Halaman
▼
Februari 11, 2010
KENANGAN KECIL BERSAMA GUS DUR (01).
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks/2010. Tahun 1983-85, Abdurahman Wahid alias Gus Dur (GD) terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Posisi memimpin lembaga kesenian ini bagi seorang kyai sekaligus Ketua PBNU (Pengurus Besar Nadhatul Ulama) tentu mengundang kontroversi tersendiri. Dari kalangan nadhiyin misalnya, Kyai Asaad dari Pasuruan berkomentar pedas, “Kyai kok mimpin ludruk (seni),” katanya. Sementara dari kalangan kesenian pun juga banyak komentar miring, yang mempertanyakan kadar kesenimanan GD.
Namun, seperti biasanya, GD cuek dengan segala komentar miring itu. Ia bekerja semestinya. Kemudian terbukti bahwa anggapan-anggapan miring itu ternyata keliru. GD adalah ulama yang memiliki wawasan luas tentang senibudaya. Ia memahami sastra setara dengan pemahamannya tentang Qur’an. Seleranya terhadap music sungguh beragam, dari dangdut pantura, gamelan, gambus, hingga Bethoven. Ia bisa dengan fasih bicara tentang Shakespeare, sefasih pemahamannya mengenai film-film Hollywood terkini.
Kiprah GD dalam memimpin lembaga kesenian (yang dulu) sangat bergengsi itu jelas memberi warna tersendiri. Banyak program senibudaya bernuansa Islami diadakan di lingkungan TIM itu. ‘Malam Solidaritas Palestina’ atau ’Malam Solidaritas Afganistan’, misalnya, menjadi acara penting yang diadakan secara regular.
Beberapa tokoh Islam ‘lahir’ dari acara-acara itu, antara lain Kyai Mustofa Bisri (Gus Mus), yang kemudian dikenal secara nasional setelah tampil dalam ‘malam Solidaritas Palestina’. Bahkan Achmad Sumargono, aktivis Islam garis keras yang terakhir sering berseberangan dengan GD, dulu juga sempat mengisi diskusi-diskusi yang diadakan DKJ semasa GD.
Dari acara 'malam Palestina'uga lahir puisi karya Danarto 'Puputan Palestina’. Seingat saya, itu adalah puisi terbaik hingga sekarang, tentang penderitaan dan kegigihan perjuangan rakyat Palestina. Jadi ketika ketika yang lain masih 'tertidur' tentang penderitaan rakyat Palestina, GD dengan caranya sendiri telah menorehkan simpatinya.
Mengenai hubungan Islam dan kesenian, saya tidak pernah lupa cerita GD ketika nyantri di Pesantren Tegalrejo, Magelang. Saat itu, tahun 50-an, dating serombongan warga desa menghadap Mbah Kyai Chudori, pemimpin pesantren. Mereka mohon pertimbangan untuk memilih membeli gamelan yang saat itu ditawarkan dengan harga murah, atau membangun mesjid, sementara dana kas desa terbatas.
Kita semua pasti menduga, Mbah Kyai akan memilih untuk membangun mesjid. Ternyata keliru. Ternyata Mbah Kyai menyarankan untuk membeli gamelan lebih dulu. Alasannya? Membangun mesjid bias kapan saja, selama umat Islam meyakini Allah, maka mesjid akan terbangun. Sementara gamelan berharga murah tidak setiap saat ada. Dan dengan gamelan itu, menurut Mbah Kyai, persatuan warga desa lebih terjaga.
Cerita ini kemudian seringkali diceritakan oleh GD, untuk menyadarkan masyarakat bahwa Islam senantiasa akomodatif dengan kearifan dan kebudayaan local. Maka tak heran kalau dari seorang GD lahir semangat ‘pribuminasi Islam’. Kini cerita itu juga sering dikutip oleh Gus Yusuf, cucu Mbah Kyai Chudori, yang kini mengasuh Pesantren Tegalrejo.
(Dulu, semasa Gus Dur memimpin DKJ, saya sering berbincang-bincang dengan beliau, dalam posisi saya sebagai aktivis mahasiswa IKJ. Dalam suatu kesempatan saya sempat mencicipi sisa kopi dari gelas Gus Dur, tentu tanpa sepengetuan beliau. Sesuai keyakinan Islam, saya percaya dengan cara itu akan beroleh berkah dari GD. Memang kemudian sejarah hidup saya tak sebesar GD. Tapi saya yakin berkah itu saya peroleh, yang terwujud pada keyakinan saya akan keberagaman (pluralism), baik dalam kehidupan beragama, mau pun kehidupan social politik lainnya). (@bolinks2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar