Halaman

Juni 24, 2012

RINDU WAISAK KULTURAL.


 

Oleh Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 20 Juni 2012. Ketika kecil, tahun 1960-70-an, saya termasuk anak yang selalu menanti-nanti perayaan Waisak. Saat itu pemahaman tentang perbedaan agama belum merasuk benak anak-anak. Sehingga saya bisa menerima perayaan Waisak seperti halnya menghadapi perayaan Lebaran Iedul  Fitri. Dalam benak saya saat itu, Waisak identik dengan perayaan alias pesta desa. Ada ribuan manusia berkumpul, ada prosesi ribuan obor, ada upacara meriah, tontonan bermacam-macam kesenian, hingga berbagai jajanan di sekitar candi Mendut dan Borobudur.
Saat itu, kami kakak beradik, selalu menyempatkan diri menginap di rumah kakek di Desa TukSongo, kira-kira 2 km sebelah selatan Candi Borobudur. Selama 2-3 hari menginap di rumah kakek, kami berkesempatan menonton rangkaian acara Waisak, termasuk berbagai acara kesenian rakyat yang dimainkan warga desa di sekitar candi. Berbagai kesenian yang dimainkan antara lain Jathilan, Rodhat, Kubrosiswo, Wayang Kulit atau Wayang Wong, hingga Topeng Ireng.
Khusus Topeng Ireng, kesenian itu masih tampil dalam bentuk aslinya. Para pemainnya berkostum sederhana, ala kesatria Jawa, plus topeng berwarna hitam. Sekujur tubuh mereka juga berwarna hitam  karena diolesi langes – debu hasil pembakaran yang biasa menempel pada peralatan dapur.Belum seperti sekarang ini, yang didominasi kostum ala Indian Amerika. Tarian ini memang asli ciptaan warga TukSongo bernama Ahmat Sujak, yang kebetulan adik kakek kami.
Kami juga bergaul dengan para biksu dan pendeta Budha yang berkunjung atau menginap di rumah kakek kami. Saat itu sekitar Borobudur belum banyak hotel atau penginapan. Sehingga para biksu dan pengunjung Waisak banyak yang  menginap di rumah penduduk sekitar Borobudur. Kami sangat terkesan oleh sosok-sosok  berkepala plonthos dengan jubah kuning atau coklat itu, yang melintas atau mondar-mandir di jalanan desa sekitar candi.
Sebuah kenangan indah yang sulit dilupakan……
Saya menikmati acara Waisak kembali saat saya menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), tahun 1980-an. Selain bertujuan mempelajari aspek-aspek kebudayaan, saya juga mencoba menyerap nilai-nilai Budhisme. Maklum saat itu saya juga sedang gemar-gemarnya mempelajari spiritualisme berbagai agama dan kepercayaan.
Kini, beberapa tahun terakhir ini, saya kembali mendatangi candi di lembah Pegunungan Menoreh ini saat Waisak tiba. Bahkan pada saat Waisak terakhir, beberapa hari lalu, saya menikmatinya bersama keluarga. Kami sekeluarga juga sempat mengunjungi Sendangsono, situs ziarah bagi umat Katholik. Saya ingin berbagi dengan mereka tentang indahnya kehidupan keberagaman (agama dan kebudayaan) di wilayah berpanorama indah ini.
Keluarga saya cukup terkesan oleh beberapa acara Waisak kali ini. Terutama ketika menyaksikan pelepasan ribuan lampion saat puncak puja semedhi Waisak di pelataran candi Borobudur. Bayangkan….ribuan lampion memenuhi udara malam di atas Borobudur. Ribuan lampion yang terus membumbung tinggi itu seakan-akan membentuk jembatan cahaya menuju bulan purnama yang bulat sempurna. Kebetulan saat itu juga sedang berlangsung fenomena super-moon, atau posisi bulan terdekat dengan bumi.
Namun bagi saya pribadi, rasanya ada yang hilang dengan perayaan Waisak kali ini. Waisak yang penuh nuansa kebudayaan, atau sebutlah Waisak Kultural, seperti masa kecil saya, kini tak bisa dijumpai lagi. Rangkaian acara yang berlangsung, seperti penyambutan api dan air suci berlangsung datar. Paritha (doa) dan kidung-kidung suci dibacakan atau dinyanyikan dengan dingin. 
 
Bahkan puja semedhi, sebagai puncak acara Waisak, terlaksana relative tanpa sentuhan seni sama sekali. Selain renungan, semedhi, atau wejangan, memang ada paduan suara. Tapi sajian olah suara yang menyanyikan lagu-lagu pujaan bagi Sang Budha, termasuk himne Walubi ciptaan Hartati Murdaya, Ketua Walubi, itu tergolong berkualitas rendahan. Sekelas dengan koor ibu-ibu tingkat RT/RW di Magersari, kampung di mana saya dibesarkan di kota Magelang. Apalagi kualitas soundsystem-nya juga menyedihkan. Yang cukup mengesankan secara estetik, hanya acara pelepasan lampion. Itu pun karena dukungan setting candi Borobudur dan purnama yang spektakular.
Dulu, kirab berlangsung khidmat, serta menyajikan keindahan tersendiri, karena dihiasi ribuan obor peserta yang harus melewati jalanan gelap antara Mendut-Borobudur. Kini ribuan massa itu berjalan tak beraturan penuh atribut organisasi dalam bentuk bendera dan spanduk, menyerupai barisan kampanye partai politik.
Berbicara tentang politik, ternyata dalam beberapa tahun terakhir, tak bisa dilepaskan dari perayaan Waisak, khususnya sejak era reformasi. Kalau pada masa Orde Baru, hegemoni Negara sangat kuat, sehingga gejolak politik tak terasa. Namun sejak era reformasi, politisasi Waisak nampak terbuka.
Walubi (Perwalian Umat Budha), yang diketuai Hartati Murdaya, berusaha menguasai hajat tahunan umat Budha itu bagi ambisi politiknya. Ia memobilisasi kekuatan ekonominya sebagai pengusaha terkemuka. Antara tahun 2002-2004, ia mengerahkan buruh yang bekerja di beberapa perusahaannya untuk menghadiri Waisak.
“Ia juga ‘menyulap’ warga sekitar Borobudur, sesaat menjadi umat Budha. Bahkan banyak yang bersedia digunduli dan dijubahi sebagai biksu, padahal mereka muslim, “ kata Ariswara Soetomo, budayawan Borobudur, saat saya temui di antara acara Waisak. Selain mendapat honor sebagai figuran budhis, masyarakat juga mendapat penghasilan tambahan dengan menyewakan kamar dan menyediakan makanan bagi ribuan peziarah baru itu.
Namun ‘honeymoon’ itu hanya berlangsung sesaat, lanjut Ariswara. Begitu berhasil menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Walubi, Hartati menghentikan mobilisasi massa itu. Ia juga menghentikan kebiasaan umat Budha menginap di rumah penduduk. Ia memborong tanah di sekitar candi, membangun wisma atau vihara, dan rombongannya diinapkan di situ. Bahkan untuk kebutuhan konsumsi, ia membangun dapur umum di dekat candi Mendut.
“Relatif tak banyak  distribusi ekonomi saat Waisak berlangsung, “ tambah Ariswara. Tentang hal ini juga diiyakan oleh Andrie Topo, seniman performens, yang sejak 6 bulan lalu tinggal di samping selatan candi Borobudur.
Menjelang Waisak kemarin, Andrie melihat banyak pemuda menganggur. Kebanyakan mereka hanya jadi tukang parkir di sekitar candi. Ketika ditanya apa mereka tak dilibatkan secara resmi dalam kepanitiaan Waisak selama ini ?
“Ndak mas. Kami hanya kebagian sampah yang ditinggalkan turis-turis Waisak itu, “ kata salah seorang pemuda yang tinggal di sekitar rumah Andrie. Seniman berambut gimbal itu kemudian berinisiatif membuka stand (tenda) menjual berbagai kerajinan dan lukisan yang berhasil ia kumpulkan dari seniman dan pengrajin yang bersimpati. Hasilnya dibagi dan jadi tambahan penghasilan bagi para pemuda di sekitar rumahnya itu.
Seniman dan budayawan setempat juga tak pernah dilibatkan dalam hajat spiritual sekaligus cultural itu. “Kami tak pernah dilibatkan, “ kata Umar Chusaini, Ketua KSBI (Komunitas Seniman Borobudur Indonesia). Padahal komunitas beranggotakan puluhan seniman itu tergolong paling aktif mengadakan berbagai kegiatan senibudaya, baik di dalam mau pun di luar candi Borobudur.
“Dulu bersama warga desa Wanurejo kami sering mengadakan acara budaya berbarengan Waisak. Tapi kemudian berhenti, karena panitia Waisak ndak pernah bantu apa-apa, “ tambah Umar. Ketidakhadiran seniman dan budayawan ini nampak jelas pada penanganan berbagai acara Waisak, yang miskin dari citarasa dan sentuhan artistic. Padahal dalam sejarah kebudayaan, olah spiritual atau ritual apa pun tak bisa dilepaskan dari unsure kesenian.
“Waisak sekarang ini lebih mengedepankan seremonial-nya, atau Waisak seremonial, “ kata Ariswara. Unsur-unsur spiritualnya juga mulai memudar oleh kepentingan seremonial yang berbau politis, lanjut pemilik Hotel Rajasa, yang berada tepat di samping tembok komplek Borobudur itu.
Situasi  sekarang ini menumbuhkan jarak sosio-kultural antara perayaan Waisak dengan masyarakat sekitar. Masyarakat merasa tidak mendapat manfaat apa-apa, atau sekedar mendapat remah-remah dari kehadiran ribuan peziarah tahunan itu.
Apalagi secara ekonomi, selama ini keberadaan industri pariwisata Borobudur juga dianggap tidak berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Sekarang ini, dari segi kesejahteraan, posisi Kecamatan Borobudur berada di peringkat 19 dari 22 kecamatan seluruh Kabupaten Magelang. Ironis.
Sesungguhnya hal ini, secara politik, kurang menguntungkan bagi Hartati mau pun bagi umat Budha secara umum. Mestinya Hartati masih membutuhkan dukungan masyarakat sekitar, khususnya dalam perebutan pengaruh antara Walubi dengan KSI (?), organisasi Budhis lain yang dipimpin para pendeta.
Perasaan tidak dilibatkan pada akhirnya mengikis rasa memiliki terhadap Borobudur. Ini yang lebih berbahaya. Perasaan itu bisa tumbuh menjadi anti Borobudur, seperti yang diperlihatkan oleh beberapa warga yang tergolong Islam puritan. Atau resistensi terhadap berbagai proyek pengembangan Borobudur. Kalau hal ini digarap bagi kepentingan tertentu, situasi Borobudur bisa ‘meledak’ menjadi bom politik yang mengguncangkan.
Perlu diingat, selain pernah diledakkan secara fisik, masyarakat pernah berkeinginan agar Borobudur menjadi wilayah Provinsi Jogyakarta. Keinginan terakhir itu jelas didorong oleh minimnya perhatian pemerintah  serta PT Taman Wisata Borobudur. Dibandingkan masyarakat Jogyakarta yang relative lebih sejahtera. Padahal salah satu sumber kesejahteraan itu berasal dari pariwisata. yang jelas sangat tergantung pada keberadaan Borobudur.
Mestinya situasi yang tidak menguntungkan ini secepatnya bisa disadari. Pemerintah dan umat Budha secepatnya harus merangkul dan membangun kembali kebersamaan untuk menjaga dan melindungi candi Borobudur. Tidak semata-mata untuk kepentingan spiritual umat Budha, tapi juga untuk pengembangan sosio-cultural masyarakat pendukungnya.
Mungkin jalan kebudayaan bisa ditempuh. Dengan tersalurnya ekspresi kebudayaan, rasa memiliki terhadap Borobudur dan Waisak diharapkan tumbuh di kalangan masyarakat. Syukur-syukur kalau pelibatan secara kebudayaan itu serta merta meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan. Pasti masyarakat akan berterimakasih dan welcome terhadap perayaan Waisak dan kehadiran ribuan umat Budha itu.
“Waisak itu bukan berarti kesedihan. Bukankah pada relief candi tergambar suasana riang gembira oleh berbagai kesenian dalam setiap ritual agama Budha, “ Ariswara mengingatkan.
Kalau hal itu bisa terjadi, rasanya bukan hanya rasa rindu terhadap Waisak cultural yang terobati. Tapi juga harmoni dalam kehidupan masyarakat Borobudur bisa terjaga, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat yang meningkat signifikan. Semoga ! (bolinks@2012)
(CATATAN: Tulisan ini dalam edisi cetak sudah dimuat di ‘Suara Gemilang’, majalahnya Diskominfo Kabupaten Magelang, edisi Mei 2012.).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar