Halaman

Maret 26, 2010

KENANGAN KECIL BERSAMA GUS DUR (02).



Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 26 Maret 2010.
Suatu sore, di tahun 1985. Gus Dur (GD) berjalan kaki sendirian, sepulang dari kantor DKJ (Dewan Kesenian Jakarta di TIM(Taman Ismail Marzuki). Dengan santai, sembari menenteng tas kulit hitam seperti biasanya, GD melintas di halaman Sinema IKJ (Institut Kesenian Jakarta) menuju gerbang belakang TIM, bermaksud naik bemo yang akan mengantarnya ke jalan Kramat Raya, di mana kantornya yang lain (PBNU) berada.
Di halaman Sinema IKJ , saat itu, anak-anak kampung Kalipasir bermain bola. Anak-anak itu memang seringkali memanfaatkan halaman IKj dan TIM sebagai sarana bermain, karena fasilitas itu tidak pernah mereka miliki. Tanpa disengaja, bola yang disepak dengan keras oleh seorang anak mengenai punggung Pak Kyai. GD berhenti, berbalik menghadapi anak-anak itu. Saya dan beberapa teman mahasiswa IKJ yang melihat adegan itu sempat berpikir, mungkin kyai unik itu akan marah.
Ternyata tidak. Tak terlihat ekspresi kemarahan diwajahnya. Ia tersenyum, kemudian membungkuk mengambil bola itu, dan meletakkan di antara kakinya. Dengan masih menenteng tas, ia menggiring bola, dan meminta anak-anak itu merebutnya. Tubuhnya yang tambun meliuk-liuk hingga ke depan gawang kecil, dan kemudian menceploskan bola plastik itu ke gawang yang tak dijaga.
Anak-anak itu tertawa. Kami yang menyaksikan juga tertawa. GD pun terkekeh, dan kemudian sembari melambaikan tangan meninggalkan anak-anak itu. Saya terkesan oleh sepenggal adegan itu. Secara kongkrit saya melihat sosok ‘human’ seorang GD, yang tak berjarak dengan rakyat kecil. Padahal, selain sebagai Ketua DKJ, saat itu GD juga menjabat sebagai Ketua PBNU, organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Ketika menjabat sebagai presiden RI, spontanitas dan kedekatan dengan rakyat kecil tak hilang dari sosok GD. Banyak cerita seputar itu, antara lain: GD mau menerima rekannya sesama kyai yang hanya bersarung dan sandal jepit, tukang ojek masuk kompleks istana, wartawan bebas berkeliaran di kompleks ‘angker’ itu, dll.
Yang mengejutkan adalah ketika GD mengundang Pramudia Ananta Toer. Tokoh Lekra itu menjadi tamu resmi pertama yang diterima GD. Saat itu juga GD atas nama keluarga besar NU dan pemerintah meminta maaf kepada seluruh keluarga eks PKI dalam kaitan dengan tragedi ’65. Namun itikad baik GD sebagai upaya rekonsiliasi nasional itu tak mendapat sambutan. Upayanya untuk mencabut Ketetapan MPRS nomor 25 Tahun 1966, tentang pembubaran PKI dan aturan lain yang ‘menghukum’ keluarga eks PKI, ditentang oleh elite politik lainnya.
Kejutan kedua, adalah ketika GD menerima demo ‘Laskar Jihad’ di istana. Karena laskar pimpinan Jafar Umar Thalib itu memasuki istana dengan pedang terhunus. Memang, kemudian pedang-pedang itu dilucuti ketika GD menemui mereka. Tapi bagaimana pun juga peristiwa itu menggambarkan dengan jelas karakter negarawan GD, yang tak menolak siapa pun untuk berdialog, termasuk lawan politiknya.
Setelah Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan, saya berkesempatan mewawancarainya untuk keperluan penelitian yang akan digunakan sebagai dasar penulisan scenario video profil dirinya. Saya mendapat saran, selepas subuh adalah waktu yang tepat untuk menemui beliau. Saat itulah, setiap hari, GD mengadakan semacam ‘open house’ untuk menemui warga masyarakat yang memerlukannya. Jadi malam itu saya sengaja menginap di mesjid Al-Munawaroh yang terletak di kompleks pesantren Ciganjur milik ‘Kyai Nyentrik’ itu.
Setelah mengisi secarik kertas dengan nama, alamat, dan maksud kunjungan, serta menyerahkannya pada Paspampres yang bertugas menjaga rumah Gus Dur, saya memasuki ruang dalam mesjid. Benar juga, di suatu sudut dalam ruangan yang cukup luas itu berkumpul belasan orang. Ada yang berbaring, ada juga yang masih duduk-duduk berkelompok.
Ternyata mereka adalah warga masyarakat yang ingin menemui Gus Dur. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru tanah air, dengan berbagai persoalan yang tengah dihadapinya. Ada yang sekedar ingin meminta nama untuk anak yang baru diperolehnya. Ada yang minta doa restu untuk memulai usaha. Ada pula yang mengadu karena merasa kurang mendapat keadilan dalam suatu konflik politik. Bahkan ada membawa minyak obat untuk dicoba oleh pemimpin karismatik itu, sekedar promosi gratis apabila obat itu terbukti manjur.
Selepas sholat shubuh, mereka dapat giliran satu persatu menemui Gus Dur di ruang tamu rumahnya. Jangan bayangkan Gus Dur akan menemui tamu-tamunya itu di ruangan besar dengan mebel mewah layaknya mantan presiden. Tak peduli asal muasal, kaya-miskin, pejabat atau rakyat, semua diterima secara lesehan di atas karpet di ruang depan rumahnya. GD pun menerima dengan santai, berkostum celana pendek kaos oblong, sembari dipijat salah seorang santrinya.
Setiap tamu diterima GD sekitar 5-10 menit. Dengan sungguh-sungguh GD berusaha membantu dan memecahkan problem yang dihadapi tamu-tamunya itu. GD tak pernah menghindar atau menunda masalah yang bisa dibantu dipecahkannya. Kendati tak semua bantuan GD berhasil. Tapi masyarakat merasa ‘plong’, karena ada seorang pemimpin yang mau mendengar keluh-kesahnya.
Bagi GD sendiri, acara yang juga dilakukan di kantor PBNU, itu merupakan upaya untuk selalu dekat dengan rakyat. Entah itu bawaan pribadi GD yang memang merakyat, atau keharusan seorang kyai yang tabu menolak tamu. Kendati sekarang ini juga banyak kyai yang terkena sindrom pejabat atau selebritas, susah ditemui umat. Rasanya, sekarang ini, tak mudah menemui pemimpin seperti GD, yang memiliki keterbukaan dan kelapoangan hati seluas samudera. (bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar