Halaman

April 21, 2010

SWIKE TANPA TULANG PAK WITO.



Oleh: MyAsa Poetika.

Borobudurlinks, 20 April 2010.
Bagi penggemar swike, atau masakan daging kodok (katak), ada ungkapan yang pernah popular “kalau makan swike jangan termakan tulangnya, nanti bisa buta”. Saya dulu sempat bingung memaknai ungkapan itu. Apa hubungannya tulang kodok dengan penyakit mata itu ? Tentu, sebagai masyarakat modern, saya mencoba menerka ungkapan itu dengan logika ilmiah.
Ternyata ungkapan itu sekedar guyonan, yang sama sekali jauh dari ilmiah. Maksudnya ? “Lha ngapain kita makan tulangnya, kalau ada daging yang enak,” kata seorang penggemar berat swike mencoba menjelaskan. “Lha iya toh, wong ada daging yang empuk dan gurih kok cape-cape memakan tulang. Kan namanya ndak ngelihat alias buta,” tambahnya sembari ngakak.
Tapi di Magelang, ungkapan itu ternyata memiliki kebenarannya sendiri. Masakan swike pada umumnya menggunakan daging kodok bagian paha yang memang tebal dagingnya. Daging paha itu disajikan utuh beserta tulang di dalamnya.
Cara makannya mirip makan paha ayam goreng atau opor. Dicomot kemudian digerogoti dagingnya. Sisa tulangnya, karena cukup banyak jumlah paha dalam satu porsi, biasanya dikumpulkan di lepek atau wadah khusus yang disediakan. Sementara bagi yang terbiasa menggunakan sendok-garpu, daging dipisahkan dari tulangnya menggunakan sendok garpu itu.
Di warung swike Pak Wito (57), yang terletak di Jalan Sriwijaya (Bogeman) Magelang, daging kodok itu disajikan berbeda. Daging yang berasal dari paha atau dada kodok itu disajikan utuh tanpa tulang sama sekali. Jadi konsumen tinggal melahapnya tanpa direpotkan untuk memisahkan tulang-tulangnya. Yang repot tentu penjualnya, yang setiap hari harus jlimet mencopoti daging dari tulang yang jumlahnya banyak dan bentuknya kecil-kecil.
“Ah ndak repot. Itu memang kerjaan saya. Dan itu yang jadi keistimewaan kami, dibanding penjual swike lainnya, “ kata Pak Wito memulai pembicaraannya. Pagi itu lelaki berperawakan pendek hitam itu tampak sikuk meracik swike pesanan langganannya, yang tampak duduk di bangku kayu panjang serta kursi plastic yang tersedia di warung emperan toko itu. Mereka harus sabar, karena bapak 4 anak itu sendirian melayani pelanggan.

Saya juga harus menunggu hingga setengah jam untuk bisa menikmati masakan special yang berasal dari budaya kuliner negeri Cina itu. Saya sengaja memesan langsung 2 porsi swike daging, karena sadar biasanya kalau cuma 1 porsi pasti kurang. Karena memang daging kodok yang tersaji dalam 1 porsi tak begitu banyak. Sekitar 4 atau 5 pasang paha yang tak terlalu besar yang tersaji bersama kuah bening kecoklatan, dalam piring kecil yang ukurannya sedikit lebih besar daripada lepek.
Saya melengkapi 2 porsi swike berkuah itu dengan 2 ketupat yang sudah dipotong kotak-kotak sebesar 1 suapan. Beberapa potongan ketupat itu langsung saya masukkan ke piring yang sudah terisi swike sehingga nampak basah kuyub. Saya menyantap sepotong ketupat bersamaan dengan sepotong daging dalam 1 sendok sekali suapan. Tentu ditemani kuah yang hangat-hangat pedas sesuai selera.
“Sluuurp,”. Segar dan nikmat.
Segar karena kuah yang beraroma jahe dan sereh langsung membasahi kerongkongan. Sedang nikmatnya berasal dari daging kodok yang gurih empuk ketika menyentuh lidah dan dikunyah. Demikian pula dengan ketupatnya, yang terasa lembut gurih karena baluran kuah swike.
Rasa pedas yang berasal dari cabe rawit yang diuleg bersamaan dengan bawang putih dan langsung dicampur dalam kuah swike memang terasa menyengat. Tapi hal itu justru menambah selera makan. Sehingga 2 porsi swike beserta 2 ketupat itu tandas dalam waktu singkat.
Seorang ibu setengah baya bernama Yanti mengaku kalau ia menggemari swike Pak Wito itu sejak tahun 70-an. Saat itu Pak Wito masih berjualan keliling dengan pikulan di sekitar Bogeman hingga sepanjang trotoar Pecinan (Jalan Pemuda). Bahkan Pak Wito yang masih berusia muda, saat itu hanya menjadi pembantu bapaknya, Pak Mat Amin.
“Kendati sekarang banyak penjual swike di sekitar Bogeman hingga Kawatan, tapi tetap saja saya memilih swike Pak Wito. Rasanya lain gitu, “ kata ibu yang pagi itu datang ke warung Pak Wito bersama 2 cucu gadisnya.
“Yang hobi berat makan swike itu sebenarnya almarhum suami saya. Hampir tiap hari ia berlangganan makan swike Pak Wito yang selalu melewati depan rumah kami,” lanjut Bu Yanti yang bersama keluarganya juga tinggal di Bogeman. Namun sejak suaminya meninggal 5 tahun lalu, Bu Yanti dan keluarganya tidak lagi makan swike tiap hari. “Tapi hampir setiap minggu kalau kangen, ya kami menyempatkan diri ke warung Pak Wito ini”.
Memang sejak 2 tahun lalu Pak Wito tidak lagi berjualan keliling. Bersama pikulannya ia mangkal di emper toko ini dari mulai pagi jam 09.00 hingga jam 13.00. Ia menggantikan adiknya, Watini, yang lebih dulu mangkal di situ sejak tahun 90-an. Adiknya terpaksa pindah dari emper itu karena pemilik toko keberatan, karena hampir seluruh lebar emper tertutup oleh dagangan adiknya itu.
Sedangkan untuk Pak Wito, pemilik toko tidak masalah, karena hanya menggunakan pikulan dan seperangkat meja kursi sederhana yang tak terlalu menyita tempat. Adiknya sendiri pindah tak jauh dari tempat itu.
Kodok yang menjadi andalan Pak Wito disetor oleh petani dari Temanggung atau Wonosobo. “Dari sekitar Magelang tak banyak lagi kodok yang bisa ditangkap. Entah kenapa, “ jawab Pak Wito ketika ditanya dari mana ia mendapatkan daging kodok itu. Seperti diketahui, kodok yang digunakan untuk swike adalah jenis kodok ijo (hijau), yang memang berkulit kehijauan. Jenis kodok ini dagingnya tergolong paling aman dikonsumsi, serta rasanya gurih-gurih empuk.
Setiap hari selepas shubuh, Pak Wito dibantu istrinya menguliti kodok yang pagi itu disetor petani langganannya. Relatif hanya kepala dan kotoran yang tak bisa dimanfaatkan dari binatang bernama latin Fejervarya Cancrivora itu. Selain daging yang berasal dari paha dan dada, jeroan yang terdiri hati-ampela dan perut (pitho), serta telur kodok bisa dimanfaatkan. Kulitnya pun bisa digoreng menjadi kerupuk.
Daging yang sudah dipisahkan dari tulangnya itu kemudian direbus dan dibumbui dengan jahe, sereh, garam, dan gula jawa. Jahe dan sereh itu berfungsi meredam bau amis daging kodok yang tidak gampang dihilangkan. Setelah empuk, daging dipisahkan dari kuah.
Setelah semua siap Pak Wito mengangkut semua dagangannya itu dengan pikulannya. Rumahnya sendiri di kampung Bogeman tak jauh dari tempat mangkalnya. Oh ya, untuk urusan ketupat pak Wito tidak memasak sendiri. Ia mendapat nasi yang direbus dalam balutan daun kelapa itu dari tetangganya.
“Selain bikin ketupat itu makan waktu. Dengan cara itu kami bisa berbagi rejeki pada tetangga, “ kata Pak Wito menjelaskan kenapa ia tak memasak ketupat sendiri. Sebuah kearifan wong cilik yang memaknai keadilan dengan caranya sendiri.
Di tempat mangkal, Pak Wito tinggal mengulek tambahan cabe rawit dan bawang putih, setiap mendapat pesanan dari para pelanggannya. Jumlah cabe yang akan menentukan pedas tidaknya masakan sesuai permintaan pelanggan. Ulekan cabe dan bawang itu kemudian dicampur daging, daun seledri dan perasan jeruk nipis, lalu disiram kuah yang selalu dalam keadaan hangat. Disajikan bersama potongan ketupat yang jumlahnya juga sesuai permintaan pelanggan. Karena ukurannya yang relative kecil, para pelanggan biasanya menghabiskan sedikitnya 2 ketupat.
Dalam waktu 3-4 jam sehari, Pak Wito menghabiskan 8 kg daging kodok dan sekitar 40-50 ikat ketupat. Dari situ, laki-laki yang hanya sempat mengenyam bangku SD, ini bisa membawa pulang sekitar 150-200- ribu rupiah. “Keuntungan bersih sekitar 60 hingga 75 ribu,” jelas Pak Wito.
“Lumayan mas. Dari daging kodok ini kami bisa menghidupi keluarga selama ini,” kata Pak Wito sembari menghitung hasil jualannya pagi itu. Keempat anaknya kini sudah mandiri. Ada yang bekerja sebagai buruh pabrik, ada yang jadi buruh bangunan. Hanya satu yang meneruskan usaha swike seperti bapaknya. Anaknya yang bernama Slamet (30) itu kini membuka warungnya di pertigaan Kawatan.
Saya sendiri yang menghabiskan 2 porsi swike plus 2 ketupat cukup membayar 15 ribu rupiah. Harga yang tak mahal untuk sebuah kenikmatan yang ngangeni. (bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar