Halaman

April 25, 2012

MERUNUT SENI LUKIS INDONESIA MODERN.


 
Oleh PUTU FAJAR ARCANA.

Borobudurlinks, 20 April 2012
. Di tengah kegalauan seni kontemporer yang tak juga menemukan “bahasa: untuk mepresentasikan dirinya, Museum OHD Magelang menerobos dengan menggelar pameran lima pelukis yang mewakili era seni modern. Pelukis seperti Affandi, S. Soedjojono, Hendra Gunawan, Soedibio, dan Widayat dianggap sebagai peletak dasar-dasar seni lukis yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pameran bertajuk ‘Back to Basic’ yang digelar 5 April hingga 31 Juli 2012 dikaitkan dengan beberapa peristiwa kebudayaan, yang bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada peristiwa-peristiwa di sekitar dunia seni rupa berikutnya. Oei Hong Djien, pendiri Museum OHD, pada 5 April lalu menggelar pembukaan museumnya secara resmi dan pada tanggal itu pula ia berulang tahun ke-73. Museum OHD sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1997 berupa dua bangunan di halaman rumah tinggal Oei Hong Djien.
Di tempat berbeda digelar pembukaan pameran A Tribute to Mentor di Garis Art Magelang, Jawa Tengah. Pameran ini menggelar karya-karya para perupa, seperti Edhi Soenarso, Paul Husner, Made Wianta, Ronald Manulang, Edi Sunaryo, Sunaryo serta beberapa perupa lainnya. Dan yang penting digarisbawahi, seluruh peristiwa kebudayaan itu berlangsung di kota kecil bernama Magelang dengan dihadiri ratusan seniman, kurator, kolektor, pemilik galeri, wartawan seni, dan pencinta seni yang selama ini menggerakkan “industri” seni rupa di Tanah Air. Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito diberi tugas membuka gembok Museum OHD yang dibangun dari bekas gudang tembakau itu.
Oei Hong Djien (OHD) tahu pasti bahwa ia selalu dianggap “patron” dalam segala “perilaku” keseniannya di kalangan para pemilik galeri dan kolektor. Bahkan, ba¬nyak yang menganggap OHD “mahaguru” dalam mempraktikkan jurus-jurus ilmu seni untuk mengapresiasi lukisan. Sederhananya, apa pun yang dikoleksi OHD secara terbuka akan diikuti oleh para kolektor lainnya.
Situasi industri seni rupa kontemporer dewasa ini, menurut OHD, sama sekali sudah tidak sehat. Seni pewacanaan (cerita) yang dihidupkan dalam seni kontemporer justru makin menjauhkan kesenian dari unsur-unsur estetika sebagai jalan untuk menemukan keindahan yang hakiki. “Se-karang seni kita terlalu banyak bercerita. Karyanya sendiri jauh dari harapan. Inilah yang harus dikoreksi,” kata OHD di Magelang.

KEMBALIKAN INGATAN.

Pameran karya para perintis seni lukis modern Indonesia dengan sekitar 150 karya ini, menurut OHD, setidaknya akan mengembalikan ingatan kita pada peran unsur “rasa” di dalam proses penciptaan dan apresiasi. Karya-karya Hendra Gu¬nawan bahkan menunjukkan bagaimana jalan kesenian menjadi presentasi ideologi. Dan ideologi kerakyatan sekitar tahun 1940-an dipegang dengan amat teguh oleh Affandi, S. Soedjojono, terutama Hendra Gunawan, sebagai konsep dasar untuk bekerja. Karya Soedjojono, seperti Face of the Freedom Fighters atau karya Hendra berjudul Rice Harvest, sudah cukup menjadi bukti keberpihakan secara ideologis kepada semangat kerakyatan.
Pada Soedibio unsur-unsur kerakyatan itu diolah dalam bentuk surealistik seperti terdapat pada karya Beneath the Death Angel. Ia memvisualkan penghukuman terhadap rakyat yang keji. Bahkan, sebelum rakyat benar-benar mati, seekor burung gagak sudah bernyanyi di atas tiang gantungan.
Karya-karya kelima maestro ini di mata OHD tidak saja kaya dalam visualisasi, tetapi lebih-lebih telah membawa semangat zaman. Semangat atau spirit karya yang lugas semacam ini membuat kita mudah menandai dan memberinya konteks ruang dan waktu. Bisakah. hal semacam itu diterakan kepada karya-karya kontemporer? Kalaupun bisa, kemungkinan kita akan menemui banyak kesulitan. Karya-karya kontemporer lebih banyak lahir dari dorongan personal yang kemudian hanya samar-samar memperhatikan kon¬teks ruang dan waktu.
Kemandegan dan kehancuran industri seni lukis kontemporer diakui OHD tidak saja lantaran kerapuhan pijakan estetik, tetapi lebih disebabkan ketakberdayaan elemen-elemen penggerak seni untuk me¬masuki pusaran seni rupa dunia. Seni rupa China, tambahnya, justru diapresiasi lebih dahulu oleh Barat. “Sesudahnya barulah para kolektor China yang memberinya harga tinggi,” kata OHD. Apresiasi Barat yang begitu tinggi terhadap seni rupa China bukan sesuatu yang serta-merta. “Itu karena China menempatkan orang-orangnya di pusat-pusat seni rupa dunia,” tambah¬nya.
Pameran kelima tokoh penting dalam perjalanan seni lukis Indonesia modern ini membuat kita menoleh ulang tentang se¬jarah, yang barangkali “terkubur” rerun¬tuhan realitas. OHD secara pribadi telah sejak lama memburu karya-karya para maestro itu dengan tenaga, waktu, dan dana yang tidak sedikit. Ia bahkan seorang diri “mengembara” ke Rio de Janeiro, Brasil, untuk “memulangkan” 30 karya maestro dengan modal 20.000 dollar AS. “Pasti uang itu tidak cukup untuk membayar seluruh karya, tetapi orang memberikan saya,” kata OHD.
Kini karya-karya itu bisa dinikmati se¬cara terbuka di Museum OHD lengkap dengan puluhan sketsa dan drawing karya Hendra Gunawan yang jarang diketahui orang. Pameran ini setidaknya menjadi titik tolak untuk melakukan koreksi terhadap perjalanan seni rupa kontemporer Indonesia, yang kata OHD, telanjur dihargai secara semena-mena. “Kini sudah bergelimpangan korban-korbannya. Saatnya melakukan koreksi,” kata OHD (KOMPAS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar