Halaman

September 20, 2011

ARJUNA WIWAHA VERSI PETANI MAGELANG.


Oleh: Hari Atmoko.

Borobudurlinks, 20 September 2011.
Dedaunan di ranting pepohonan bergoyang-goyang diterpa embusan lembut angin malam itu, seakan mengikuti lantunan nyanyian berbahasa Jawa yang dibawakan dua penembang dengan iringan syahdu pukulan gamelan. Suara gemericik dari aliran air Sungai Pabelan Mati tertangkap gendang telinga, seolah-olah menjadi musik alam pengiring lagu berjudul "Kaduk Rena" yang ditembangkan Parwito dan Natalia, dua seniman Padepokan Tjipto Boedoyo dari lereng Gunung Merapi di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Satu-dua daun kering melayang-layang bagaikan mengikuti nada "ketawang", tanda irama halus lagu slendro "patet sanga" itu, melewati sorot lampu aneka warna dari berbagai sudut hingga jatuh di beberapa tempat, di panggung terbuka beralas tanah Studio Mendut, Kabupaten Magelang, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.
"Ngin angin mangidit milir. Arum-arum lumrang banjaran sadi. Kedhep tesmak myang sekar nedheng umekar. Kaduk rena bermara ngisep sarine. Brengengeng si kumbang iku. Sirnaning lungkrah lan lesu. Kiber e elar ambabar. Laju miber-miberi lumayang ing awang-awang. Mencok ing pang rena anyanding kembang," demikian syair tembang Jawa gubahan komunitas seniman petani itu.
Terjemahan bebas atas syair tembang itu adalah "Ketika angin bertiup, berbau harum karena bunga-bunga di sekitarnya. Harum bunga karena sedang mekar meminta kupu-kupu terbang dan mengisap sari madunya. Kupu-kupu terbang berdesing ketika bersuka hati mendapatkan madu yang bisa menghilangkan kesal dan lesu. Mereka melaju terbang, mengitari sekitar taman bunga. Terbang ke langit yang lebih tinggi dan mencari pohon bunga, lalu hinggap di dekat kembang itu".
Tembang itu melantun ketika adegan empat penari putri menggambarkan bidadari bersuka ria di khayangan, masuk ke panggung pementasan sendratari Arjuna Wiwaha berdurasi sekitar 1,5 jam dengan sutradara Sitras Anjilin (Pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo) yang disuguhkan secara eksklusif kepada sejumlah wisatawan mancanegara.
Sebanyak 18 penari dan 18 penabuh gamelan memainkan pergelaran dengan penata tari Surawan, musik Simon Supriyanto, lampu Becak, instalasi panggung Ismanto dan Riyadi, serta personel pendukung lainnya yakni puluhan seniman petani anggota Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Anding, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh) Magelang. Sitras yang berselempang kain warna hitam di pundaknya, membuka pergelaran melalui performa ritual ditandai pembakaran belasan batang dupa dengan wadah periuk, di bawah patung batu setinggi sekitar 2,5 meter berjudul "Monumen Lima Gunung". Ia kemudian perlahan melangkahkah kakinya, mengitari satu kali panggung terbuka itu dalam balutan iringan tembang Jawa dua bait yang bersyair doa, dibawakan secara bersama-sama oleh para pengrawit.
"Hyang Agung kang murbeng dumadi, tinebihna saking tolak sarik. Hyang Aung ingkang maha mirah, paring berkah rahmat lan hidayah". (Kira-kira terjemahannya "Tuhan pencipta dunia, jauhkan kami dari bahaya. Tuhan Maha Murah, memberi rahmat dan petunjuk", red.).
Lakon Arjuna Wiwaha yang digelar seniman petani itu mengisahkan tentang penolakan Dewi Supraba (Novarina Rahanardei), bidadari dari khayangan Jonggringsaloka yang juga putri bungsu Batara Indra (Eka Ciptaning) terhadap lamaran raja raksasa Prabu Niwatakawaca (Darmawan). Niwatakawaca bersama prajurit raksasa lainnya mengamuk di khayangan dan mengancam keselamatan dunia karena Supraba menolak lamarannya.
Adegan lain bercerita tentang laku tapa Arjuna dalam wujud Begawan Mintaraga (Widyo Sumpeno) di puncak Gunung Indrakila untuk mendapatkan pusaka dari para batara guna menyiapkan diri menghadapi perang Baratayuda. Arjuna menjadi pelaku utama dalam pergelaran ditandai dengan tatanan Studio Mendut yang tampak artistik di berbagai tempat antara lain berproperti puluhan lampu lilin berbedeng bentuk lingkaran dari pelepah pisang dan taburan kembang mawar di mana-mana, serta puluhan lelaki dan perempuan mengenakan pakaian adat Jawa itu.
Terlihat hadir untuk menyaksikan pergelaran sendratari Arjuna Wiwaha itu antara lain pengamat budaya Universitas Akita Jepang, Yoshimi Miyake, General Manager Hotel Amanjiwo Borobudur, Mark Swinton, budayawan Borobudur, Ariswara Sutomo, dua penyair Magelang masing-masing Dorothea Rosa Herliany dan ES Wibowo, pengajar tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo, serta koreografer Solo, Eko Supendi.
Dikisahkan bahwa Arjuna lolos dari berbagai godaan yang datang antara lain dari para raksasa dan binatang yang digambarkan sebagai sejumlah pelaku tokoh wayang, cakil (Martejo, Markayun, dan Untung Pribadi), saat bertapa sehingga mendapatkan pusaka berupa panah Pasopati dari Batara Guru. Ia juga diceritakan sempat terlibat perang tanding dengan Prabu Wilatarupa yang penjelmaan Batara Idra, saat secara tidak sengaja mereka bersama-sama membidikkan panah masing-masing untuk memanah celeng (Sumarno).
Batara Indra mengutus Arjuna untuk memerangi Niwalakawaca bersama pasukan raksasanya yang mengancam kerusakan khayangan dan dunia. Arjuna juga dipertemukan dengan Supraba guna mengatur siasat mengalahkan Niwalakawaca. Berkat bantuan Supraba, kelemahan atas kesaktikan Niwalakaca terbaca oleh Arjuna. Ketika Niwalakaca berbicang-bicang dengan Supraba, Arjuna meluncurkan anak panah Pasopati tepat mengenai mulut Niwalakaca, tempat dimana kelemahan raja raksasa itu. Lakon itu digambarkan ditutup dengan pesta perkawinan secara meriah antara Arjuna dengan Supraba.
Para penonton tampaknya menyimak secara tegun, bagaikan mencoba menyerap makna atas setiap adegan pementasan Arjuna Wiwaha, "masterpiece" gubahan Empu Kanwa yang diambil dari epos Mahabharata. Kisah kepahlawanan yang sarat makna itu telah berusia lebih dari 400 tahun. Apalagi, agaknya penonton telah ditarik perhatian renungannya dengan isi pidato singkat budayawan Magelang, Sutanto Mendut, sebelum pementasan itu, yang menyebutkan bahwa lakon Arjuna Wiwaha sebagai kisah perjalanan hidup kalangan ningrat dan identik dengan panggung pementasan di keraton.
Tetapi malam itu, Arjuna Wiwaha digarap dan disuguhkan oleh para petani Gunung Merapi di panggung alam dengan pepohonan di sekeliling yang berhias berbagai karya rupa patung batu, relief, dan beralas tanah bercampur abu vulkanik sisa letusan Gunung Merapi akhir 2010.
"Dalam kisah ini anda bisa melihat, mungkin suatu cerita percintaan atau cinta yang natural, atau sejarah politik. Tetapi kisah ini adalah suatu getaran jiwa psikologis yang dirancang untuk membangun suatu pemikiran ulang tentang pandangan terhadap kehidupan atau kehidupan pribadi," katanya.
Satu ikhwal mungkin menarik pula, lakon Arjuna Wiwaha yang identik dengan pementasan ningrat di keraton, tetapi hingga menjelang tengah malam itu disajikan petani di panggung terbuka beralas tanah. Bagi Sitras yang komunitas seniman petani padepokannya berbasis kesenian wayang orang, lakon Arjuna Wiwaha ditarik menjadi pergelaran perenungan atas suatu perjalanan hidup siapa pun manusia untuk meraih puncak-puncak keberhasilan. "Supaya tidak mudah menyerah," katanya.
Mark Swinton yang warga negara Amerika Serikat itu dengan bahasa Indonesia terdengar terbata-bata mengungkapkan apresiasinya terhadap pentas Arjuna Wiwaha oleh seniman petani gunung setempat. "Terima kasih banyak saya bisa menyaksikan. Ini pementasan dengan 'atmosfer' bagus, natural, dan menyentuh hati," katanya.
Yoshimi Miyake yang pengajar sosio linguistik Jurusan Studi Komunikasi Internastional Universitas Akita Jepang itu bahkan mengaku tak menyangka saat lawatan kembali ke Indonesia kali ini bakal mendapatkan kesempatan menikmati sendratari Arjuna Wiwaha yang disajikan seniman petani. "Saya tidak pikirkan akan ada kesempatan bisa menikmati seperti ini. Saya lihat banyak godaan bisa ditolak Arjuna. Saya tertarik dengan semua gerak tarian yang dimainkan komunitas ini," kata Yoshimi dalam bahasa Indonesia.
Yoshimi yang nampaknya mengerti secara baik tentang cerita Arjuna Wiwaha itu mengapresiasi pergelaran tersebut dengan sebutan "mengharukan". "Mengharukan. Saya bahagia ada unsur yang baru. Saya melihat pemain desa ini. Ini mutu tinggi dari orang desa, bisa mengolaborasi desa dengan kebudayaan keraton dalam cara yang lebih bagus. Situasi yang hangat bagi kebersamaan, natural. Sempurna," katanya.
Meski dengan jumlah penonton terbatas namun tetap bernuansa pergelaran eksklusif, aplaus mereka pada akhir suguhan cengkerama Arjuna Wiwaha dengan petani Gunung Merapi, seakan tak ingin berkesudahan (ANTARA Jateng.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar