Halaman

Mei 04, 2010

SERIBU ANAK MENARI TOPENG IRENG.


Borobudurlinks, 4 Mei 2010. Sekitar seribu anak taman kanak-kanak di kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, secara bersama-sama menyuguhkan tarian tradisional setempat "Topeng Ireng" pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2010, Senin.
"Kalau jumlah tepatnya 1.225 anak, mereka berasal dari 33 TK dan sederajat, mementaskan secara massal tarian itu," kata pelatih tari Pondok Seni dan Budaya Boediardjo, Borobudur, Eko Sunyoto, di Borobudur, Senin.
Pentas massal di Lapangan Desa Tingal, Kecamatan Borobudur itu, katanya, sebagai bagian upaya mendidik mereka sejak dini agar cinta terhadap seni dan budaya setempat. Tari "Topeng Ireng", katanya, asli Borobudur dan telah lahir sejak zaman penjajahan Belanda. Kata "topeng ireng" kepanjangan dari "toto lempeng irama kenceng" artinya menata hidup secara baik dengan irama yang dinamis.
Ia mengatakan pemerintah jajahan pada masa lalu melarang masyarakat berlatih silat sehingga warga Desa Tuk Songo, relatif tak jauh dari Candi Borobudur, mengembangkan berbagai gerakan silat itu menjadi tarian rakyat. Tarian itu diiringi dengan musik gamelan dan tembang Jawa yang intinya menyangkut berbagai nasihat tentang kebaikan hidup dan penyebaran agama Islam.
Ia mengatakan mereka menyiapkan diri mementaskan tarian itu sejak sekitar 1,5 bulan terakhir.
Selama enam bulan sebelumnya, katanya, sebanyak 101 guru mereka menjalani pelatihan tari dan pengembangannya di Pondok Seni dan Budaya Boediardjo, sekitar 500 meter sebelah timur Candi Borobudur. Tari "Topeng Ireng", katanya, kini berkembang tidak hanya di sekitar Borobudur dan Magelang, tetapi juga ke daerah lain seperti Parakan, Temanggung, dan Boyolali.
"Sekarang tarian itu sudah merambah ke daerah lain terutama di sekitar Magelang," katanya.
Saat ini, katanya, anak TK dan sederajat yang tersebar di 20 desa di sekitar Candi Borobudur telah bisa menari "Topeng Ireng". "Para guru juga mengembangkan properti, gerak, dan tembang pengiring tarian itu, tetapi yang lebih utama, anak-anak Borobudur sejak dini mulai mengenal keseniannya," katanya.
Hadir pada kesempatan itu antara lain Camat Borobudur, Sukamtono, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kecamatan Borobudur, Sunardi, dan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Borobudur, Haryono (ANTARA News Jateng).

6 komentar:

  1. Lukman Fauzi:
    Kok iso yo,topeng ireng dadi jeneng.padahal asline ndayakan,...saking pintere senimane yo!le ngotak atik.kiro2 sing pas sing ndi...!

    BalasHapus
  2. Mualim M Sukethi:
    Yang bener nama aslinya mmg 'Topeng Ireng'. Sejarahnya, kesenian tradisi bernama Topeng Ireng ini bukan lahir di jaman penjajahan Belanda. Tapi sdh di jaman kemerdekaan. sekitar th 60-an.
    Saat itu Budiardjo (alm), mantan Menteri Penerangan RI (Orde Baru), yang juga tokoh masyarakat Borobudur, seringkali membuat hajatan kesenian. Kesenian yang populer saat itu adalah 'Kubro Siswo', yang mmg dilandasi gerak2 silat dan tembangan berlirik islami.
    Karena penontonnya cukup banyak merubung tempat pertunjukan, dan seringkali menyulitkan gerak para penari. Maka oleh mBah Sujak, seniman dr Tuk Songo, diciptakanlah tokoh atau karakter tambahan yang seluruh tubuhnya dilumuri cat hitam dr 'langes' (abu bakaran arang). Diharapkan dgn adanya karakter baru itu penonton akan tersibak memberi jalan atau ruang, sehingga penari lebih leluasa. Ternyata cara ini cukup efektif. Penonton yg tak mau bersenggolan dgn karakter2 baru ini, karena kawatir terkena cat hitam, otomatis minggir dan jalanan atau ruang pun tersibak.
    Mbah Sujak juga menciptakan topeng2 baru berwarna hitam untuk melengkapi penampilan karakter2 barunya ini. Sejak itu tarian ini dinamakan 'Topeng Ireng'.
    Sedangkan istilah 'nDayakan' justru baru muncul saat Festival 5 Gunung (F5G) ke 1, th 2001. Saat itu grup 'Topeng Ireng' yg mewakili Borobudur/Menoreh tampil dgn kostum baru, yang diilhami kostum Indian Amerika (bukan Dayak kalimantan). Karena di Indonesia suku Indian selalu disalah sebutkan menjadi nDayak, maka kesenian itu juga disebut nDayakan. Berkat penampilan di F5G itulah kesenian 'Topeng Ireng' atau 'nDayakan' itu melejit, dan kemudian populer sebagai kesenian khas Magelang.
    Semoga informasi ini bermanfaat.

    BalasHapus
  3. Tetet Srie WD:
    Yes, saya yakin seyakin yakinnya kreatifitas teman2 Magelang pada tataran kesenian rakyat sungguh luar biasa; bukan saja pada aspek seninya saja tapi juga sosial kemasyarakatannya. Saya pernah membawa grup dari desa mBolong ke Taman Mini di panggung utama dan istimewa dalam festival se nusantara. mBolong mendapat kekaguman yang berlebih-lebih, nyaris seperti ketika Krisdayanti tampil dalam forum diva, dari daerah "tersingkir" dengan mudah. Salam.

    BalasHapus
  4. Eko Magelang:
    Banyak dan sering melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni tradisonal setidaknya akan mampu membuat mereka mengenal kemudian cinta pada seni dan tradisi mereka sendiri, yang akhirnya seni ini tak akan mati...

    BalasHapus
  5. Mualim M Sukethi:
    @Tetet. Melihat perkembangan seni rakyat di Magelang mmg tdk boleh mengabaikan aspek sosio-anthropologisnya. Sbb kalau hanya dari 'seni untuk seni' pasti nggak nyambung...
    @Eko. Asal jangan sampai ada larangan (dr kalangan agama tertentu) bagi anak2 untuk berolah seni. Di lingkiungan rumahku, di Jkt, gejala larangan itu sdh muncul. Makanya Mgl adalah sorga.

    BalasHapus
  6. Ifat Irmawan:
    salut...!
    kebetulan di kampungku sana di Borobudur, grup pemudanya ada yg tergabung dalam grup kesenian ndayakan ini. sering banget menyaksikan mereka pentas baik di desa sendiri maupun di luar. haru sekaligus bangga, melihat anak-anak muda yang masih mencintai seni budaya tinggalan nenek moyang.

    BalasHapus