Halaman

November 21, 2009

SEJARAH & POLA PERKEMBANGAN KOTA MAGELANG.

Alun-alun tempo doeloe.
Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 21/11-09.
Sebagai sebuah kawasan pemukiman, Magelang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindhu (Mataram Kuno). Dalam Prasasti Mantyasih (907 M), disebutkan bahwa Magelang awalnya adalah desa perdikan “Mantyasih”, yang berarti beriman dalam cinta kasih. Di tempat, yang kini disebut Meteseh, itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan.
Setelah melalui masa jaya sekitar dua abad, wilayah Mantyasih menghilang akibat letusan gunung berapi, berbarengan juga dengan hilangnya wilayah Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Nama Kedu baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru, yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (kerajaan). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang bahan pangan bagi kerajaan itu.
Magelang pada waktu itu merupakan daerah perkebunan raja, atau kebon dalem, milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada berupa kawasan dengan nama yang khas, berkaitan dengan buah dan sayuran hasil kebun. Kawasan itu terletak sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman).
Dari beberapa data di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “kerajaan” pada awalnya adalah daerah Mantyasih, yang kemudian berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan yang saat itu disebut Kebondalem.
Setelah ‘Perjanjian Gianti’ (1755), di mana Kerajaan Mataram dibagi dua, Surakarta dan Yogyakarta, wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta dikalahkan Inggris, wilayah Kedu diserahkan kepada penjajah dari Eropa itu.


Lambang kota yang 'Eropa banget'.

Pada tahun 1810, Inggris memerintahkan Danoekromo, Bupati Magelang ke I, untuk membangun pusat pemerintahan yang terdiri alun-alun, kantor kadipaten, dan masjid. Pola awal pembangunan kota yang digunakan Inggris saat itu adalah pola tradisional (kerajaan), dengan kantor kadipaten sebagai replica istana raja.
Setelah Belanda datang dan menguasai Magelang pada tahun 1813, Magelang bertumbuh-kembang dengan dipengaruhi pola tradisional dan colonial, atau lebih dikenal dengan pola Indies. Tahun 1818, Magelang ditetapkan sebagai ibukota karesidenan Kedu, dan berkembang sebagai kota militer sejak 1828.
Ada beberapa alasan pemerintah colonial Belanda menjadikan Magelang sebagai ibukota karesidenan Kedu dan kota basis militer. Alamnya yang indah nyaman sebagai tempat pemukiman. Sedangkan tanahnya yang subur menjadikan wilayah itu sebagai pemasok bahan-bahan makanan bagi kota-kota di sekitarnya.
Posisi Magelang dapat memantau wilayah sekitar, terutama tiga kota penting yaitu Yogyakarta, Solo dan Semarang. Alasan lainnya karena posisi wilayah gerilya para pejuang pribumi saat itu yang lebih banyak menggunakan pegunungan dan perbukitan. Saat itu, pemerintah kolonial merasa kesulitan untuk mengawasi gerilya pribumi, karena itu diperlukan penguasaan wilayah yang dapat memantaunya yang salah satunya adalah Magelang.
Sebagai ibukota, pola kota Magelang berbeda dengan ibukota kabupaten dan karesidenan lain di Jawa. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan antara penguasa lokal (berhubungan dengan kerajaan) dan colonial, dengan letak kadipaten di sebelah selatan berhadapan dengan kantor karesidenan atau asisten residen di sebelah utara, dan alun-alun ditengah-tengahnya.
Namun Magelang justru tidak menonjolkan keseimbangan tersebut karena pertimbangan fungsi dan alam yang ada. Perletakannya yang tidak menggunakan sumbu utara-selatan. Kadipaten sebagai replika istana raja berada di sebelah utara alun-alun, sementara karesidenan berada di sebelah barat alun-alun. Tidak persis di sebelah barat alun-alun, bahkan sekitar 500 meter dari alun-alun.
Sementara di selatan alun-alun digunakan sebagai sekolah menengah pamongpraja yang dikenal sebagai MOSVIA. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi jika dikomparasikan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa.

Penyeimbangan kekuasaan kolonial terlihat beberapa elemen kolonial yang lebih dominan, terutama di pusat kota dengan adanya gereja, MOSVIA, Kamar Bola, Gudang Candu, Gudang Garam, penjara, kantor pos, dan Water Torn (menara air), yang merupakan fasilitas pendukung masyarakat kolonial saat itu. Selain itu juga adanya perumahan bagi pejabat penting kolonial yang berada di sekitar alun-alun sebagai
pusat kota.
Selanjutnya, perkembangan kota Magelang bergerak kea rah utara dan selatan, seiring bentukan fisik wilayah yang dibatasi dua sungai besar, sungai Elo di sisi timur dan sungai Progo di sisi barat. Kontur tanah yang naik turun juga mempengaruhi penampatan dan pembangunan suatu bangunan sesuai fungsinya.
Perkembangan ini juga dipacu oleh pembangunan dua stasiun kereta api, Stasiun Kota (Kebonpolo) di utara, dan Stasiun Pasar (Rejowinangun) di selatan. Seiring dengan itu, berdiri pula pasar Kebon[polo dan pasar Rejowinangun yang kemudian berfungsi sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat.
Sedangkan warga China, yang jeli melihat peluang ekonomi, lalu memanfaatkan celah antara kedua pasar dan pusat kota dengan mendirikan pusat perniagaan dan perkantoran, yang dikenal sebagai menjadi pecinan.
Kecenderungan lain adalah pembagian wilayah barat dan timur kota. Wilayah barat lebih banyak digunakan untuk lokasi perkantoran dan pemukinan pejabat colonial. Hal ini terlihat pada lokasi kantor karesidenan dan pemukinan di wilayah Cacaban, Bayeman, Boton, dll.
Sementara di wilayah timur didominasi bangunan dan prasarana militer yang terpusat di daerah Wates atau kompleks Rindam sekarang. Baru kemudian, setelah kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia membangun kompleks Akademi Militer di selatan, di sekeliling Gunung Tidar.
Yang menarik, sejak dulu pemerintah colonial Belanda juga membangun infrastruktur lingkungan berupa irigasi atau selokan yang membelah kota. Untuk keperluan irigasi itu juga dibangun beberapa penyangga, sekarang disebut plengkung, karena selokan itu terletak di atas kota. Mungkin selokan di atas kota ini satu-satunya yang ada di Indonesia. Plengkung sendiri kemudian menjadi salah satu ikon bangunan lama yang unik dan khas di Magelang.
Infrastruktur lingkungan lainnya yang dibangun pemerintah colonial adalah ruang terbuka hijau (RTH). Selain alun-alun, juga dibangun Taman Badaan, Taman Gladiol, Stadion (Abu Bakrin), dan lapangan Rindam. Sayang… Taman Gladiol sudah tergusur untuk kepentingan perumahan.
Pemerintah RI, dalam hal ini pemerintah Kota Magelang, sepanjang sejarah kemerdekaan hingga kini bahkan belum pernah membangun sarana public semacam itu. Kalau sekarang dibangun Gedung Olah Raga (GOR) Sanden, hal itu dikarenakan stadion yang ada selama ini adalah milik Akmil. Dan isunya stadion itu dalam waktu dekat akan berubah menjadi pusat perdagangan.
Apakah itu berarti pemerintah colonial Belanda lebih peduli terhadap pembangunan kota yang sehat, dibandingkan pemerintah RI ? Sejarah yang akan menjawabnya. (Diolah berdasarkan hasil riset WAHYU UTAMI, ST, MT./bolinks @2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar