Halaman

November 24, 2009

WISATA KOTA PUSAKA MAGELANG.


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 24/11-09
. Magelang adalah kota lama yang sudah berusia lebih 1000 tahun, tentulah memiliki banyak peninggalan dari masa lalu. Di wilayah kabupaten Magelang, bangunan berbentuk candi dari abad 8 dan 9, berserak dari mulai Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Ngawen, Gunung Wukir, Canggal, Asu, Lumbung, Pendem, Selogriyo, hingga Umbul.
Sementara di dalam Kotamadya Magelang, bangunan dari masa kolonialisme Belanda jumlahnya terbilang banyak. Dari pendataan yang dilakukan kantor Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata Budaya (Disporabudpar), tercatat lebih 40 bangunan dan gedung yang tergolong sebagai pusaka (heritage) kota.
Jumlah itu terbatas hanya bangunan dan gedung yang dikategorikan sebagai ikon kota. Tidak termasuk gedung-gedung pribadi, rumah tinggal, toko/kantor, rumah ibadat, yang karena usia dan bentuk arsitekturnya yang khas dan unik, termasuk bangunan cagar budaya.
Banyaknya peninggalan lama itu menempatkan Magelang sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia. Dengan potensi yang dimilikinya itu, sesungguhnya Magelang bisa menjadikan dirinya sebagai tujuan wisata kota pusaka yang cukup penting di ndonesia.
Berbicara tentang pariwisata, tentu kita harus melihat bagaimana kondisi masing-masing obyek wisatanya (preservasi dan konservasi), infrastruktur penunjang, serta program dan promosi yang dilakukan.

Berfungsi.

Kondisi bangunan dan gedung lama yang termasuk ikon kota Magelang hingga kini relative terawat dengan baik. Hal ini dikarenakan bangunan dan gedung itu masih dimanfaatkan, baik sebagai kantor pemerintah, rumah ibadat, rumah tinggal, atau tempat usaha.
Di sekitar alun-alun misalnya, gedung-gedung lama di sekitarnya masih dimanfaatkan sesuai fungsinya. Water Torn (menara air) masih dimanfaatkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebagai penampung air yang kemudian didistribusikan ke rumah-rumah warga di seluruh kota Magelang. Setahu penulis, Water Torn ini merupakan satu-satunya menara air buatan Belanda yang masih eksis di Indonesia.
Masjid dan gereja juga masih berdiri dengan kokoh dan digunakan sebagai sarana ibadat masing-masing umatnya. Gedung MOSVIA (Sekolah Menengah Pamongpraja di jaman Belanda) masih utuh, kini digunakan sebagai kantor Mapolresta Magelang.
Kantor pos dan Kelenteng masih setia menghiasi sudut timur alun-alun. Warga Magelang masih memanfaatkan ke dua gedung itu sesuai kepentingan masing-masing. Hanya bekas gedung bioskop Kresna yang terlihat masih kokoh, tapi tak terawat dan mlangkrak karena tak berfungsi lagi.
Sesuai azas manfaat, yang bertanggungjawab untuk merawat dan melestarikan adalah pihak-pihak yang masih memanfaatkan gedung-gedung itu. Rupa-rupanya tanggungjawab itu dijalankan dengan cukup baik. Hal ini diakui oleh Catur Sawahyo, Sekretaris kantor Disporabudpar (Dinas Pemuda & Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata) Kota Magelang, yang mengatakan, “Masing-masing dinas memiliki dana yang cukup untuk merawat gedung yang menjadi tanggungjawabnya. Kami sendiri bertugas merawat gedung Museum Sudirman “.


Pernyataan senada juga disampaikan Pinandoyo Wikanti SH, Staf Bakorwil (Badan Koordinasi Wilayah) II, yang memanfaatkan dan bertanggungjawab terhadap keberadaan bangunan-bangunan di kompleks eks Karesidenan Kedu. “Dananya dari Pemerintah Provinsi tidak banyak, tapi cukup untuk merawat gedung-gedung ini,” kata ibu yang akrab dipanggil Pipin itu.
Kesadaran untuk mempertahankan dan merawat peninggalan sejarah itu juga dimiliki kalangan swasta. Hal ini tercermin dari ucapan Lily Swanto, pewaris Gedung Bundar yang terletak di Jl. Sriwijaya. ““Kami akan mempertahankannya sebagai heritage kota Magelang, “ kata Lily Swanto melalui telepon karena ia kini tinggal di Jakarta. Keluarga Lily Swanto menyadari kalau keberadaan gedung itu merupakan bagian dari jejak sejarah kota Magelang. Gedung itu hingga kini bentuknya masih asli, tak ada yang berubah. Kondisi fisik dan halamannya nampak indah dan terawat.
Oei Hong Djien, pengusaha tembakau yang kini terkenal sebagai kolektor senirupa terbesar di Indonesia, juga menyatakan komitmen yang sama. Ia dengan sadar berusaha mempertahankan keaslian rumah yang kini ditinggalinya. Rumah bergaya indies (Belanda-Jawa), yang berdiri di awal kemerdekaan, itu dibeli pada tahun 1975 dari keluarga Prof. Gandasubrata, mantan Dekan Fak.Kedokteran UI sekaligus ayah Rukmini Soedjatmoko.

Ia hanya merubah ceiling yang cukup tinggi, menyekatnya untuk ruang penyimpanan lukisan. Kamar yang berjumlah tujuh, dikurangi dua untuk ruang kerja dan memperluas ruang makan. Di halaman belakang, dokter pathologi lulusan Belanda, itu membangun dua bangunan yang kini jadi museum senirupa miliknya.
“Tulisan ‘Wisma Moerti’ itu juga masih saya pertahankan. Itu permintaan bu Rukmini, “ kata Hong Djien. Tahun depan Hong Djien akan membuka Museum Senirupa satu lagi, yang menempati bekas gudang tembakau di kawasan Tengkon. di tengah kota. Gudang tua yang cukup besar itu pastilah akan jadi ikon baru kota Magelang.
Kondisi yang menggembirakan juga nampak pada beberapa sarana militer yang bertebaran di kota kecil ini, yang meneguhkan Magelang sebagai kota militer. Bangunan dan gedung-gedung itu hingga kini masih berfungsi sebagaimana semula. Yang berubah mungkin hanya penghuninya. Kalau dulu berisi serdadu bule, kini berganti menjadi serdadu Melayu yang berkulit sawo matang.
Karena berada di dalam kota, infrastruktur sekitar bangunan juga dalam kondisi baik. Semua jalanan di kota itu relative mulus. Sarana transportasi juga tersedia secara merata sehingga memudahkan bagi warga atau wisatawan untuk mencapai obyek-obyek wisata itu.
Yang sudah tak terlihat bekasnya karena berubah fungsi adalah Gedung Kadipaten di utara alun-alun. Gedung yang pernah digunakan sebagai kantor Kabupaten Magelang itu kini telah berubah total menjadi Gedung Pendidikan Dan Latihan (Diklat) Departemen Keuangan RI. Padahal di pendopo gedung itu dulu, tahun 1948, pernah berlangsung Kongres Kebudayaan Indonesia yang ke I.
Sementara di sisi timur alun-alun, Rumah Biliar, Gedung Bioskop Abadi, Hotel………., Eks Kantor PLN, sudah berubah bentuk dan tinggal kenangan. Di lokasi itu kini berdiri pusat belanja Gardena dan Matahari, Bioskop Magelang dan Tidar Theatre, sarana bermain anak-anak, dll.
Deretan rumah tinggal yang dulu dihuni pejabat colonial Belanda, yang terletak di barat alun-alun (depan Kupat Tahu Pojok), kini sudah hilang jejaknya, berubah jadi deretan ruko. Beberapa rumah bearsitektur Belanda-Cina, sudah berubah bentuknya. Beberapa perubahan yang terjadi karena pembagian di antara pewarisnya. Dengan gampangan rumah itu dibagi dua atau lebih dengan membuat tembok pemisah, sehingga menganggu bentuk dan keindahan arsitekturnya.

Program dan Promosi.


Agar menarik wisatawan, tentu dibutuhkan program dan promosi yang terencana dan tepat sasaran. Hingga kini belum banyak yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan pariwisata di Magelang untuk ‘menjual’ potensi pusaka kota sebagai ikon wisata.
“Kami baru melakukan pendataan dan menerbitkan brosur, “ kata Catur Suwahyo, Sekretaris Disporabudpar. Selain itu, kata Catur, Disporabudpar juga mengadakan program ‘One Day Tours’. Program ini ditawarkan kepada beberapa biro wisata di Jogya dan Semarang, kota terdekat yang jaringan wisatanya sudah lebih mapan.
Program yang sama juga ditawarkan kepada Kadinas Pariwisata, Rektor, dan Kepala Sekolah se eks Karesidenan Kedu. “Kami undang mereka dan kami fasilitasi dengan bus keliling mengunjungi gedung-gedung yang tergolong ikon pusaka kota. Kami berharap mereka akan mempromosikan program ini kepada masyarakat dan lingkungan sekitar mereka, “ papar Catur tentang program kantornya.
Hasilnya ? “Waktu ada rombongan wisatawan local yang mengunjungi Akademi Militer (Akmil) dan Museum Sudirman. Mereka senang sekali mendapat penjelasan tentang sejarah militer, “ tambah catur.
Khusus untuk Museum Sudirman, selama ini banyak taruna Akmil dan keluarganya yang mengunjungi gedung tempat meninggalnya Panglima TNI yang pertama itu.
Padahal tidak banyak yang bisa dilihat di gedung itu, selain ranjang tempat Sudirman dirawat, dan seperangkat meja kursi. Ditambah perpustakaan dengan koleksi yang seadanya. Untuk menambah dan melengkapi koleksinya, pihak Disporabudpar sendiri sudah berusaha mendapatkan memorabilia Sudirman, melalui surat kepada keluarganya. Tapi hingga kini belum dapat jawaban.
Dari pelaku wisata lain, baru Hotel Puri Asri yang berpartisipasi. Mereka menjalin kerjasama dengan Garuda Airlines dan biro wisata lain. Dari kerjasama itu datang 7 turis dari Cina. Tidak lama kemudian menyusul 40 orang dari negeri yang sama. Mereka adalah jenis wisatawan minat khusus, yang tertarik pada kota pusaka.
Pihak lain yang cukup aktif adalah Hotel Amanjiwo di Borobudur. Mereka juga membawa tamu-tamunya mengunjungi beberapa gedung bersejarah di kota Magelang. Turis dari Amanjiwo ini jumlahnya tidak banyak, tapi tergolong turis istimewa. Mereka adalah turis kayaraya, bahkan seringkali selebritas dunia ada di antara tamu-tamu hotel eksklusif itu.
“Bulan November ini ada serombongan turis dari Amanjiwo yang akan mengadakan jamuan makan malam di pendopo Museum Diponegoro, “ kata Pipin dari kantor Bakorwil II yang membawahi Museum Diponegoro. Turis dari Amanjiwo memang sering membuat acara jamuan makan ditempat-tempat yang eksotis di sekitar Magelang.
Pipin juga menceritakan adanya beberapa pihak yang tertarik menggunakan venue sekitar Museum Diponegoro untuk berbagai pertemuan. Beberapa kali ada yang mengadakan pesta perkawinan, bahkan beberapa tahun lalu Oei Hong Djien merayakan ulang tahunnya di pendopo museum yang indah itu.
Masalahnya, apakah cukup dengan program yang bersifat pasif semacam itu? Apalagi kalau bermaksud menarik minat wisatawan secara luas. Tentu tidak cukup. Mengingat yang dimaksud pusaka kota juga termasuk kebudayaannya, tentu dibutuhkan program-program terpadu yang juga menampilkan berbagai atraksi budaya yang hidup di sekitar situs-situs itu.
“Kami pernah mengadakan grebeg ‘Gunungan Gethuk’. Ke depan akan kami adakan lagi secara regular. Mungkin dengan tambahan atraksi lainnya, seperti mengadakan ritual khusus di Gunung Tidar, “ kata Catur. Sekretaris Disporabudpar itu juga mengangankan, suatu ketika ada semacam festival kuliner yang akan melengkapi acara budaya tahunan itu.
Sementara Hong Djien, yang tahun depan akan membuka Museum Senirupa Indonesia (konon terbesar di dunia), mengingatkan tentang pentingnya program-program yang saling berkait dan terpadu, khususnya dengan agenda kegiatan senibudaya yang diadakan museumnya dan galeri-galeri senirupa yang sudah ada di Magelang (baca ‘Magelang, Pusat Senirupa Indonesia’ di edisi sebelumnya).
“Jadi nanti tamu-tamu museum dan galeri senirupa bias sekalian menikmati wisata sejarah kota Magelang. Sebaliknya, yang tadinya tertarik pada wisata sejarah bisa menambah wawasan seninya dengan mengunjungi galeri dan museum senirupa, “ papar kolektor seni terpenting di Indonesia itu.
Mengingat potensi yang dimiliki Magelang sebagai kota pusaka sangat signifikan, dibutuhkan peran serta segala pihak untuk mengembangkannya menjadi tujuan wisata penting di Indonesia. Pada akhirnya, kalau target ini berhasil tentulah yang akan menikmati masyarakat Magelang juga. Kesejahteraan masyarakat pasti akan meningkat seiring gebyar pariwisata yang akan terjadi.
Ayo, pengusaha hotel, travel biro, pengusaha café, pemilik galeri, pengusaha kerajinan dan cinderamata termasuk oleh-oleh yang menjamur di Magelang, ramaikan kotamu dengan ide-ide dan dinamika pariwisata. Berlombalah meraih devisa. Kuras dompet turis-turis itu. AYO !! (bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar