Foto2: Yusuf Kusuma.
Oleh: M. Hari Atmoko
Borobudurlinks, 5 Mei 2010. Lelaki tua berpeci dan berbaju batik dengan rambut yang sedikit beruban itu duduk di deretan bangku di luar gedung yang oleh masyarakat petani setempat dinamai "Gubug Selo Merapi".Gedung itu sebelumnya menjadi bagian dari kompleks sekolah kecil bernama Sekolah Dasar Kanisus Grogol, terletak di Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar delapan kilometer sebelah barat puncak Gunung Merapi.
Sekitar 13 tahun lalu pihak yayasan yang menaungi sekolah itu mengeluarkan kebijakan menutup operasional sejumlah sekolahnya yang salah satunya SD Kanisus Grogol lantaran jumlah siswa yang semakin sedikit seiring dengan perkembangan kependudukan.
"Tahun 1997 sekolah ini ditutup oleh yayasan, tidak tahu persis alasan penutupan, tetapi secara umum karena jumlah anak yang semakin sedikit, terakhir kalau tidak salah ada 65 anak kelas I hingga VI," kata Supangat (70), mantan Kepala SD Kanisius Grogol (1982-1992) di utara aliran Kali Senowo yang airnya berhulu di kaki Merapi.
Meski akhir cerita sekolah itu ditutup, rupanya semangat edukasi yang telah ditebarkan melalui kegiatan pembelajaran di sekolah itu tak padam. Masyarakat setempat makin memiliki kesadaran mantap terhadap pentingnya pendidikan. Mereka terkesan terus bergerak menebarkan nilai-nilai edukasi dalam skala yang makin luas, tidak sekadar pendidikan formal untuk anak-anak Merapi.
Pada Minggu (2/5), Supangat bersama ratusan warga petani holtikultura berasal dari berbagai dusun di lereng Merapi merayakan Hari Pendidikan Nasional 2010. Perayaan itu sekaligus dikemas untuk pesta rohani pelindung GSPi "Santo Petrus Kanisius", tokoh gereja yang secara khusus bergerak di bidang pendidikan. Perayaan dikemas dalam prosesi anak-anak dan misa kudus dipimpin Romo Singgih Guritno di bangunan terbuka, GSPi.
Bekas ruang kelas masih tersisa, komunitas petani setempat melalui bantuan dari berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri secara tekun membangun gedung yang terkesan akrab dengan ekologi Merapi yang kemudian mereka namai GSPi. Gedung itu kini menjadi pusat kegiatan budaya, spiritualitas, religi, dan sosial kemasyarakatan. Seakan lelaki itu mengenang para murid dan suasana pendidikan ketika sekolah yang berada di tepi jalan menuju Pos Pengamatan Merapi di Desa Babadan, sekitar empat kilometer sebelah barat puncak Merapi itu, masih beroperasi.
"Bahkan tiga anak saya dulu juga sekolah di sini, kepala sekolah yang terakhir Pak Warso (Suwarso, red.), saya Tahun 1992 dipindah menjadi Kepala SD Kanisus Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun hingga pensiun Desember 2001," katanya.
Sekolah yang dibuka pada Tahun 1927 itu pernah menjadi tumpuan masyarakat petani setempat antara lain berasal dari Dusun Kajangkoso, Grogol, Bendo, Mangunsuko, Muntuk, Dadapan, dan Semen untuk anak-anak mereka mengenyam pendidikan formal. Setelah ditutup, katanya, orang tua setempat menyekolahkan anak-anak di SD Negeri Mangunsuko sekitar 200 meter dari lokasi GSPi sedangkan lainnya menyekolahkan di SD Kanisius Tumpang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, sekitar 10 kilometer dari GSPi.
Meski sekolah itu tutup, komunitas petani setempat tidak menutup buku terhadap proses pembelajaran. Mereka di bawah pendampingan intensif budayawan dan rohaniwan Katolik setempat, Romo Vincentius Kirjito, terus mengembangkan misi pendidikan GSPi. Sejak beberapa tahun terakhir, GSPi mengembangkan program "live in" terutama untuk anak-anak SLTP hingga perguruan tinggi yang ingin belajar tentang kehidupan desa, pertanian, ekologi, dan komunitas petani Merapi.
Jumlah mereka yang pernah menjalani "live in" di kawasan itu kemungkinan sudah mencapai puluhan ribu anak. Mereka berasal dari berbagai sekolah di kota-kota besar di Pulau Jawa. Bahkan secara berkala sejumlah sekolah seperti di Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Magelang mengirim murid-muridnya untuk "live in" minimal selama tiga hari tiga malam di tempat itu. Mereka tinggal di rumah-rumah warga setempat dan menjalani berbagai kegiatan harian para petani baik di rumah maupun di lahan pertanian, sambil menjalani proses edukasi ekologi yang dikembangkan komunitas GSPi.
"Saat ini saja ada enam mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang sedang survei untuk `live in` kawan-kawan mereka," kata tokoh GSPi, Fransiskus Xaverius Sutar.
Minimal sebulan sekali, katanya, ada rombongan "live in" baik siswa maupun mahasiswa berasal dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Beberapa bulan lalu beberapa mahasiswa berasal dari sejumlah negara juga "live in" di tempat itu. Program "live in" bukan saja proses penebaran nilai-nilai edukasi kepada anak-anak kota tetapi juga menjadi ajang pembelajaran dan peningkatan sumber daya manusia petani Merapi.
"Kalau sering didatangi tamu tentu kami juga harus menata diri, belajar menjadi tuan rumah yang baik, belajar lebih giat tentang sopan santun, semakin baik dalam merawat rumah dan pertanian agar bisa menjadi bahan belajar mereka secara pantas, dan kalau kami rawat lebih tekun, hasil pertanian menjadi lebih baik. Kami sendiri juga ikut belajar," katanya.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional 2010, komunitas petani setempat mencanangkan gerakan yang mereka namai "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" sebagai wujud kesadaran masyarakat Merapi terhadap pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka.
"Masyarakat kami semakin menyadari bahwa pendidikan semakin mahal," kata Sutar yang lulus SD Kanisius Grogol pada Tahun 1980 itu dan kemudian melanjutkan pendidikan formal hingga SMA.
Pencanangan gerakan itu ditandai dengan perarakan puluhan anak Merapi mengenakan pakaian jatilan kontemporer diiringi gamelan dari halaman rumah petani di ujung dusun itu menuju Gedung GSPi yang berjarak sekitar 500 meter. Anak-anak itu membawa puluhan bumbung berbagai ukuran dicat warna merah sebagai tempat celengan. Bumbung diserahkan mereka kepada Romo Singgih sebagai simbol penyerahan gagasan orisinil anak-anak tentang gerakan menabung itu kepada orang tua agar menyisihkan uang receh mereka secara tekun untuk biaya pendidikan.
Prosesi pencanangan gerakan "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" itu ditata oleh seniman petani setempat, Susanto. Setiap keluarga petani memasang bumbung celengan itu di rumah masing-masing. Setiap saat mereka menyimpan uang receh di bumbung dan seminggu sekali menyetorkan kepada pengelola tabungan itu di GSPi untuk selanjutnya dicatat dan disetor ke salah satu bank yang telah mereka sepakati.
"Paling cepat setahun sekali tabungan dibongkar untuk diserahkan kepada warga sebagai biaya sekolah, orang tua yang tidak punya anak juga menabung tetapi ketentuannya lima tahun sekali tabungan mereka dibongkar," kata Sutar yang juga koordinator gerakan "Tabungan Pendidikan Keluarga Petani" itu. Petani setempat, katanya, menyebut gerakan mereka menabung itu sebagai "ngopeni receh" atau memanfaatkan uang kecil.
"Uang sisa belanja di pasar, uang receh sisa beli pupuk dan bibit tanaman, atau sisa naik angkutan dimasukkan bumbung, ditabung karena kami sadar bahwa pendidikan butuh biaya," katanya. Sekolah mereka memang telah tutup, tetapi pembelajaran mereka tiada berkesudahan.
Romo Singgih mengapresiasi gagasan edukatif komunitas petani setempat berupa tabungan pendidikan itu. Ia mengemukakan, bukan jumlah tabungan yang relatif banyak yang mereka kejar, tetapi ketekunan mereka mengumpulkan uang receh itu sebagai proses pendidikan bukan saja bagi para orang tua dan anak-anak setempat.
"Tapi bisa menjadi pembelajaran untuk masyarakat dalam skala yang lebih luas, bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus berjalan dan dijalani secara tekun. Ada kesetiaan tentang perhatian terhadap anak, sedikit demi sedikit. Ini proses dan keutamaan yang harus dirawat, kebiasaan ini dihayati sebagai wujud cinta kasih," katanya.
Mungkin saja cita-cita pendidikan oleh komunitas setempat atas anak-anak mereka tidak terlalu muluk. Setidaknya proses pendidikan yang mereka tebar secara terus menerus di kawasan itu terutama untuk membangun kemandirian, memantapkan identitas kultural, dan jati diri sebagai petani Merapi.
Sekolah mereka memang telah tutup, tetapi pembelajaran mereka tiada berkesudahan (ANTARA News Jateng).
Aritasius Sugiya:
BalasHapusluar biasa .... suasana seperti ini sangat dirindukan orang kota. di daerah boro kalibawang kulonprogo juga makin sering untuk live in .... mirip memang, cuma kegiatan seni dan gerakan moral seperti di lereng merapi ini belum ada. tapi entah kenapa makin banyk orang kota live in di desa. apakah karena di situ banyak yang masih belum sejahtera? atau alasan pembelajaran lain ....? semoga saja pelestarian budaya, seni, dan moral juga makin berkembang di boro.
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Mas Ari. Sy pernah ngobrol dg Romo Kirjito. Ia menawarkan konsep pembelajaran bagi masy kota. Awalnya hanya memperkenalkan 'pemberdayaan air'. Tp kemudian ternyata seluruh aspek budaya masy desa yang menarik untuk dipelajari, termasuk pemberdayaan politik desa. Ia tdk pernah mengintroduksi atau mempromosikan obyek wisata, seperti 'Ketep Pass' misalnya, yg notabene dekat dgn desa2 Merapi itu.
Itulah bedanya 'budayawan' dengan birokrat dlm memaknai fenomena 'desa wisata'. Selama 5 th konsep 'live in' ini, sdh lebih 10.000 tamu dr Jkt, Bandung, Semarang, Jogya, mengunjungi desa2 itu. Tentu, terjadi peningkatan ekonomi yg lumayan pada warga desa. Alhamdulillah.