Halaman
▼
Maret 29, 2010
BARNABAS SARIKROMO, KATEKIS PERTAMA DI BUMI NUSANTARA.
Borobudurlinks, 29 Maret 2010. Sejarah keberadaan Sendangsono tak bisa dilepaskan dari sosok bernama Barnabas Sarikromo. Keberadaan pribumi Jawa yang dianggap sebagai katekis pertama itu nampak pada kuburannya yang terletak paling menonjol di komplek kuburan yang menyatu di peziarahan itu.
Siapakah Sarikromo, dan apa peranannya dalam sejarah misi Katholik di pulau Jawa itu?
PERTAPA YANG TEKUN.
Akhir abad 19, di dusun Kajoran, Desa Semagung, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Jogyakarta, tersebutlah seorang tokoh pertapa sakti bernama Sarikromo. Sebagai seorang abangan (tidak menganut ajaran salah satu agama) Sarikromo gemar berguru kepada banyak orang pintar untuk menimba Ilmu kebatinan, yang mengarah pada sejatining urip (hidup sejati) menurut versi dan pengertian masyarakat desa saat itu. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai kesempurnaan ilmu tersebut, dilakukan dengan cara laku tapa (bersamadi) di tempat-tempat sepi yang oleh kebanyakan orang dianggap wingit (angker).
Salah satu tempat favorit Sarikromo bertapa adalah sebuah gua yang terletak di desa Semagung. Gua itu diapit dua pohon sono (keling), dengan sebuah sendhang (mata air dengan telaga kecil) tepat dibawah salah satu pohon tersebut. Dipercaya bahwa gua itu adalah kediaman mahluk halus yang bernama Raden Bagus Samijo dan ibunya Dewi Lantamsari. Kecuali untuk bertapa, tempat tersebut juga sering disinggahi oleh para Bikhu Budha yang tengah menempuh perjalanan ke/menuju Borobudur.
Suatu ketika Sarikromo didera sakit kudis yang tak kunjung sembuh. Bahkan hingga menyerang lapisan daging dan menyebabkan penderitanya tak mampu berjalan. Berbagai usaha penyembuhan telah diupayakan, dengan jampi-jampi dan obat tradisional, serta tak lupa dengan semadi yang semakin intens.
Hingga suatu ketika, dalam suatu kesempatan bersamadhi, ayah dari sembilan anak ini meneriima wangsit yang menyuruh mencari kesembuhan kepada orang tinggi besar berpakaian putih. Dalam wangsit juga disebutkan, Sarikromo hendaknya berjalan menuju arah ngalor-ngetan (timur laut). Percaya pada bisikan gaib yang bernada menyuruh tersebut, Sarikromo pun melaksanakannya.
Karena kondisi kakinya yang tidak dapat digunakan untuk berjalan, maka perjalanan yang berjarak tempuh lebih kurang 15 kilometer itu terpaksa dilakukan dengan digendong dan sesekali harus mbrangkang (merangkak) dalam arti kata yang sebenarnya. Ketika perjalanan sampai di Muntilan, Sarikromo melihat seorang Belanda dengan postur tubuh tinggi besar yang mengenakan jubah putih. Naluri Sarikromo mengatakan bahwa itulah orang yang dimaksud dalam wangsit yang diterimanya.
Orang Belanda tersebut tak lain adalah Broeder Kersten, yang dalam karya misi pelayanannya membantu Pastur Van Lith membuka Rumah Sakit di Muntilan. Dengan hati mantap Sarikromo memberanikan diri meminta kesembuhan atas penyakitnya. Selama proses penyembuhan yang mengharuskan sering pulang¬pergi dari desanya ke Muntilan, Sarikromo melihat orang-orang beribadat di Gereja dan mendengar lagu-lagu pujian.
Keinginannya tergugah untuk tahu lebih banyak. Dengan perantaraan Broeder Kersten, Sarikromo dipertemukan dengan Kyai Landa yang memimpin ibadat di Gereja, yang tak lain adalah Pastur Van Lith. Perjumpaan pertama itu disusul dengan perjumpaan-perjumpaan berikutnya. Setelah mendapatkan perawatan dan pengobatan, Sarikromo dinyatakan sembuh dari penyakitnya dan dapat kembali berjalan seperti semula.
Walau sudah dinyatakan sembuh dan tidak sakit lagi, namun hati Sarikromo telah terlanjur terpikat pada pribadi dan penampilan Kyai Landa berjubah putih itu. Ini membuat Sarikromo justru semakin sering datang ke Muntilan. Suatu saat dia minta izin untuk dipebolehkan melihat-lihat suasana sekitar kompleks Gereja. Banyak benda asing dan sama sekali baru yang dilihatnya, dan itu semua ditanyakan kepada Pastur van Lith. Semua pertanyaan itu didengarkan dan dijawab dengan senyum penuh kesabaran oleh Pastur Van Lith, termasuk ketika Sarikromo terhenyak memandangi patung Yesus.
Dengan penuh kesopanan, Pastur van Lith menjawab, "Manawi panjenengan kepingin priksa langkung kathah, mangke kula caosi kitab ingkang njlentrehaken ngengingi Tiyang punika." (kalau 'kamu ingin tahu lebih banyak, nanti saya beri buku yang menceritakan tentang Orang ini). Lalu Pastur van Lith memberikan kepadanya sebuah Buku Babad Suci (Kitab Suci Perjanjian Baru berbahasa Jawa).
Dibekali Buku Babad Suci tersebut, Sarikromo pulang ke Semagung. Setiba di rumah, dengan penuh rasa bangga dipamerkannya buku pemberian Kyai Landa itu kepaca kaum kerabat dan tetangganya. Didorong rasa ingin tahu, mereka minta agar Sarikromo membacakan isinya untuk didengar bersama. Namun permintaan ini tidak segera dipenuhi. Ada rasa takut, jangan-jangan hal ini tidak berkenan dalam hati Kyai Landa di Muntilan.
Maka Sarikromo kembali menghadap Pastur van Lith di Muntilan, hanya sekedar bertanya, apakah diperkenankan membacakan isi kitab tersebut kepada kaum kerabatnya. Dengan senyum yang menyiratkan harapan, Pastur van Lith mengijinkan, bahkan menegaskan bukan hanya untuk kaum kerabat dan keluarganya, tetapi kepada siapa saja.
Saat itulah Sarikromo teringat akan nadarnya ketika kakinya disembuhkan oleh Broeder Kersten, "Bertahun-tahun nyenyeh di kakiku tan kunjung sembuh. Tuhan yang membuat aku dapat berjalan lagi, maka sekarang kakiku akan kupergunakan untuk kehendak Tuhan." Sejak saat itulah Sarikromo mulai berkatekisasi , yang dimulai dari lingkup keluarga terdekat dengan membacakan isi Kitab Suci tersebut.
Tentu saja pada awalnya mereka yang mendengarkan merasa sangat asing dengan isi cerita dan nama-nama tokoh yang disebut dalam kitab itu, namun hati mereka tergerak oleh inti pewartaan yang tersirat di dalamnya. Demikianlah, setelah melalui proses yang cukup lama Sarikromo dibaptis oleh Romo van Lith, dan diberi tambahan nama Barnabas.
KATEKIS PERTAMA.
Setelah itu, Sarikromo menepati nadarnya. Ia menjadi katekis pertama di wilayah itu, yang berarti sebagai katekis pertama di Pulau Jawa, atau bahkan di seluruh Indonesia. Karena saat itu memang belum ada katekis pribumi di seluruh wilayah kepulauan Nusantara.
Sarikromo menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ia tak mengenal lelah menghadapi medan yang terjal di seluruh wilayah pegunungan Menorah. Desa-desa Wonolelo, Kawitan, Jamblangan, di Kecamatan kalibawang, dengan setia dikunjungi untuk mengajar agama.
Ia juga tak gentar menghadapi cemoohan yang tidak senonoh tentang agama Katholik. Berkat kegigihan dan ketekunan Sarikromo, banyak orang yang hatinya terbuka, percaya dan menerima Tuhan Yesus dalam hidupnya. Maka pada tanggal 14 December 1904 sebanyak 173 orang dibaptis oleh Pastur van Lith di Semagung, dengan menggunakan air sendhang yang diapit oleh dua pohon sono.
Peristiwa tersebut kini diabadikan dalam bentuk relief diorama di salah satu dinding kompleks peziarahan Sendangsono. Semangat Sarikromo dalam menebar benih iman tetap menyala, dan atas berkat Tuhan, semakin banyak jiwa yang diselamatkan.
Tahta Suci di Roma sangat menghargai perjuangan dan jasa Sarikromo. Maka pada tahun 1928, dalam kesempatan Yubileum Perak Misi Jawa, Paus Pius XI berkenan menganugerahkan bintang ‘Pro Ecciesia et Pontifice’ kepada Barnabas Sarikromo. Dialah orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan tinggi dari Paus.
Meski banyak jiwa yang telah diselamatkan lewat perjuangan Sarikromo, namun dia masih ingin lebih banyak lagi berbuat untuk karya ilahi itu. Tetapi kiranya Tuhan memandang telah cukup, dan ingin memberikan istirahat panjang baginya. Tahun 1942 "Paulusnya orang Jawa" itu jatuh sakit.
Di bawah pengawasan Sr. Colletta, Sarikromo dirawat di Rumah Sakit St. Yusuf, Boro, Kalibawang. Indra keenam Barnabas membisikkan bahwa tak lama lagi dia akan meninggalkan kehidupan fang di dunia ini. Kepaca anaknya, Januarius Mertosari, Sarikromo minta didoakan Salam Maria. Ketika doa selesai, Sarikromo memberi pesan, "Kalau berdoa itu jangan terlalu cepat, harus betul-betul dirasakan. Lebih-lebih kalau berkata doakanlah kami, harus pelan dan jelas”.
Tak lama setelah selesai berdoa, dan pesan tentang kesungguhan dalam berdoa diamanatkan, Sarikromo berkata, "Aku mau menghadap Ibu”. Menurut perkiraan Mertosari, bapaknya ingin bertemu Suster Colleta, maka dia bergegas menemui suster, memberitahukan keadaan ayahnya. Ternyata sebelum Mertosari kembali ke ruangan perawatan, orang gunung yang sederhana penerima anugerah bintang Pro Ecclesia et Pontifice itu telah menghadap Bunda Surgawinya, untuk dihantar memasuki kemuliaan abadi.
Oleh ibunya, Mertosari disuruh segera pulang mengabarkan kepergian Sarikromo ini kepada kaum kerabat di Semagung, sedangkan Suster Colleta segera menghubungi Pastur Prennthaler di Muntilan. Dari Muntilan pastur mengirimkan sebuah peti kayu jati utuh untuk kelengkapan pemakaman jenasah Sarikromo.
Semula pihak keluarga menghendaki jenasah katekis yang tekun itu dimakamkan di makam keluarga di dusun Kajoran, namun atas prakarsa Pastur Prennthaler diputuskan untuk dimakamkan di kompleks Gua Maria Lourdes, Sendangsono. Bersama jenazah ikut disertakan pula medali illahi yang dianugerahkan Tahta Suci. Karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan atas medali itu (karena terbuat dari emas), selama empatpuluh hari empatpuluh malam, makam Barnabas Sarikromo dijaga oleh pemuda-pemuda desa setempat.
Namun ternyata kecemasan atas hal ini tidak pernah terjadi. Bintang jasa ‘Pro Ecclesia et Pontofice’ tetap ada dalam diri Sarikromo setiap nama sosok ini disebut. Kini katekis awam itu telah tiada, namun semangat kerasulannya senantiasa memberi inspirasi dalam upaya pewartaan kabar gembira demi datang dan terwujudnya kerajaan damai di dunia ini. Semuanya sesuai dengan makna anugerah Tahta Suci yang memang pantas disandang Barnabas Sarikromo : Pro Ecclesia etPontifice. (Disarikan oleh Mualim M Sukethi, dari buku “Bunga-Bunga Doa: 105 Tahun Paroki ST Ignatius Magelang”/bolinks@ 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar