Halaman
▼
November 07, 2011
DIBALIK MITOS PARA MAESTRO.
Oleh: MyAsa Poetika.
Borobudurlinks.com, 6 November 2011. Anton Larenz merasa terganggu oleh beberapa film para maestro senirupa yang lebih banyak dibumbui dengan mitos-mitos sehingga bisa menyesatkan penontonnya. Sementara Deddy PAW meminta pada pihak-pihak yang berkompetan untuk secepatnya mendokumentasikan para maestro senirupa Indonesia yang kini sudah mendekati uzur. Sedangkan Ridwan Muljosudarmo meminta agar perupa muda di Magelang tak hanya meniru gaya hidup eksentrik para maestro, tapi lebih mengutamakan untuk meniru perjuangan para maestro itu.
Demikian pokok-pokok pikiran yang mengemuka selama diskusi ‘Menyimak Maestro’, yang berlangsung sebagai penutup ‘Pekan Film Senirupa Magelang 2011’, 28 Oktober 2011, di Syang ArtSpace, Magelang. Diskusi yang berlangsung sekitar 2,5 jam itu dihadiri oleh sekitar 20 orang. Hadirin yang mengikuti berasal dari kalangan yang cukup beragam: guru, fotografer, ibu rumah tangga, pelajar dan mahasiswa. Dari kalangan senirupa Magelang sendiri tak banyak yang hadir.
“Teman-teman KSBI (Komunitas Seni Borobudur Indonesia, yang anggotanya kebanyakan perupa, Red.) tak bisa datang karena sedang mengerjakan borongan ratusan lukisan pesanan hotel, “ kata Serli, salah satu anggota KSBI, yang datang ke acara diskusi bersama Piyu, onthelis yang juga hobi menggambar. “Soalnya ‘kejar tayang’ mas, akhir bulan ini mesti kelar…he he, “ tambah Serli.
Pekan film yang berlangsung sejak 25 Oktober 2011, itu memutar beberapa film tentang kehidupan para maestro senirupa dunia, seperti Picasso, Rembrant, Frida Kahlo, Mondigliani, dan Basquiat. “Sebetulnya kami juga ingin menyaksikan film tentang maestro dari Indonesia. Tapi setahu kami belum ada film maestro senirupa Indonesia, “ kata Gilang Riski Habibullah, koordinator acara, dengan nada menyesal.
Tentang acara pekan film ini, Anton Larenz memuji. “Acara ini cukup menarik. Apalagi diadakan di kota kecil Magelang. Setahuku acara semacam ini bahkan belum pernah diadakan di Indonesia, “ kata kurator berkebangsaan Jerman itu.
Menurut Larenz, belajar dari film tentulah menarik. Karena lewat film kehidupan para maestro itu bisa dilihat secara utuh. Tak hanya ketika para maestro itu berada di panggung sukses, tapi juga ketika mengawali kehidupannya sebagai perupa tak dikenal yang penuh penderitaan. Namun kurator sekaligus anthropolog itu memperingatkan agar para penonton mencermati sejauh mana film-film itu menyodorkan fakta-fakta seputar kehidupan para maestro.
“Karena disajikan lewat film secara dramatic, maka bumbu-bumbu dan mitos-mitos seringkali menjadi lebih penting dari fakta kehidupan para maestro itu, “ kata anthropolog yang lama bermukim di Sumatera Barat itu, sehingga cukup fasih berbahasa Indonesia. Larenz menunjuk pada film cerita tentang Basquiat dan Frida Kahlo, yang cukup banyak mengungkap kehidupan di luar karir ke dua perupa itu. Khususnya kehidupan liar kedua perupa, seperti pengungkapan kehidupan seks dan keterlibatan mereka dengan narkoba.
Tentang film Picasso, Larenz justru memuji keterlibatan pelukis itu dalam pergolakan politik Spanyol. Film documenter tentang Picasso yang diputar memang mengungkap keterlibatan pelukis yang terkenal dengan gaya kubisme itu sebagai anggota partai komunis. Picasso juga terlibat dalam berbagai gerakan perdamaian dunia. Karya-karyanya yang terkenal seperti ‘Guernica’, ‘’Pembantaian di Korea’, hingga ‘Dove of Peace’, dengan jelas memperlihatkan sikap Picasso dalam mengangkat problem kemasyarakatan dan politik.
“Di awal kemerdekaan dulu, banyak pelukis Indonesia yang terlibat dalam politik. Bukan kebetulan kalau mereka juga memilih bergabung dengan partai komunisatau gerakan sosialis, karena keberpihakan mereka pada penderitaan rakyat, “ kata Larenz sembari menyebut nama-nama pelukis terkenal seperti Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandy, hingga Joko Pekik. Sedangkan Mualim Sukethi, Pembina BML, yang saat itu menjadi moderator diskusi, menambahkan nama Semsar Siahaan, perupa yang aktif dalam gerakan politik jalanan saat orde baru berkuasa.
Namun banyak juga perupa yang sekedar meniru gaya hidup nyentrik seniman dunia itu. “Misalnya sekedar berambut gondrong, bertato, berpakaian aneh-aneh, atau memakai narkoba, “ kata Ridwan Muljosudarmo, kolektor dan pemilik Syang ArtSpace.
Ridwan menceritakan pengalamannya bergaul dengan berbagai kalangan senirupa, khususnya di Jogyakarta. Para perupa itu seringkali menemui dirinya dan mengeluh kalau tidak punya uang buat beli cat atau kanvas saat ditanya mana karyanya. “Tapi kalau diberi uang, bukannya dibelikan kanvas atau cat untuk melukis. Justru buat mabuk-mabukan, “ kisah pengusaha konstruksi itu lebih lanjut.
YAYASAN.
Kebutuhan untuk mendokumentasikan maestro senirupa Indonesia dirasakan sangat mendesak. Hal itu diungkapkan oleh perupa Magelang yang eksis secara nasional, Deddy PAW. “Saat ini ada beberapa perupa Indonesia yang usianya di atas 70 th, seperti Edi Sunarso (pematung, red) dan Srihadi Sudarsono. Peranan mereka yang cukup penting dalam sejarah senirupa Indonesia mestinya mendapat perhatian pemerintah dan kalangan senirupa dengan mendokumentasikannya dalam bentuk film, “ ujar perupa lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu.
Sementara Mualim menambahkan, tak hanya dari kalangan perupa yang pantas didokumentasikan. Pribadi atau orang-orang yang berjasa bagi pengembangan senirupa Indonesia juga layak didokumentasikan. “Seperti Oei Hong Djien (OHD) yang usianya juga melebihi 70 th kiranya pantas didokumentasikan, mengingat peranannya yang penting bagi dunia senirupa. Khusus untuk OHD, pemerintah kota Magelang layak untuk member ipenghargaan dalam bentuk pendokumentasian itu, “ usul Mualim.
Nurfuad, perupa Magelang, mengusulkan agar para kolektor besar dan perupa yang sudah mapan mempelopori upaya pendokumentasian itu. “Orang-orang seperti Pak Ridwan atau Mas Deddy mungkin bisa memulai untuk memulai pembuatan proyek dokumentasi itu, “ kata perupa yang kini juga terlibat dalam proyek borongan pesanan hotel itu.
Menanggapi hal itu, Mualim mengusulkan untuk membuat sebuah lembaga berbentuk yayasan yang khusus bertugas melakukan proyek pendokumentasian itu. Menurut produser film/TV yang dulu pernah membuat dokumentasi video perupa Hardi dan salah satu instalasi Semsar Siahaan, melalui yayasan bisa dilakukan penggalangan dana bagi keperluan itu.
“Yayasan bisa melakukan pameran atau lelang senirupa karya perupa yang bersimpati dengan upaya ini. Hasilnya bisa digunakan untuk membiayai proyek pendokumentasian ini, “ tambah Mualim. Mantan aktivis Dewan Kesenian Jakarta, itu juga menambahkan kalau kalangan perupa juga bisa membiayai pendokumentasian dirinya. Caranya ?
“Saya dulu mendokumentasikan Hardi dan Semsar. Saya tidak dibayar dalam bentuk uang, tapi dibayar dengan lukisan, “ cerita Mualim, yang merasa menyesal proyek idealis itu tak dilanjutkan. Di akhir diskusi, Mualim mengusulkan agar kalangan senirupa Magelang memulai upaya itu, dengan proyek awal pendokumentasian OHD. Semoga ! (bolinks@2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar