Halaman

November 24, 2009

MAGELANG DAN SEJARAH KONGRES KEBUDAYAAN.


Catatan: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 22/11-09.
Dalam sejarah dinamika kebudayaan Indonesia, Magelang pernah menorehkan peran yang cukup penting. Kongres Kebudayaan Indonesia yang pertama setelah era kemerdekaan diadakan di lembah Tidar ini.
Perhelatan kebudayaan yang merupakan inisiatif Pusat Kebudayaan Kedu, serta didukung oleh Lembaga Kebudayaan Indonesia, dan Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, itu dihadiri oleh banyak tokoh nasional yang bisa dianggap sebagai para pendiri bangsa. Acara yang diadakan di pendopo Kabupaten Magelang itu dibuka pada tanggal 20 Agustus 1948, oleh Ir. Soekarno, Presiden RI ke 1.
Acara yang bertema “Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat”, dengan tujuan mencari kesepakatan dalam menentukan konsep, kebijakan, dan strategi memajukan kebudayaan bangsa sebagaimana diamanatkan Pasal 32 UUD 1945. Tokoh-tokoh yang menjadi pembicara antara lain Moch.Hatta, Jenderal Soedirman, Ali Sastroamidjojo, Soesanto Tirtoprodjo, Moh.Natsir, M.Iksan, Wongsonegoro, Moh.Junus (Konsul India), dll.
Peristiwa budaya berskala akbar pada jaman itu, setidaknya, menyiratkan dua hal. Pertama, Magelang saat itu sudah memiliki infrastruktur yang mapan sebagai kota konvensi. Kedua, saat itu kebudayaan bisa jadi dianggap factor penting dalam menentukan arah dan masa depan bangsa. Sehingga para tokoh nasional itu menyempatkan diri hadir dan bertemu di kota kecil itu.
Kesadaran tentang pentingnya kebudayaan memang mewarnai sejarah bangsa ini, terutama sebelum dan sesudah kemerdekaan. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya Kongres Kebudayaan secara rutin di era tersebut, serta tumbuh suburnya pemikiran kebudayaan yang, diakui atau tidak, ikut menentukan arah perjalanan bangsa dan Negara ini. Berikut ini saya sajikan kembali catatan sejarah perjalanan kongres kebudayaan di Indonesia.
Untuk mematangkan bangkitnya rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan masyarakat bumiputera menuju bangsa Indonesia, kaum terpelajar tidak hanya menyelenggarakan Kongres Pemuda, Kongres Perempuan, Kongres Bahasa, Kongres Sarikat Islam, tapi juga Kongres Kebudayaan (KK). Dimotori oleh Perkumpulan Boedi Oetomo (BO), mereka bersepakat untuk menyelenggarakan KK ke 1 pada tahun 1918.
Berawal dari tawaran pemerintah Batavia kepada BO cabang Surakarta, agar menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa. Menanggapi tawaran nitu, Pangeran Prangwadono (Mangkunegoro VII) menolak, dan memilih mengadakan Kongres Kebudayaan Jawa. Pemerintah Belanda menyerah oleh penolakan itu, dan membiarkan kaum terpelajar bumiputera menentukan pilihannya sendiri.

Pada tanggal 5 Juli 1918, di bangsal Keraton Surakarta, dibuka KK ke 1 dengan nama “Kongres Guna Membahas Pengembangan Kebudayaan Jawa” (Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling). Topik yang dibahas antara lain mengenai usaha pendidikan, masalah kebudayaan, kesenian barat-timur, ilmu pengetahuan, industry kerajinan, dan bagaimana menjadi bangsa yang maju. Kongres itu juga memiliki tujuan politis, yaitu memantapkan cita-cita menjadi bangsa baru yang bermartabat, memiliki jatidiri yang bertumpu pada sejarah sendiri, serta warisan budayanya sendiri.
Kendati masih ‘jawasentris’, KK ke 1 patut dicatat sebagai awal perjalanan sejarah KK di Indonesia. Peristiwa itu menjadi motor penggerak diselenggarakannya kongres berikutnya. Setelah KK tahun 1918, kemudian diikuti KK 1919 di Surakarta, KK 1921 di Bandung, KK 1924 di Yogyakarta, KK 1926 di Surabaya, dan 1937 di Bali. Sejak KK 1919, materi kongres diperluas termasuk kebudayaan Sunda, Madura, dan Bali. Yang menarik, di dalam perdebatan muncul wacana tentang konsep, kebijakan dan strategi kebudayaan bangsa atau kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan.
Sesudah kemerdekaan, forum kongres yang dinilai sebagai tempat bertemu dan bersama-sama membahas permasalahan kebudayaan terus dilanjutkan. Sebagai bangsa baru, para pendiri bangsa, budayawan, seniman, cendekiawan, dan pemangku adat menyadari pentingnya diselenggarakannya kongres kebudayaan.
Sesudah Kongres Kebudayaan Indonesia ke 1 di Magelang tahun 1948, kongres berikutnya diadakan di Bandung (1951), Surakarta (1954), Bali (1957), Bandung (1960). Kongres-kongres itu diadakan oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), yang sebelumnya bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia yang dibentuk berdasarkan rekomendasi KKI 1948.
Sejak 1960 BMKN tidak mampu lagi mengadakan kongres. Peran BMKN memudar karena peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Mungkin persoalannya bukan semata surutnya peran BMKN. Rezim penguasa militeristik, yang berkuasa lebih 30 tahun, memang kurang memberikan ruang bagi gerak kebudayaan sebagai acuan pengembangan bangsa dan pembangunan nasional.
Setelah vakum 30 tahun, KKI baru diadakan lagi pada tahun 1991, di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Selanjutnya disusul KKI di Bukittinggi tahun 2003, dan terakhir di Bogor tahun 2008. Kendati mulai rutin diadakan lagi, tapi pemerintah sendiri masih terasa kurang menganggap penting kongres kebudayaan sekarang ini. Hal ini terlihat dari sedikitnya pejabat pemerintah yang hadir, apalagi mengemukakan pemikirannya. Demikian pula agenda dan rekomendasi yang dihasilkan forum ini, kurang jelas apakah sudah diapresiasi dan diimplementasikan.
Kembali ke Magelang, sejak kiprahnya dalam KKI ke 1 itu, relative tidak banyak kegiatan kebudayaan berlangsung alias adem ayem. Baru kemudian, sejak tahun 1990-an, geliat kebudayaan mulai mewarnai kembali wilayah yang memiliki Candi Borobudur sebagai ikon kebudayaan dunia itu. Sutanto Mendut, seorang komponis sekaligus aktivis kebudayaan, mampu memberdayakan petani melalui revitalisasi kesenian rakyat. Saat ini, kehidupan kesenian rakyat di wilayah bergunung-gunung itu dianggap paling dinamis, dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Kemudian, satu decade terakhir ini, Magelang menunjukkan posisinya sebagai ‘kiblat’ senirupa Indonesia. Dari kota ini, dimulai oleh Oei Hong Djien, lahir puluhan kolektor senirupa dan art-dealers yang kiprahnya sangat menentukan perkembangan senirupa Indonesia (bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar