Halaman

Februari 12, 2010

BALADA PEMBUAT BARONGSAI.


Oleh: Bagoes Prijana.

Borobudurlinks, 12 Februari 2010. Rambutnya sudah memutih, kulitnyapun sudah tak lagi kencang, sedangkan kalau berjalan pun sudah tak sekuat seperti waktu masih muda dulu. Tetapi Oom Andi (54), demikian sapaan lelaki ini, masih cekatan dalam merangkai barongsai. Ya, lelaki keturunan Tionghoa ini adalah pembuat barongsai, salah satu kesenian yang pernah dilarang keberadaannya selama orde baru. Dirumahnya di Jalan Daha 36 Tengkon Magelang, terpajang berbagai bentuk dan ukuran barongsai. Mulai yang terkecil, sedang, hingga yang besar.
Menurutnya, usaha pembuatan barongsai ini dimulai sejak tahun 1960-an. Dimana saat itu dia menjadi asisiten bagi kakeknya yang juga menjadi pembuat barongsai. Oom Andi, yang baru berusia 5-6 tahu, sering membantu kakeknya hingga dia terampil bisa membuat barongsai sendiri. Saat itu kakeknya mempunyai kelompok barongsai, sebagai upaya melestarikan kesenian leluhurnya. Kakeknya yang bernama Cou Thwan juga menjadi penabuh tambur pada wayang potehi di Semarang.
Barongsai atau samsi artinya singa. Dalam mitologi Cina hewan ini dipercaya sebagai penjaga rumah. Dalam gerakan tariannya, barongsay menggunakan pola dasar langkah kaki yakni melangkah 3 ganti mundur 4 langkah. Biasanya pemain ini dibawakan oleh 2 orang, seorang di depan sebagai pembawa kepala, dan seorang dibelakang sebagai pembawa badan bagian belakang/ekor. Dibutuhkan kerjasama yang baik dan kelincahan gerak kaki untuk membawakannya. Karena adakalanya barongsai beratraksi dengan meloncat diatas tiang balok setinggi 1-3 meter yang ditata sedemikian rupa.
Barongsai yang diproduksi oleh Oom Andi memakai bahan-bahan antara lain: bambu, karton, lem kuning, dempul mobil/kayu, cat dan lain-lain. Proses pembuatannya pun sangat sederhana. Biasanya untuk yang sudah ahli, bambu-bambu yang sudah disayat tipis dibentuk sesuai ukurannya sebagai kerangka utama. Setelah itu ditempeli dengan kertas karton dan didempul hingga rata. Terus di amplas dan diperhalus sesuai lekuk-lekuknya. Baru terakhir adalah mengecatnya dengan cat warna warni. Disamping itu juga ada yang memakai teknik cetakan, yaitu dengan membuat masternya dahulu baru setelah itu kertas karton ditempelkan. Setelah kering didempul dan diperhalus, akhirnya tinggal dicat.

Mengenai harga yang ditawarkannya cukup terjangkau. Yang memakai kerangka bambu dia memasang tarif Rp. 350. 000 – Rp. 2 juta,. Sedangkan yang model cetakan lebih murah lagi yaitu sebesar Rp. 25 ribu – Rp. 50 ribu. Hal ini terjadi karena untuk yang model cetakan hanya perlu waktu 2 minggu untuk menyelesaikannya, setelah itu cetakan bisa untuk membuat produksi selanjutnya. Beda dengan yang memakai kerangka bambu yang harus diselesaikannya sampai 3 minggu dan hanya bisa dibuat 1 barongsai saja.
Selain itu Oom Andi juga memproduksi kostum/pakaian barongsai. Mulai ukuran S,M dan L, serta dari bahan-bahan kain yang berkualitas, Pesanan mengalir tidak hanya dari dalam kota Magelang, tetapi juga dari luar kota seperti Temanggung, Yogya, Semarang dan lain-lain. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan etnis Tionghoa mengekspresikan kesenian dan kebudayaannya. Kebijakan Gus Dur itu semakin menambah kepercayaan Om Andi, bahwa usahanya tetap akan eksis dan diminati orang.
Menurutnya ada 1 hal yang unik mengenai barongsai atau liong samsi. Walaupun kesenian ini berasal dari Tionghoa, tetapi para pelakunya sebagian besar warga pribumi ”Sekitar 70% pribumi dan 30% Tionghoa”, demikian kata Om Andi. Kebanggaan akan hal ini terpancar dari wajahnya yang menyiratkan bahwa proses akulturasi budaya telah terjadi dengan baik. Berarti kesenian barongsai dan liong samsi akan tetap bertahan lama karena diterima oleh masyarakat dengan tangan terbuka.
Tetapi di sisi lain dia juga ada kekhawatiran akan menurunnya minat kaum muda Tionghoa menjadi pelaku kesenian ini. Salah satu penyebab menurutnya adalah adanya anggapan yang menyebutkan bahwa di kelenteng sama saja berteman dengan naga, sehingga dilarang oleh pihak gereja. Hal inilah yang menjadi pengganjal bagi berkembangnya kesenian tradisional Tionghoa dikalangan kaumnya sendiri.
Bahkan Oom Andi juga bercerita, dulu di kelenteng Liong Hok Bio Magelang di sekitar tahun 1970-199 0,sering dipentaskan wayang kulit. Uniknya pentas ini di laksanakan selama 7 hari 7 malam tak pernah berhenti. Demikian juga dengan wayang Potehi, wayang khas Tionghoa yang mirip dengan wayang golek ini juga sangat diminati masyarakat saat itu.
Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad in, Om Andi juga masih berkiprah membina kelompok barongsai dan liong samsi. Di kelompok ’Singa Mas’, Om Andi menjabat sebagai pelatih. Rasa tanggung jawabnya untuk tetap melanggengkan kesenian tradisional ini mengalahkan segalanya. Om Andi meyakini, kesenian liong samsi, barongsai, wayang potehi, ataupun kesenian tradisional Tionghoa lainnya pantas dilestarikan, karena merupakan warisan untuk anak cucunya di masa mendatang (bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar