarta (Taman Puring), di Kebumen atau di Pati. Mengenai model pembangunan berbasis pedagang ini mungkin bisa dijelaskan lebih lanjut oleh para pemerhati yang lebih mengetahuinya.
Saya hanya akan bercerita seputar pembangunan kembali Pasar Taman Puring, di Jakarta, setelah kebakaran yang melandanya di tahun 2006 lalu. Kebetulan saya adalah penulis buku minibiografi Dadang Kafrawi (DK), mantan Walikota Jakarta Selatan (2001-2006). Kebakaran pasar itu terjadi saat DK menjabat, dan menjadi catatan prestasi yang cukup penting di buku minibiografi yang saya tulis.
Saat kebakaran terjadi DK langsung menemui para pedagang di lokasi yang terletak di wilayah Kebayoran Baru, daerah elit di Jakarta Selatan. Sebelum api sepenuhnya padam DK mengumpulkan perwakilan pedagang yang tergabung dalam ‘Koperasi Pedagang Taman Puring’.
Dalam pertemuan tersebut pedagang meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun kembali pasar yang terkenal sebagai bursa barang bekas itu. Hal ini mengingat letak pasar yang berdiri di atas taman kota atau jalur hijau. Pedagang sendiri menyadari bahwa sesungguhnya mereka tak berhak berdagang di situ.

DK langsung merespon dan menelpon Gubernur Sutiyoso, dan meminta bosnya itu menemui para pedagang. Saat itu juga Bang Yos datang dan bertemu langsung dengan warganya yang sedang kesusahan itu. Setelah mendengar aspirasi pedagang, Bang Yos langsung mengijinkan pasar itu dibangun kembali, tapi dengan catatan.
“Pemprov DKI tak punya dana. Kalian usahakan sendiri. Dan yang bertanggungjawab adalah Bang Dadang Kafrawi, “ demikian persyaratan yang diminta Bang Yos, sembari menunjuk DK. Setelah orang nomor satu di DKI itu meninggalkan tempat, DK langsung mendiskusikan persyaratan yang diminta dengan para pedagang.
Sebagai pihak yang ditunjuk bertanggungjawab DK tak kurang akal. Ia mengajukan ide untuk mengajukan pembiayaan pembangunan pasar kepada pihak bank yang selama ini menjadi banknya para pedagang. Ia langsung memanggil Kepala Cabang Bank BNI (KC-BNI) yang berada di depan Taman Puring.
“Apakah para pedagang ini nasabah bank Anda ? Berapa jumlahnya ? “ tanya DK begitu sang KC-BNI menemui DK bersama para pedagang. “Betul. Jumlah mereka sekitar 300-400 pedagang, “ jawab KC-BNI.
Karena menganggap para pedagang itu nasabah yang bisa dipercaya, bukan seperti nasabah kakap yang justru banyak ngemplang, KC-BNI secara lisan menyetujui ide DK untuk membantu membiayai pembangunan kembali Pasar Taman Puring. Kesepakatan itu merupakan prestasi kerja seorang walikota yang pantas mendapat pujian. Bisa dikatakan masalah terbakarnya Pasar Taman Puring bisa diselesaikan bahkan ketika apinya belum sepenuhnya padam.
DK pun meminta koperasi pedagang membuat proposal. Dalam waktu singkat proposal selesai. DK langsung mengirimkannya kepada Sutiyoso untuk mendapat persetujuan resmi. Namun Bang Yos tidak sepenuhnya menerima proposal itu. Ia punya pendapat lain.
“Kenapa harus bekerjasama dengan BNI ?. Kita sendiri kan punya bank, “ tanya Bang Yos. Akhirnya Bang Yos menyetujui proposal itu dan menunjuk Bank DKI sebagai penyandang dananya.
Secepatnya pasar dibangun. Karena hanya menggunakan kontraktor pelaksana bukan pengembang yang pamrihnya memperoleh keuntungan sebesarnya. Maka harga kios pun menjadi murah dan terjangkau oleh pedagang.
“Harga per kiosnya sekitar 15-20 juta. Itu pun bisa dicicil 10-15 tahun “ urai DK mengenang. Dalam waktu singkat Pasar dua lantai itu segera terbangun, berdiri dengan megah. Bersandingan dengan Taman Puring yang juga ditata secara asri. Pedagang pun segera mengisinya dengan aneka dagangan, terutama barang bekas seperti semula.
Tampak dari luar Pasar Taman Puring terlihat moncer dengan didominasi kios-kios pedagang hand-phone. Tak semuanya bekas memang. Banyak barang baru berkualitas BM (black-market) bisa didapat di pasar yang jadi salah satu tujuan wisata DKI itu.
Pedagang pun merasa senang. Selain mereka tak lagi berdagang di pasar kumuh, harga kios pun melejit tak terduga.
“Dulu kami membeli seharga 15-20 juta. Itu pun kredit. Kini hanya dalam waktu 3 tahun kios kami dihargai 100-150 juta, “ ujar seorang pedagang. Padahal kreditnya pun belum lunas, tambah pedagang sepatu bekas tapi bermerk itu. Perlu diketahui, saya mewawancarai pedagang itu pertengahan tahun 2009, sebagai bahan penulisan minibiografi DK.
Itulah sepenggal kisah menarik tentang bagaimana seorang pemimpin membuat kebijakan yang sepenuhnya demi rakyatnya yang sedang menderita. Langkah-langkah DK ini seharusnya bisa menjadi contoh bagi pemimpin dan elite politik di Kota Magelang dalam menghadapi masalah Pasar Rejowinangun.

BERSATU.

Yang wajib mencontoh kiranya bukan hanya elitenya, tapi juga para pedagangnya. Kalau pedagang Pasar Taman Puring kompak, bersatu menghadapi musibah, mestinya pedagang Pasar Rejowinangun demikian pula. Tidak terpecah-pecah menjadi beberapa faksi seperti sekarang ini. Apalagi kemudian berkembang isu tak sedap kalau masing-masing faksi pedagang ditunggangi kepentingan para pengembang.
Saya sendiri tidak tahu apakah para pedagang Pasar Rejowinangun memiliki koperasi. Setahu saya hanya ada beberapa organisasi semacam paguyuban yang tak mengikat. Sesungguhnya apa susahnya membikin koperasi, yang bisa bertindak selaku badan hukum untuk menerima dan melaksanakan sendiri proyek pembangunan pasar ?.
Mendirikan koperasi memang mudah. Bersatunya pedagang, itu yang susah, kata sementara warga yang pesimis melihat berlarut-larutnya masalah Pasar Rejowinangun ini. Apakah sudah sedemikian parahnya nurani para pedagang menghadapi masalah yang membuat penderitaan bagi mereka sendiri ?
Saya sendiri mencoba optimis. Lewat tulisan ini saya menghimbau para pedagang untuk kembali bersatu padu. Hanya dengan persatuan posisi tawar para pedagang menjadi lebih baik. Lewat persatuan kita bisa kembali menumbuhkan harapan, pasar segera dibangun, dan ekonomi pulih seperti sedia kala.
Ayo kita duduk bersama kembali. Benamkan ego masing-masing, sisihkan perbedaan (yang tidak substansial), satukan tekad bahwa KITA BISA (saya sengaja menggunakan kata KITA bukan KAMI). Ingat, masadepan anak cucu kita.
AYO BERDIALOG !!!.

*). Penulis adalah pendiri dan pengelola grup ‘RAKYAT PEDULI PEMBANGUNAN PASAR REJOWINANGUN’ (on FB).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar