Halaman

Mei 29, 2010

KOMUNIKASI POLITIK ALA CAWALKOT MAGELANG 2010.


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 29 Mei 2010.
Siang itu saya makan di warung kaki lima di sekitar alun-alun Magelang. Ketika sedang enak-enaknya menikmati sajian somay, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dari arah kejauhan. Sumber bunyi itu ternyata raungan ratusan motor yang gasnya digeber-geber, memunculkan suara keras dengan irama yang khas. Yang pasti bunyi-bunyian itu menimbulkan polusi suara yang cukup memekakan telinga.
Benar juga, siang itu ratusan sepeda motor, masing-masing ditunggangi 2-3 orang dengan atribut partai dan kandidat walikota sedang berkampanye keliling kota. Model kampanye seperti itu sebenarnya di kota-kota besar sudah ditinggalkan. Selain tidak efektif, karena tidak banyak yang melihat, juga dianggap berpotensi mengganggu lingkungan.
Saya dan beberapa pengunjung warung somay itu juga sekedar menengok. Setelah rombongan kampanye itu melintas, kami meneruskan menyantap somay yang lumayan nikmat itu. Segelas es kelapamuda yang ikut menemani, lumayan mendinginkan suasana panas (dan panas hati karena terganggu raung ratusan motor) siang itu.

ASAL RAME.
Komunikasi politik adalah cara atau metode yang digunakan oleh seorang calon atau pemimpin untuk menyatakan diri (eksistensi), atau menyampaikan gagasan dan kebijakannya. Berkomunikasi secara baik serta penggunaan media komunikasi yang tepat guna, selain menunjukkan kualitas calon atau pemimpin itu, juga diharapkan mampu menjamin keberhasilan target komunikasi sesuai harapan.
Seperti biasanya, demam pilkada (pemilihan kepala daerah) di Magelang diwarnai oleh riuh rendah program atau model kampanye konvensional. Saya mencoba mengamati dan membuat analisa terhadap komunikasi politik yang dilakukan kandidat, berdasarkan media yang mereka buat plus berbagai program kampanye lain yang diliput media massa, termasuk lewat dunia maya (internet).
Saat ini, spanduk, banner, poster, sticker, selebaran, yang berisi wajah-wajah kandidat dalam posisi formal memenuhi tempat-tempat strategis di kota Magelang. Bahkan sarana transportasi, baik milik pribadi atau pun umum, tak ketinggalan memajang wajah-wajah yang berusaha tampil manis itu.

Pesannya pun hampir seragam. Selain menampilkan wajah masing-masing pasangan kandidat dalam posisi medium shot, juga diimbuhi pesan atau slogan yang berusaha menunjukkan perbedaan dan keunggulan masing-masing.
Namun tanpa mereka sadari, pesan-pesan itu tidak menunjukkan arah ideology atau orientasi kepemimpinan masing-masing. Bahkan terkesan asal comot kalimat yang dianggap bagus tanpa memahami logika kalimat atau nilai filosofi di balik kalimat itu.
Misalnya pada pasangan Sijoli mereka mencantumkan kalimat “Mari Maju dan Sejahtera Bersama”. Mereka tidak menyadari bahwa kata “bersama”, dalam politik nasional identik dengan SBY dan PD (Partai Demokrat). Atau slogan ‘Becik Tur Apik”. Becik juga berarti apik dalam tingkatan yang lebih sempurna. Jadi ‘becik tur apik’ adalah pengulangan kata apik.
Yang paling rame adalah slogan pasangan Sendhiko. Tanpa rasa risi, mereka mengutip kata “perubahan’ yang sejak awal dipakai Budi-Titiek. Mereka juga menganggap diri “ahlinya’, seperti slogan Fauzi Bowo ketika maju pada pilkada DKI Jakarta. Dan lain-lain kata atau kalimat jiplakan lainnya.
Sementara pasangan Koentjoro-Enny paling irit kata. Mereka hanya menyodorkan slogan “Mbangun Kutho, Noto Negoro”, yang terasa primordial. Mungkin pasangan ini merasa, bahwa Magelang semata milik dan dihuni penduduk suku Jawa.
Dari empat pasangan kandidat, mungkin hanya pasangan Koentjoro-Enny yang tak begitu menyolok menampilkan dirinya. Yang agak berbeda adalah banner yang menampilkan calon wakil walikota (AA2) Joko Prasetyo atau Joko Cilik. Di antara foto-foto pasangan para kandidat yang terkesan seragam dan narsis itu, menyelip foto Joko bersama keluarga yang menyiratkan faktor keluarga harmonis bagi keberhasilan seorang pemimpin.
Pemasangan media luar ruang (outdoor advertising) yang serampangan, terkesan asal rame, itu jelas mengganggu dari segi lingkungan. Mereka sepertinya tak pernah menyadari, atau tak peduli, pentingnya estetika kota. Jadi jangan kaget kalau sekarang ini kota Magelang terpolusi, baik polusi ruang-rupa, hamburan kata, dan bising suara.


(Foto2 ini karya Mas Ratmoko Adi Nugroho (Sendhiko) dan dari grup Dukung Budiyarto)

Beberapa kandidat mencoba mempromosikan diri dan gagasannya lewat media cetak. Sigit Widyonindito menggandeng sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menerbitkan semacam tabloid berjudul ‘Paradigma’. Tabloid ini tidak semata-mata mempromosikan Sigit. Ia juga menampilkan beberapa artikel lain yang bermuatan pendidikan politik mau pun informasi umum tentang kota Magelang. Entah tabloid ini terbit berapa nomor, namun dalam konteks pendidikan politik langkah ini pantas diapresiasi.
Sementara Sendhiko dan Budiyarto juga menerbitkan semacam flyer (selebaran). Bedanya dengan bulletin yang disponsori Sigit, flyer ini semata-mata memuat informasi tentang apa dan siapa Sendhiko dan Budiyarto. Yang pantas disayangkan, selain informasinya kurang mengakomodasikan gagasan-gagasan, penulisan mau pun tampilannya terasa kurang professional.
Selain itu, para kandidat juga mengadakan acara (off-air) yang berkaitan dengan isu-isu yang menjadi program unggulan mereka. Misal, pasangan Sendhiko membagikan premi asuransi kesehatan (askes) bagi 40.000 warga miskin. Mereka juga membiayai beberapa warga yang sakit berat dan memerlukan tindakan operasi.
Kendati premi itu hanya berlaku untuk bulan Mei-Juni, program ini tergolong terobosan. Sebab, di tingkat nasional sekalipun, asuransi kesehatan sebagai bagian dari system asuransi social yang menjadi hak dasar masyarakat, bagi para calon pemimpin merupakan isu yang kurang begitu popular .
Pasangan Sijoli mengimbangi program itu dengan mengadakan beberapa acara pengobatan gratis. Ini acara tandingan terhadap pembagian premi askes oleh pasangan Sendhiko. Kompetisi semacam ini cukup bermanfaat bagi warga secara langsung. Sayang, dalam prosesnya berhembus isu-isu negative yang cenderung jadi kampanye hitam antar keduanya.
Pasangan Sijoli juga terlihat lebih progresif dibanding kandidat lain. Mereka mengadakan pertemuan dengan pengusaha papan atas kota Magelang. Selain mempresentasikan gagasannya, lewat pertemuan ini juga berhasil ditampung berbagai masukan tentang bagaimana memajukan ekonomi kota Magelang. Termasuk bagaimana caranya mengatasi masalah pembangunan pasar Rejowinangun yang tertunda-tunda.
Kalau beberepa hari lalu, saat saya menulis ‘Menimbang Cawalkot Magelang 2010-2015”, baru Joko Prasetyo yang menemui para pedagang Pasar Rejowinangun, kini semua kandidat sudah mendatangi pedagang langsung di pasar penampungan. Selain berorasi dengan panggung kecil dan loudspeaker, mereka juga mendatangi satu persatu pedagang.
Sayang, ketika bertemu langsung dengan para pedagang itu, para kandidat terlalu memaksakan untuk menyampaikan pesan agar para pedagang itu memilih mereka. Seandainya mereka meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengar keluh kesah para pedagang, dan memberi penguatan atau empati, impresi para pedagang pasti berbeda. Setidaknya ini yang saya saksikan ketika Sijoli menemui para pedagang di pasar penampungan.

Pertemuan dengan warga atau elemen masyarakat lain juga banyak dilakukan oleh para kandidat. Mungkin karena dilakukan secara tertutup, bersifat pribadi non formal, atau tidak mengusung isu-isu menarik, sehingga kurang terekspose media massa. Kalau toh acara-acara itu diunggah di grup-grup facebook pendukung masing-masing kandidat, secara komunikasi terasa kurang efektif, karena tidak disertai dengan informasi yang memadai.
Pasangan Budiyarto-Titiek Utami mencoba menawarkan alternative lain. Pasangan yang memberi penekanan pada isu membangkitkan kebudayaan/kesenian kota Magelang, itu memberangkatkan grup kesenian Topeng Ireng ke Jakarta untuk meramaikan hajatan PMI (Palang Merah Indonesia) Jakarta yang diketuai Rini Sutiyoso. Kendati baru langkah awal, program ini pantas diapresiasi.
Sekedar diketahui, Rini Sutiyoso (istri Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta), adalah kakak ipar Budiyarto. Pemanfaatan figure Sutiyoso pada beberapa kampanye Budiyarto bisa berdampak dua sisi. Di satu sisi masyarakat bisa menganggap ‘kehadiran’ Sutiyoso akan membawa manfaat bagi kota Magelang. Setidaknya dari penguatan jaringan yang dimiliki Budiyarto untuk menarik investasi. Namun di sisi lain masyarakat banyak yang menilai, kehadiran Sutiyoso dan/bagi keluarganya, membuktikan kalau Budiyarto bukan jenis pemimpin yang mandiri.
Hal ini tentu berbeda dengan kehadiran Budiman Sujatmiko bagi pasangan Sijoli. Mantan aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) itu datang dalam kapasitas sebagai anggota DPR Pusat dan DPP PDIP yang bertugas memenangkan pilkada, sehingga kedatangannya dianggap lebih relevan.
Pemanfaatan figure pemimpin nasional juga dilakukan oleh pasangan Sendhiko yang diusung Partai Demokrat dkk. Dalam beberapa media kampanyenya terpampang gambar Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mendampingi gambar Budi Prasetyo-Kholid Abidin. Mungkin Sendhiko menganggap dengan menampilkan SBY masyarakat Magelang akan terpengaruh untuk memilihnya. Tapi bisa juga jadi boomerang. Jangan lupa, akibat kasus Century, pengunduran diri Sri Mulyani dan Anggito Abimanyu, yang mencerminkan ketidaktegasan SBY telah mengakibatkan popularitasnya menurun drastic.

FENOMENA OBAMA.

Kehadiran teknologi komunikasi yang menampilkan jejaring social semacam facebook juga dimanfaatkan oleh para kandidat. Namun sayang, teknologi digital semacam ini tidak dimanfaatkan secara optimal.
Masing-masing kandidat hanya sekedar membentuk grup pendukung di facebook. Setelah itu mereka menggunakan untuk sekedar berwacana. Sesekali mengutip kata-kata bijak dari para pahlawan lalu dicantumkan di dinding grup.
Tidak ada seorang pun kandidat yang berusaha mengelaborasi ide dan gagasannya dalam suatu tulisan yang bisa menjadi topic diskusi grup. Kalau toh mereka melempar wacana, maka kemudian akan disambut koor pendukungnya dengan komentar senada: setuju, inilah pemimpin kita, ayo pilih no sekian, etc etc.
Jika kemudian ada yang mencoba menyanggah atau menawarkan wacana tandingan biasanya tidak ditanggapi dengan bijak. Tidak pernah terjadi diskusi. Komunikasi cenderung sepihak. Hal ini serupa dengan dialog public yang dilakukan kandidat secara langsung. Mereka hanya mengumbar gagasan, tapi tidak berusaha menangkap aspirasi masyarakat. Berusaha menarik simpati, tapi tak paham bagaimana menumbuhkan empati.
Mereka juga tidak berusaha memanfaatkan grup-grup yang telah mapan, seperti grup ‘Magelang Kota Harapan’ yang beranggota hampir 5000 orang. Kalau mereka mau memanfaatkan grup semacam ini, tentu seijin adminnya, maka angka 5000 orang bukan angka yang kecil. Apalagi mengingat anggota grup (pengguna internet) adalah golongan klas menengah Kota Magelang, yang memiliki pengaruh di lingkungannya.
Kehadiran situs walikotamagelang.com yang dibuat kalangan wartawan Magelang, juga tak dimanfaatkan untuk kepentingan dialog interaktif yang sehat. Situs hanya sekedar memberitakan kegiatan-kegiatan para kandidat saat berkampanye. VisiMisi atau gagasan yang lebih operasional tak dapat ditemui pada situs itu.
Apabila kemudian ada yang menanggapi berita-berita kampanye itu dalam kolom yang tersedia. Maka kemudian yang terjadi saling serang antar pendukung kandidat. Namun bukan dialog cerdas yang terjadi, melainkan saling maki dengan ungkapan kasar atau pemikiran dangkal.
Yang mengherankan media yang murah meriah ini juga tidak dimanfaatkan pasangan Koentjoro-Enny. Yang membangun citra sederhana dan miskin dalam kampanye konvensionalnya. Mestinya pasangan ini menyadari bahwa sederhana itu tak berarti miskin.
Orang miskin itu harus kreatif. Lewat media ini seharusnya Koentjoro bisa memaparkan gagasan dan pikiran-pikirannya sebagai 'orang pintar', orang sekolahan. Dari grup yang dibikin pasangan ini, kesan intelektual itu tidak muncul. Sayang....
Saya jadi teringat dengan kemenangan Obama dalam pemilu Amerika Serikat (AS) yang fenomenal. Bisa jadi kemenangan presiden berkulit hitam pertama dalam sejarah AS, itu menandai fenomena internet yang luar biasa.
Sejak diperkenalkannya facebook, twitter, dll, Obama memanfaatkan jejaring social itu secara optimal. Ia memasuki grup-grup yang tumbuh subur di Amerika, bahkan di seluruh dunia. Ia tak hanya rajin menawarkan wacana, tapi juga tak segan-segan menyapa anggota yang sedang bermasalah dan menampilkan masalahnya di dindingnya sendiri atau di dinding grup.
Misalnya, ada keluhan dari seorang istri yang mengalami KDRT (kekerasan di dalam rumah tangga). Maka Obama menanggapi dan memberi penguatan terhadap ibu itu. Demikian pula dengan terjadinya boom krisis perumahan di negeri paman Sam itu. Banyak keluhan muncul tentang kegagalan mereka membayar kredit perumahan. Obama menyapa mereka dan memberikan advis yang mungkin bisa memberikan pencerahan terhadap krisis yang membelit jutaan warga AS saat itu.
Sapaan Obama itu tidak otomatis menyelesaikan masalah yang membelit kebanyakan warga AS. Tapi, setidaknya sapaan itu memberi harapan, ada seorang atau pihak-pihak memperhatikan kesulitan yang dihadapi warga. Simpati Obama itu akhirnya berbalas simpati dari warga.
Ketika Obama mencalonkan diri menjadi anggota senat, bahkan kemudian mencalonkan diri menjadi presiden AS, maka dukungan warga meluas secara luar biasa. Simpati public menjelma menjadi relawan lintas etnis (termasuk beberapa dari In donesia), menangguk dana sumbangan yang jumlahnya memecahkan rekor dalam sejarah penggalangan dana pemilu di AS.
Uniknya sumbangan itu bukan berasal dari usahawan besar seperti pada calon-calon presiden sebelumnya, tapi justru dari masyarakat kebanyakan yang hanya mampu menyumbang sedolar dua dolar. Kemudian terbukti, kemenangan Obama sebagai presiden AS adalah kemenangan demokrasi sekaligus kemenangan teknologi maya.
Hal ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan calon walikota Magelang dari jalur independen, yang terpaksa membayar warga yang mau menyerahkan KTP sebagai syarat dukungan baginya. Saya sendiri tak akan menilai, hal-hal seperti ini termasuk ‘money-politic’ atau tidak.
Itulah bedanya, seorang Obama yang menyadari pentingnya menggalang dukungan sejak jauh hari, dan tentunya juga cerdas memanfaatkan teknologi. Dibandingkan model pemimpin instan seperti cawalkot Magelang, yang hanya bergerak dan bertindak saat menginginkan dukungan rakyat dan para pihak.

***
Mungkin tidak fair membandingkan kualitas calon pemimpin Magelang dengan Obama. Namun tak ada salahnya kita mendorong masyarakat untuk bermimpi. Seperti filosofi masyarakat AS yang justru menggunakan mimpi yang terkenal sebagai “American Dreams” sebagai acuan hidupnya. Banyak pemimpin atau tokoh besar AS berasal dari rakyat kebanyakan. Mereka besar karena mampu mewujudkan mimpi-mimpi mereka.
Saya punya seorang anak asuh, yang ikut saya biayai sejak usia SMP. Salah satu hobi anak itu adalah membaca biografi tokoh-tokoh besar. Maka saya pun selain mengirim uang biaya pendidikan, tak lupa mengirim buku-buku biografi kesukaannya. Di Jakarta, buku-buku itu bisa didapat dengan murah, sekitar 2 rb - 10 rb rupiah, di pasar buku loak.
Anak itu kini sudah lulus dari jurusan Budidaya Perikanan Laut Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Sekarang ia bekerja di perusahaan (PMA) yang bergerak di bidang pembenihan udang (benur). Karena perusahaan itu tergolong besar, maka anak itu ditugaskan sebagai supervisor di beberapa tempat di mana proyek perusahaan itu berada.
Saat ini ia berada di satu kota di Cina, di mana perusahaan itu membuka lahan tambak yang skalanya raksasa. Saya yakin keberhasilan anak itu juga berasal dari keberaniannya untuk bermimpi. (bolinks@2010).

24 komentar:

  1. Dafi Erlangga:
    waow...hebat mas..jd tambah informasinya...

    BalasHapus
  2. Ratmoko Adi Nugroho:
    pak mualim njupuk potokuw tanpa keterangan........

    BalasHapus
  3. Mualim M Sukethi:Sori mas Ratmoko... kelupaan. Coba tak edite. Tapi yg dicatatan ini tak bisa diedit. Yg di borobudurlinks msh bisa diedit.

    BalasHapus
  4. Ratmoko Adi Nugroho:
    matur nuwun bapak untuk etikanya....biar cuman gambar mati itu juga pake utek je mbikinnya.....he he he he

    BalasHapus
  5. Khotimatus Sholihah:
    Yups, sebagai penduduk magelang yang mempunyai hak pilih saya juga belum tau mesti milih siapa.. mungkin masih banyak orang2 seperti saya yang lain. Ato mungkin ada rasa pesimis "wong ono walikota karo ra ono podo wae". Rakyat kecil seperti saya berpikirnya yang penting besok bisa makan, anak bisa sekolah,kesehatan murah. Syukur2 dengan ada ... Lihat SelengkapnyaWalikota baru bisa melakukan lompatan2 cerdas dalam mengembangkan potensi yang ada di magelang.
    dari ke-3 calon cawalkot siapa ya....? yang harus saya coblos

    BalasHapus
  6. Yuddy Wong Magelang:
    Jujur, saya sebagai warga Mgl bingung mau milih pasangan mana?! Semua baik. Pak Kuntjoro teman di dunia pendidikan. Sendhiko boss di institusi PNS Pemkot, Sijoli malah makin akrab lagi dlm pergaulan sehari-hari. Budiarto dan pasangannya, dua-duanya kakak sahabat-sahabat saya di SMA 2. Wah, bingung..... Jadi golput koq gak pantes..... Milih gak tahu siapa yg musti dipilih..... Piye, jal?!

    BalasHapus
  7. Gemak Mendut:
    aktif merangsang warga berpolitik,akan edukasional dan bernilai,daripada mengejar nilai pada gelintir orang yang muncul di musim iklan dua bulan tok,yang bersuara ragu,berjasa ndidik calon unt sadar,trmasuk menangpun bedakan dg mampu !

    BalasHapus
  8. Ifat IrmawaN:
    semoga yg terbaik yg nantinya terpilih, sehingga bisa membangun Magelang menjadi lebih maju dan sejahtera.
    trims sharing infonya mas...

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  10. Herry Suprihanto:
    di jaman modern dewasa ini...khususnya urusan komunikasi ... sdh begitu pesat ...mau gak mau...suka tdk suka ...gak bisa dihindari lg...apalagi sekarang ada jejaring sosial seperti ..fesbuk..twitter...tentu lebih rame lg...akibatnya..apapun bisa "muncul" di dunia maya...apakah itu bisa dianggap etis atau tidak...ya tentu tergantung bgm cara ... Lihat Selengkapnyamenyikapi..
    Sebenarnya justru keragaman alat komunikasi seperti ini ( dunia maya ) sangatlah menguntungkan bagi pihak2 yg bisa ambil keuntungan...contonya mas Obama...ternyata dari info yg saya baca...beliau mampu secara optimal memanfaatkan jejaring sosial sebagai alat komunikasi yg effektif dalam upaya mengantarkan dirinya ke gedung putih ....CERDAS...mestinya model sperti itu bisa ditiru di indonesia yg sekarang marak dg "PILKADA"...apakah gubernur...bupati..walikota...tentu sesuai kondisi daerah...
    Beberapa waktu yl...saya baca Catatan di Borobudur Link... menyangkut ...Menimbang Cawalkot Magelang 2010-2015...
    yg melihat potensi smua kandidat dr beberapa aspek...ya tentu sah2 aja...namanya pendapat atau katakanlah mencoba mengkritisi...saya melihat itu sbg hal positip...agar para kontestan punya sebagian referensi yg bisa dipake sbg pertimbangan tuk "MENCOBLOS"...rupanya salah satu kandidat kemudian mengkonter catatan itu...yg intinya si penulis membuat analisa yg begitu cethek dan semacamnya...lho kok gitu... ya tentu saja saya jd heran....
    Terlihat sekali bahwa kandidat yg bersangkutan berkeberatan membaca catatan dimaksud...dan dalam tulisannya...Kandidat dimaksud..lebih mengedepankan "EMOSI" drpd memberikan tanggapan yg proporsional...
    Memang kliatannya seperti "PEMBELAAN DIRI"...atau ingin mengatakan bahwa Kandidat dimaksud tidak seperti itu...tp menurut hemat saya justru Kandidat dimaksud telah berlaku "CEROBOH"....krn dg demikian masyarakat luas dapat menilai lebih jauh kalo Kandidat dimaksud....TIDAK TAHAN KRITIK....EMOSIONAL...MENGANGGAP DIRINYA HEBAT...dsb....atau barangkali malah ada yg menganggap ...."Menyembunyikan Kelemahannya".....Bagaimana nanti Kalo menjadi Pemimpin...apa gak semaunya sendiri...
    Tp smua ya tergantung masyarakat magelang...mereka yg punya hak milih Pemimpinnya...aku kan cuma iseng2 nulis wae ....monggo magelang

    BalasHapus
  11. Pelukis Hardi:
    harusnya yng maju bapak drs. tanto mendut .pemusik elite yng top itu.pasti adil ambeg angkaroromurko.....eh saleh..ambeg poromarto

    BalasHapus
  12. Yusuf Kusuma:
    Yang tertangkap hanya bersifat formatif dan di awang - awang ..... tidak ada yang membumi. Sementara sebagian besar masyarakatnyapun masih lebih berorientasi ke pemenuhan kebutuhan soal uang, yang dengan mudah digiring ke awang - awang, lalu pada gilirannya nanti dilepas dan jatuh lebih sakit lagi.
    Andai biaya buat benner itu diberikan pak nDoeng, bisa buat pameran foto dengan ruang pamer terluas didunia .... dan bisa bikin heboh dunia ..... hehehe .....

    BalasHapus
  13. Mualim Sukethi:
    @Mbak Khotim. Gimana para cawalkot kita ajak ikut lomba lompat tali karet ? Nanti kita lihat siapa yg lompatannya paling tinggi yg kita pilih...
    @Mas Yuddy. Pilih 4-4nya saja...alias golihmua..(golongan pilih semua)..he he
    @Gemak. Produksi isu terus..SEMANGAT !!
    @Mas Hardi. Tanto Mendut mah bukan walikota/bupati, ia sdh jd presiden (5 Gunung).

    BalasHapus
  14. Mualim Sukethi:
    @Ifat. Maju mundur kena. Maju kepentok kali Elo, Mundur nabrak kali Progo. Yg penting Borobudur tetap tegak menantang langit.
    @Mas Herry. Padahal kandidat itu ngakunya wong sekolahan lho. Dari cara marahnya saja kelihatan kualityas pribadinya. Setuju...
    @Mas Yusuf. Gimana kalau nDong kita daulat jd walikota, dan wakilnya Agung Dragon ?

    BalasHapus
  15. Yusuf Kusuma:
    hahaha...... setuju !!

    BalasHapus
  16. Gemak Mendut:
    nama2 relawan tsb diatas ra butuh pemimpin hebat,tapi akan jadi aktifis warga lokal berkelanjutan.keris hardi lebih historis drpd walikota 5 th kotakatakatekita.

    BalasHapus
  17. Mbilung Sarawita:
    Pak nDong didaulat dadi walikota ? Wah, ora pantes ... nek kae cocoke ya minimal Dirut Bank Dunia ... hwahahaaaaa ...

    BalasHapus
  18. Tetet Sri WD:
    Yes, catatan yang menyenangkan; terima kasih om. Salam.

    BalasHapus
  19. Gemak Mendut:
    dahulu cenderung pasrah bangga,alumnus akabri magelang umumnya tokoh2 bangsa jalur militer,mbasan era anyar ngandalkan sipil /madani,ganti kadung pesimis,yo wis.....cukup golceng : golongan cengengesan,asal melu ngawasi amplop politik tuku sworo dagang sapi bisik2.jeneng jenang meneng menang ,seneng wae ora ! Salut untuk mualim,ra dibayar tetep aktif jakarta magelang

    BalasHapus
  20. Mbilung Sarawita:
    nyoblos JuPe jare kepenak ... sayange kok JuPe ora nyawalkot nang Magelang ya ? ;-)

    BalasHapus
  21. Eddy Sutrisno:
    Jupe di coblos Mbilung dong,..

    BalasHapus
  22. Mualim M Sukethi:
    @Mbilung. Neng Mgl kelase Bank Kecrit. Yg berpikir 'ttg dunia' kan hanya segelintir org. Mungkin hanya kita2..he he GR nih.
    @Mas Gemak. Sipil Mgl ketinggalan sepur. dadi ora iso nrobos wilayah (tempurung). Keenaken numpat angkot, mung muter2 neng sangkare dewe.
    @Eddy. Begitu urusan Jupe...eh bapak satu ini baru nongol. Kemana aja pak ?

    BalasHapus