Halaman

April 20, 2010

KENANGAN KECIL BERSAMA GUS DUR (O3).


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 20 April 2010.
Sederhana dan spontan adalah ciri khas Gus Dur (GD). Hal itu juga tercermin dalam pola makan mantan presiden RI ke 4 itu. Saya beruntung mendapat beberapa kesempatan makan bersama GD. Pada kesempatan ini saya mencoba berbagi pengalaman makan bersama tokoh karismatis itu.
Dalam kesempatan mengamati dan mewawancarai GD untuk kepentingan penulisan scenario video profil dirinya, yang berlangsung saat ‘open house’ antara bakda shubuh hingga jam 08.00 pagi di rumahnya, GD tak lupa menawarkan sarapan kepada tamu-tamunya. Tentu saya tak kuasa menolak. Siapa yanga tak ingin makan bersama tokoh idolanya.
Saya, dan tentu anda semua, pasti membayangkan akan menghadapi hidangan dalam bentuk set-menu di rumah GD yang cukup mewah itu. Ternyata keliru. Tak lama setelah tawaran itu, salah seorang santrinya masuk menenteng tas kresek berukuran besar yang langsung dibuka di depan GD dan tamu-tamunya, yang pagi itu duduk lesehan di atas karpet di ruang depan rumahnya yang terletak di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Ternyata tas kresek itu berisi bungkusan ketupat sayur dengan lauk telur rebus. Kami pun langsung makan bersama. GD tampak lahap menikmati makanan sederhana itu. Sembari makan saya menanyakan kepada Sulaiman, ajudan pribadi GD, dari mana ketupat sayur yang cukup nikmat itu didapat. Dari tukang ketupat langganan GD, yang setiap pagi melintas di depan kompleks rumah, jawab Sulaiman.
Esoknya, GD kembali menawarkan sarapan bersama lagi. Kali ini menunya berganti, nasi uduk dengan lauk tahu tempe dan telor yang dimasak semur, khas masakan Betawi. Nasi uduk kegemaran GD itu juga cukup dibeli di warung nasi kelas kampung yang mangkal tak jauh dari rumahnya.
Kali lain, saya berkesempatan mengikuti rombongan GD ke Bandung, menghadiri hajatan partai PKB di kota itu. Kali ini saya menikmati hidangan cukup mewah di sebuah hotel, yang disajikan oleh panitia setempat. Untuk hal-hal semacam ini…no comment lah.
Sepulang dari Bandung, sekitar jam 19.00, setelah turun dari pesawat di Bandara Halim Perdanakusuma, kami dijemput 3 mobil menuju kantor PBNU. Entah kenapa rutenya melewati jalan Saharjo. Saat itu hujan lebat, dan seperti biasanya Jakarta macet, karena jalanan tergenang air di mana-mana.
Mendekati Pasar Rumput, salah seorang Paspampres yang hari itu mengawal GD, turun dari mobil. Dengan kewibawaannya ia berusaha menyibak mobil mengurai kemacetan. Rupanya mobil yang ditumpangi GD berusaha balik arah. Mobil yang saya tumpangi pun tak mau ketinggalan, tanpa mengetahui kemana tujuan sebenarnya rombongan Ketua Dewan Syuro PKB ini.
Setelah berliku-liku, termasuk melewati jalan tikus di sekitar Tebet, rombongan 3 mobil ini sampailah di tempat tujuan, yakni Restoran Soto Kudus. Semua rombongan, sekitar 11 orang, kemudian dengan lahap menikmati hangatnya soto di tengah dingin hujan malam itu. GD pun tanpa ragu melahap aneka lauk yang disediakan di setiap meja. Termasuk limpa atau paru goreng kesukaannya. Menurut Sulaiman, GD adalah penggemar soto kudus. Pantas kalau menjelang wafatnya, guru bangsa ini sempat menyatakan kerinduan akan masakan favoritnya ini.
Saat menikmati hidangan, saya sempat bertanya pada GD, kenapa tiba-tiba mampir di tempat makan ini padahal tadinya bertujuan ke kantor PBNU ? Dengan santai “penguasa” NU itu menjawab, “Daripada stress menghadapi kemacetan kan lebih baik menikmati kehangatan soto ini”.
Dari cerita di atas, kita dapat membaca kesederhanaan dan spontanitas yang menjadi ciri GD. Tentang kesederhanaan ‘guru bangsa’ ini tak terbatas dalam hal makanan. Banyak orang yang bisa bersaksi tentang hal ini. Misalnya terbatasnya jumlah pakaian resmi yang dimilikinya, itu pun terbatas batik lengan pendek yang digemarinya. Sehingga seringkali ‘merepotkan’ orang-orang dekatnya, saat kyai nyentrik ini berimprovisasi menghadiri acara-acara di luar protocol atau agenda resmi.
Dalam hal makanan, tidak berarti selera sederhana ala GD ini identik dengan pola makan sehat, apalagi kalau dikaitkan penyakit diabetes yang telah dideritanya selama puluhan tahun. Bahkan, menurut saya pribadi, cenderung ceroboh.
Masih soal makanan, tapi bisa dimaknai dalam perspektif yang berbeda. Suatu ketika, rombongan GD melewati pantura selepas pulang menghadiri haul seorang kyai di daerah Tegal, Jawa Tengah. Saat itu menjelang tengah malam, rombongan GD kembali terjebak macet akibat pembangunan jalan yang tak rampung-rampung. Di tengah kemacetan yang tak ketahuan ujungnya itu, mendadak mobil GD menepi dan berhenti di warung makan yang biasa dipakai mangkal sopir truk.
GD turun dari mobil, diikuti rombongannya memasuki warung dan langsung duduk di kursi-kursi plastik yang tersedia di warung itu. Rupanya GD kelaparan. Mantan presiden sebuah negeri kaya raya bernama Indonesia, ini ternyata hanya memesan indomie telur rebus. Semua rombongan sepakat memesan menu yang sama. Karena hanya mie instan itulah yang nampak paling segar di antara makanan lain, yang mungkin dimasak sejak pagi harinya.
Pelayan warung tampak kaget ketika mengenali siapa tamunya. Demikian pula penghuni warung lainnya, beberapa perempuan muda yang bertugas menemani para sopir truk yang mampir di warung itu. Mereka lalu mengerubuti GD, sekedar minta tandatangan atau foto bareng. GD pun melayani mereka dengan antusias.
Saat menunggu hingga indomie terhidang, ruangan warung yang cukup lebar itu dipenuhi canda tawa. Seperti biasa GD menceritakan joke-joke segar. Pada kesempatan itu GD juga berusaha menggali cerita dari para perempuan dan sopir-sopir itu. Rupanya guyonan GD mampu mencairkan suasana. Sehingga mereka cukup terbuka mengungkap perjalanan hidupnya yang lebih banyak sisi kelamnya.
Itulah cara GD menggali aspirasi yang otentik dari warga pantura, yang notabene sebagian besar adalah kaum nadhiyin. Maka tak heran kalau di akhir hidupnya, pemimpin rakyat satu ini menyukai lagu dangdut tarling berjudul ‘Remang-Remang’. Lagu yang dengan telak menohok nurani kita itu menceritakan penderitaan perempuan pantura, yang harus mengorbankan dirinya menjadi TKI atau menjual diri demi menghidupi keluarganya. Seperti halnya perempuan-perempuan yang malam itu ditemui GD dalam salah satu perjalanannya. (bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar