Halaman

April 04, 2010

JUMAT AGUNG ala PETANI MERAPI.


Sejumlah umat Katolik lereng Gunung Merapi, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah mengusung salib kontemporer saat prosesi Jumat Agung bertajuk "Benih Yang Tersalib" untuk mengenang wafat Yesus Kristus(ANTARA/Hari Atmoko).


Hari Atmoko, 3 April 2010. Kedua kaki lelaki itu terayun melangkah seakan mengikuti irama gembira hatinya saat menyusuri jalan desa di lereng barat Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, pagi itu.
Kabut tebal belum bergerak menutup seluruh badan gunung sehingga puncaknya terlihat secara jelas dan indah mengepulkan asap, pertanda gunung itu masih berstatus gunung berapi aktif. Sinar matahari seakan menyeruak dari sisi kiri puncak gunung yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jateng dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lelaki berumur 45 tahun itu bernama Suyud, dia adalah petani holtikultura Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Sepatu botnya masih terlihat berlumur lumpur dan wajahnya yang berjambang dan berjenggot itu masih mengguratkan kucuran keringat saat melewati jalan itu. Dia baru saja pulang dari lahan pertaniannya yang baru saja ditanami bibit cabai dan bunga kol.
"Sebentar saya ganti baju dulu, biar pantas seperti lainnya," katanya.
Ia pun terlihat berjalan bergegas ke rumahnya untuk selanjutnya menuju pekarangan di pinggir jalan ujung desa di sebelah utara Kali Senowo, tempat awal umat Katolik setempat memulai jalan salib kontemporer petani yang bertajuk "Benih Yang Tersalib", Jumat (2/4).
Puluhan umat setempat yang sebagian besar bergantung kepada kehidupan pertanian holtikultura lereng Merapi telah berkumpul untuk mengikuti prosesi Jumat Agung, mengenang wafat Isa Al Masih. Suyud telah berada di tengah-tengah mereka mengenakan pakaian berwarna serba hitam ala petani untuk mengikuti prosesi serangkai dengan pekan suci Paskah itu.
Pimpinan umat Katolik setempat, Romo Bernardus Singgih Guritno, Pr., memimpin prosesi jalan salib "Benih Yang Tersalib" yang digarap oleh seniman petani setempat, Susanto.

"Kita bersama-sama mengenang kematian Yesus melalui penderitaanNya disalib karena cintaNya kepada kita, Ia menebus dosa manusia melalui jalan salib," kata Singgih.
Sejumlah pemuda mengenakan tutup kepala, caping, memainkan performa jalan salib kontemporer petani itu. Sebuah salib setinggi tiga meter terbuat dari bambu "petung" dipanggul mereka bersama-sama pada prosesi itu.
Salib bambu itu berbalut rangkaian sejumlah benih pertanian seperti padi, jagung, dan cabai, seakan menggantikan bentuk salib konvensional yang menggambarkan Yesus yang tersalib.
Sang koreografer yang juga petani organik setempat seakan ingin mengatakan bahwa benih pertanian juga mengorbankan diri untuk tumbuh dan berkembang agar berguna sebagai bahan pangan manusia, analog dengan pengorbanan Yesus melalui kematiannya disalib untuk menebus dosa manusia agar kembali menjadi anak-anak Allah yang layak atas Kerajaan Surga.
Sejumlah pemuda lainnya terlihat mengenakan pakaian seragam aparat dengan properti rompi dan topi penari kesenian rakyat setempat "gangsir ngenthir", simbolisasi performa tentara zaman Romawi yang membawa Yesus keluar dari Yerusalem menuju puncak Gunung Golgota, tempat penyaliban . Lantunan tembang-tembang rohani Katolik berbahasa Jawa mengiring prosesi sepanjang sekitar satu kilometer dari ujung desa itu menuju gedung yang mereka sebut sebagai "Gubug Selo Merapi" (GSPi).
Peserta prosesi yang terdiri atas para lelaki dan perempuan, orang tua, pemuda, serta anak-anak itu berhenti di sebelas tempat untuk merenungkan peristiwa agung sepanjang jalan salib Yesus itu. Mereka secara bergantian membacakan doa dan renungan berbahasa Jawa "krama inggil" di setiap perhentian yang ditandai dengan kursi dari kayu jati dibalut kain putih dan gambar jalan salib konvensional serta properti lilin menyala di dalam cobek ukuran kecil.
"`Kados dene wiji, dhawah mboten njalari pejah, ananging kanthi dhawah ing lemah, wiji saged tuwuh lan gesang.` (Seperti biji yang jatuh ke tanah, ia tidak mati tetapi tumbuh dan berkembang,red.)," demikian sepenggal renungan yang dibacakan oleh seorang pemudi setempat, Nina, di perhentian ke-7 prosesi jalan salib itu.
Semua umat yang mengikuti prosesi termasuk Suyud yang juga salah seorang pemuka umat Katolik setempat itu terlihat berlutut, mengatupkan kedua tangan, dan lalu mendaras doa bersama-sama.
"`Dhuh Gusti, Sampeyan Dalem dhawah malih wonten ing margi, ewa semanten jumeneng malih, saha nerasaken tindak.` (Yesus, Engkau jatuh lagi di perjalanan salibMu, namun berdiri lagi untuk melanjutkan perjalanan menuju Golgota guna menyelesaikan karya penyelamatanMu, red.)," demikian sepenggal doa bersama mereka yang terdengar ketika itu.
Mereka kemudian mengarak salib kontemporer itu memasuki GSPi, bangunan dari batu Merapi yang dikonstruksi secara terbuka atau tanpa dinding, tempat umat Katolik setempat berkumpul, berdialog, berolah seni dan budaya, serta mendaraskan doa melalui misa kudus setiap minggu. Salib itu didirikan di depan altar dan tabernakel, di sampingnya diletakkan properti jenazah Yesus tertutup selembar kain motif batik dihias dengan beberapa untaian bunga melati dan taburan bunga mawar.
Itulah perhentian terakhir dari seluruh rangkaian prosesi jalan salib mereka untuk menggambarkan bahwa Yesus wafat melalui jalan penyaliban. Umat secara bergantian menaburkan bunga mawar di properti jasad Yesus Sang Penebus. Susanto mengatakan, melalui jalan salib kontemporer itu umat yang juga petani setempat diajak merefleksikan semangat pengorbanan berupa kematian Yesus secara tulus bagi keselamatan manusia, yang ternyata tidak sia-sia.
"Benih pertanian mengorbankan diri dengan cara tumbuh dan berkembang menjadi tanaman dewasa yang menghasilkan buah, bagaikan pengorbanan Yesus yang rela mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia untuk mewujudkan pertanian lestari, itulah semangat pertanian organik," katanya.
Prosesi jalan salib dalam kemasan "Benih Yang Tersalib", katanya, secara khusus untuk mengajak umat Katolik Merapi merefleksikan nilai-nilai pengorbanan, ketulusan, cinta kasih, dan pelayanan bagi sesama manusia melalui media pertanian yang digeluti mereka setiap hari.
Singgih mengatakan, jalan penyaliban yang dianggap hina oleh publik pada zaman kehidupan historis Yesus, kini telah berubah menjadi jalan membanggakan karena Yesus menebus dosa manusia melalui jalan salib itu.
"Jalan salib sebagai kisah sengsara dan memalukan pada masa lampau tetapi sekarang sebagai jalan membanggakan bagi umat kristiani. Mereka mengikuti jalan salib Yesus untuk mencapai kebahagiaan spiritual," katanya.
Umat kristiani, katanya, sudah seharusnya tidak sekadar mencari sukses dalam kehidupannya tetapi juga lebih menghayati proses menggapainya melalui semangat jalan salib itu. Ia mengatakan, pertanian pada masa lalu sebagai mata pencaharian yang tidak membanggakan dalam tataran kehidupan sosial kemasyarakatan. Kebudayaan pertanian, katanya, patut untuk terus menerus dikembangkan sehingga menjadi kebanggaan petani.
Semangat hidup petani yang setiap saat bergaul dengan alam, mengarungi kehidupan secara sederhana, tulus, dan penuh pengharapan menjadi tempat Allah untuk melimpahkan rahmat.
"Kesadaran bahwa petani pun meneladan Yesus yang menyelamatkan itu sehingga mereka kini bangga sebagai petani. Hasil panenan pertaniannya setiap saat ditunggu oleh sesamanya," katanya.
"Benih Yang Tersalib" sebagai benih kebanggaan umat kristiani lereng Merapi karena memberi inspirasi mereka untuk meneladan karya penyelamatan Yesus.
(ANTARA News/borobudurlinks@2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar