Halaman
▼
Oktober 07, 2011
MUSTAFA BERBAGI TENTANG ISLAM AMERIKA.
Oleh: Myasa Poetika.
Borobudurlinks, 7 Oktober 2011. Bermain skateboard atau menyanyikan hip-hop bukanlah sesuatu yang asing bagi remaja Indonesia. Tak hanya di kota besar yang dengan cepat menyerap budaya barat ini. Di kota kecil semisal Magelang pun dengan mudah kita jumpai para remaja memainkan produk budaya khas anak gaul itu.
Namun di Amerika, negeri tempat kelahiran budaya pop itu, perkembangan skateboard dan hip-hop bukannya tanpa masalah. Khususnya bagi remaja yang dibesarkan dalam budaya atau komunitas muslim. Ada perbedaan bahkan mungkin benturan kultur antara Islam yang dianut para remaja itu, dengan budaya barat yang mendasari terciptanya skateboard dan hip hop.
Setidaknya persoalan itulah yang tergambar pada film ‘Wayward Son’ dan ‘Deen Tight’ karya Mustafa Davis dari Amerika, yang diputar dalam acara ‘Workshop, Discussions, and Screening with Mustafa Davis, tanggal 28 September 2011, di Syang Art Space, Kota Magelang. Sutradara muslim Amerika itu didatangkan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (US Embassy) ke Indonesia dalam rangka program ‘Cultural Envoy’. Di Indonesia ia mengunjungi dan bertemu dengan komunitas film di Jakarta, Palembang, Jogyakarta, dan Magelang.
Di Magelang, US Embassy menggandeng ‘Borobudur Movie Links’ (BML) dan Syang-Art Space untuk mengadakan workshop dan diskusi setengah hari, antara jam 13.30 s/d 18.00, yang diikuti sekitar 75 pelajar/mahasiswa dan pegiat film dari wilayah Magelang Raya. Dalam diskusi bertema ‘Multiculturism in American Art’, itu sutradara yang karya-karyanya sempat dinominasikan merebut piala Oscar, itu membeberkan fenomena mutakhir kebudayaan Amerika yang sangat beragam.
Melalui film dan paparan sutradara kelahiran California, itu peserta diskusi menyadari bahwa di negara sebebas Amerika pun pengembangan seni-budaya bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu pemahaman dan toleransi antar pemilik dan pelaku budaya, serta kebudayaan popular yang berkembang di tengah masyarakat.
“Dari diskusi ini saya bisa menarik kesimpulan, agama dan senibudaya tak harus dipertentangkan. Bahkan seni film, music (hip-hop), grafiti, ternyata bisa menjadi bahasa yang komunikatif antar berbagai kultur, “ kata Untung KS, seorang pelukis yang aktif mengikuti beberapa pekan film yang diadakan BML.
Sebelum diskusi, Mustafa yang didamping Muhammad Reiza, staf Cultural Affairs US Embassy, memberikan workshop bagaimana membuat film (documenter) serta upaya memasyarakatkan film yang telah dibuat itu. Bahkan ia menjanjikan untuk membantu memperkenalkan film-film yang dibuat peserta ke dunia internasional.
Bagi Bambang Hengky, seorang pembuat film senior, workshop yang diberikan Mustafa menjadi penting karena bisa menunjukkan bagaimana seorang pemula memulai membuat film. “Bagi pemula, workshop ini menjadi penting. Karena mampu memberi penyadaran bahwa cerita film bisa berangkat dari persoalan sehari-hari, “ katanya.
Bambang menunjuk pada cerita ‘Waynard Son’ yang mengangkat cerita tentang remaja penggila skateboard, dan ‘Deen Tight’ yang mengungkap gejala music hip-hop di kalangan remaja AS. ‘Di AS, skateboard dan hip-hop adalah permainan sehari-hari yang bisa dijumpai di mana saja, “ imbuh sutradara film semi-dokumenter ‘Babad Wonosobo’ itu.
HERO.
Untuk menyemangati para pembuat film pemula, Mustafa tidak mensyaratkan peralatan yang canggih ketika membuat film. Film bisa dibuat dengan peralatan sederhana, bahkan dari kamera HP. Mustafa mencontohkan, beberapa bagian dari filmnya direkam menggunakan kamera HP.
“Bukan kamera apa yang dipake membuat film. Tapi, kamu bisa berbuat apa dengan kamera yang kamu punya” tegas sutradara yang awalnya belajar foto jurnalistik itu. Atau dengan kata lain, bukan peralatan atau biaya, tapi kreatifitas yang akan menentukan keberhasilan sebuah film.
Dari pengalamannya sebagai pembuat film documenter, Mustafa berani menyimpulkan bahwa film yang baik semestinya mengandung tiga unsure, antara lain: 1. Hero. 2. Evil. 3. The Goal of the Hero. Jadi, dalam sebuah cerita harus ada elemen pahlawan, pengganggu dan sebuah tujuan yang akan dicapai. Secara garis besar sebuah cerita itu menggambarkan keadaan dimana seorang lakon berusaha mencapai tujuannya di tengah gangguan-gangguan yang ada.
“Saya menemukan ketiga hal itu setelah berkali-kali melakukan kesalahan. Untuk itu, kita harus terus mencoba dan jangan pernah takut salah. Kesalahan akan membawa pelajaran bagi kita,” kata Mustafa.
Pada kesempatan itu, Mustafa juga menilai keberadaan film-film documenter Indonesia. Menurutnya, film documenter Indonesia tergolong sebagai karya jurnalislik, karena hanya mengumpulkan fakta-fakta dan merangkaikannya menjadi cerita atau fakta baru.
Perbedaan yang mendasar dari keduanya adalah bahwa di dalam film dokumenter subjektivitas itu diperbolehkan dan bahkan dikedepankan, sementara dalam jurnalistik, seseorang dituntut untuk menjadi obyektif. “Dengan kata lain, dokumenter itu merupakan gambaran dari sudut pandang sang sutradara,” kata Mustafa.
Kendati subyek yang diangkat adalah sesuatu yang bersifat sehari-hari, seperti masalah skateboard dan music hip-hop. Tapi hal itu membutuhkan pengamatan panjang, bahkan sangat diwarnai oleh pengalaman Mustafa sendiri sebgai seorang mualaf.
Mustafa memeluk agama Islam pada tahun 1996. Setelah memeluk dan mempelajari agama barunya, Mustafa menyadari bahwa musik adalah praktek tabu bagi sebagian besar umat Islam. “Tanpa ragu aku hancurkan kaset dan CD saya, berhenti bermain piano dan mendengarkan musik. Aku terfokus pada belajar agama dan ingin meninggalkan latar belakang budaya saya. Ini merupakan cara untuk menunjukkan kepada Allah bahwa aku serius tentang iman saya “ ujar Mustafa.
Beberapa tahun kemudian persoalan identitas budaya itu menjadi perjuangan berat bagi Mustafa. “Dengan tegas saya nyatakan percaya pada agama Islam, dan tidak ada yang bisa menggoyahkan keyakinan saya. Namun saya juga tak mudah melepaskan masa lalu saya yang telah terbentuk oleh budaya yang membesarkan saya, yakni music dan tari. Aku sempat merasa kekosongan yang jauh, “ cerita Mustafa tentang periode awal sebagai mualaf.
Mustafa ‘akhirnya menyerah’, dan mulai berdamai untuk mendengarkan musik lagi. Namun ia menghindari hal-hal yang bersifat negative dari budaya music Amerika. “Bertahun-tahun kemudian, setelah saya memulai karir saya sebagai sutradara film, saya menemukan bahwa banyak dari rekan-rekan saya memiliki pengalaman serupa. Beberapa dari mereka masih berjuang dengan isu seputar musik dan budaya, “ ujar Mustafa, yang kemudian mengangkat isu itu di sebagian filmnya.
Apakah kemudian film-filmnya bisa disebut ‘film dakwah’, dan Mustafa akan menggunakan filmnya sebagai media dakwah ? “Tidak. Saya tak akan menggunakan film sebagai media dakwah. Tapi saya akan menggunakan seluruh hidup saya sebagai muslim menjadi media dakwah…bahwa Islam itu adalah pembawa damai, “ tegas Mustafa menutup diskusi menjelang magrib itu.
TERKESAN.
Kendati hanya sehari di Magelang, namun kesan yang mendalam dirasakan oleh Mustafa. Ia terkesan oleh keramahan adan antusiasme peserta diskusi. Apalagi sebagian peserta adalah pelajar dan mahasiswa.
“Awalnya saya canggung. Kawatir kurang bisa diterima. Tapi keramahan panitia dan antusiasme peserta membuat saya nyaman, dan bisa menyelesaikan diskusi dengan baik, “ pungkas Mustafa, sembari bercanda dengan panitia dan berfoto bersama di antara patung-patung besi pengendara sepeda di depan Syang Art Space.
Kesan yang sama juga diutarakan oleh Muhammad Reiza. “Tadinya banyak pihak yang meragukan, kenapa memilih Magelang sebagai tempat acara. Tapi dengan suksesnya acara ini, serta profesionalitas teman-teman BML, maka keraguan itu telah terjawab, “ kata Reiza, yang menemukan situs BML dari pencarian di internet. Reiza juga menyatakan penyesalannya kenapa terlambat berkenalan dengan BML, sehingga acara yang digalang bersama BML hanya workshop dan diskusi.
Kesan positif juga bermunculan dari peserta, baik terhadap sososk Mustafa mau pun terhadap penyelenggaraan acara oleh BML. Riena Qorina menulis di dinding FB-nya “Hari ini seneng banget, bisa salaman sama Sutradara Muslim Terkenal Amerika -> Mustafa Davis :D Thank's for that and your sharing about your film, Mr Davis :-D…”.
Pak Bayu, yang mengantar anaknya siswa MTs sebagai peserta, awalnya agak ragu terhadap banyaknya kegiatan anaknya di luar rumah. Tapi setelah mengikuti jalannya diskusi pendapatnya berubah 180 drajat. "Ada toh perkumpulan kayak gini yang tujuannya positif banget?, " katanya, sambil berpesan untuk ngabari anaknya kalau BML bikin acara lagi.
Sedangkan banyak peserta lain, baik dari kalangan pelajar mau pun mahasiswa, yang ingin bergabung dengan BML. Ada juga yang mengajak bekerjasama membuat kegiatan atau membuat film bersama BML. “Pada dasarnya kami terbuka untuk bekerjasama dengan siapa saja. Selama itu bermanfaat bagi kami dan bagi masyarakat, “ kata Gilang Rizky Habibullah, koordinator utama acara ini mewakili rekan-rekannya yang tergabung di BML.
Gilang juga menegaskan bahwa suksesnya acara ini adalah bukti nyata bahwa kegiatan-kegiatan atau keberadaan BML ternyata diakui dan didukung, tak hanya oleh masyarakat Magelang, tapi juga oleh masyarakat luar bahkan oleh Kedutaan Amerika. “Yang pasti dukungan itu akan kami manfaatkan sebaik mungkin. Ke depan kami akan menyelenggrakan acara yang tak kalah hebohnya…”, canda mahasiswa Sastra Inggris UTM ini menutup pembicaraan (bolinks@2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar