Halaman
▼
Oktober 25, 2009
OHD.
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 25/10-09. OHD, tiga huruf yang membius, menerobos belenggu formalitas, menyebabkan peta senirupa Indonesia gegap gempita. Dalam perkembangan senirupa kontemporer Indonesia, satu dasawarsa terakhir ini, rasanya tidak ada sosok lain yang mampu menandingi pesona OHD. Ya, OHD adalah akronim dari Oey Hong Djien, seorang dokter, pedagang tembakau, sekaligus kolektor senirupa terbesar dan terpenting di Indonesia saat ini. Siapa yang bisa membantahnya ?
Di rumahnya, yang terletak di jalan Diponegoro Magelang, jawa Tengah, tersimpan 2000 lebih karya senirupa koleksinya. Karya-karya itu selian tersimpan di tempat khusus, juga dipajang di dua museum yang berdiri di belakang rumahnya itu, yaitu Museum Seni Modern dan Museum Seni Kontemporer. Museum modern memajang sekitar 100 lukisan dan 20 patung. Hampir semua karya seni rupa modern Indonesia terwakili, mulai dari karya Affandi, S Soedjojono, Srihadi Soedarsono, Hendra Gunawan, Lee Man Fong, Widayat, Achmad Sadali, Popo Iskandar, AD Pirous, sampai Nyoman Gunarsa.
Sedangkan dalam museum kontemporer, tersimpan 100-an karya baru dari banyak seniman muda. Di situ ada karya Kelompok Jendela, Entang Wiharso, Nasirun, Eddie Hara, Heri Dono, Agus Suwage, Ugo Untoro, Nyoman Masriadi, dan Deddy Paw. Dia juga mengoleksi sejumlah patung dan keramik, seperti karya Dolorosa Sinaga, Nyoman Nuarta, Dadang Christanto, dan Titarubi. Dengan jumlah sebesar itu, bisa jadi museum itu adalah museum senirupa Indonesia yang terbesar di dunia.
“Di Indonesia, museum saya yang paling banyak menyimpan koleksi. Kalau sudah terbesar di Indonesia tentu menjadi terbesar di dunia, karena di luar Indonesia belum ada museum yang khusus mengkoleksi karya senirupa Indonesia, “ papar OHD tanpa bermaksud membanggakan diri.
Ia menjadi patron bagi kolektor lainnya. “Ya, OHD adalah patron kami, “ kata Ridwan Mulyosudarmo, pemilik Syang Art Space, galeri yang terletak di jalan Tentara Pelajar, Magelang. Pernyataan Ridwan itu bisa jadi mewakili puluhan kolektor lain, baik yang tinggal di Magelang mau pun kota-kota lain di Indonesia.
Beberapa museum dan galeri terkemuka, seperti Singapore Art Museum, Museum Widayat dan Galeri Langgeng di Magelang, menempatkannya sebagai kurator atau honorary adviser. Bahkan balai lelang semacam Christie’s atau Sotheby’s, yang membuka cabang di Singapura, juga sering memanfaatkan jasanya, baik untuk keperluan pembelian lukisan mau pun untuk pelelangannya.
Jasa Tembakau.
OHD lahir di Magelang, 5 April 1939, dari keluarga pedagang besar tembakau. Di kota sejuk itu, dulu, mereka mendiami sebuah rumah di jalan Tidar, di bagian selatan kota. Selain besar dan mewah, rumah itu juga dihiasi banyak lukisan dan hiasan dinding lainnya. “Sejak kecil saya tinggal di rumah yang ada lukisan, “ kata OHD mengenang masa-masa kecilnya. “Jadi kalau melihat rumah nggak ada lukisan tertempel di dindingnya, rasanya kosong gitu. Lukisan sudah jadi bagian hidup saya, “ imbuhnya.
OHD muda mulai membeli lukisan sejak awal tahun 60-an. Saat itu ia masih kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Ia sempat mengambil spesialisasi di bidang Pathological Anatomy di Universitas Katholik Nijmegen, Belanda (1966-1968). “Tapi lukisan yang mahal baru saya beli tahun 82. Lukisan Affandy, seharga 1,5 juta rupiah, “ pengakuan OHD jujur. Satu demi satu lukisan itu dikoleksinya. Hingga rumahnya bisa dikatakan penuh oleh lukisan.
Ia sempat mengabdikan keahliannya sebagai dokter sukarelawan, antara tahun 1964-1991, di Magelang dan Temanggung. Namun hobinya membeli lukisan bukan didapat dari penghasilannya sebagai dokter yang relative kecil. OHD mampu memuaskan kecintaannya pada karya seni justru dari profesinya sebagai pedagang tembakau.
“Saya membeli semua ini dari hasil mbako, “ kata OHD ketika ditanya darimana ia mampu membeli karya seni yang harganya mahal itu. Dulu harga tembakau sangat tinggi. Sebagai perbandingan, satu keranjang tembakau yang isinya 30-40 kilogram bisa untuk beli mobil baru. “Jadi setiap kali habis musim panen, saya bisa membeli ratusan lukisan, “ imbuh lelaki yang merupakan generasi keempat sebagai pedagang tembakau di keluarganya.
OHD mengakui, bahwa ia merasa ketagihan dengan seni rupa seperti halnya ketagihan dengan narkotika. Semakin ia mendalami, semakin ia mencintai. “Tidak mungkin bagi saya hidup tanpa senirupa, ” tegas lelaki yang tak pernah merokok, kendati ia adalah salah satu pemasok tembakau terbesar untuk sebuah industri rokok terkenal di Indonesia.
OHD berburu lukisan tidak sebatas di pameran lukisan. Ia juga menyambangi langsung seorang pelukis agar mendapatkan lukisan berkualitas. Ia rela berjam-jam menunggui maestro lukis Indonesia, Affandi, yang sedang melukis seraya mengamati goresan tangan Affandi. Ia belajar dari Affandi tentang bagaimana cara memahami dan menghargai sebuah lukisan, antara lain untuk memperhatikan lukisan dengan mata dan hatinya, tidak sekedar memakai otak.
Ia juga dikenal berteman dekat dengan pelukis kondang Widayat. Bahkan, Widayat kerap memintanya memberi komentar terhadap lukisan yang sedang dibuatnya. Sebagai imbalannya Widayat menghadiahinya beberapa lukisan. Dari pelukis yang tinggal di Mungkid, Kabupaten Magelang, ini OHD mendapat istilah greng, atau nyetrum, ketika melihat atau menilai sebuah lukisan yang baik.
Kedekatannya dengan sejumlah pelukis ternama membuat ketajaman dan keterampilannya menelisik lukisan kian terasah. Inilah cikal-bakal keahliannya sebagai seorang kurator atau penilai lukisan. “Kini berubah. Seniman muda lebih mementingkan konsep atau cerita di belakang lukisan. Tapi kalau tak bisa menyentuh emosi atau hati, untuk apa ? ” kata OHD, yang kemudian seringkali ia menyarankan untuk membuat novel atau opini pada sang pelukis ketika menjumpai lukisan semacam itu.
Sebaliknya, OHD akan mengejar kemana pun adanya suatu lukisan yang ia senangi. Ia pernah berburu lukisan karya Affandi, Sudjojono dan Widayat hingga Rio de Janeiro, Brasil. Ceritanya, ada mantan Duta Besar Brasil yang saat bertugas di Indonesia gemar mengoleksi lukisan seniman Indonesia. Sayang, koleksi yang berada di Rio de Janeiro itu tak terawat dan malah akan dilelang. Jadilah OHD terbang ke ibu kota negeri samba dan memborong 20 lukisan mantan dubes itu.
Deddy PAW, perupa Magelang, yang tinggal tak jauh dari rumah OHD, punya cerita tersendiri tentang ‘perjuangan’ OHD untuk mendapatkan lukisan. “Ia naksir satu lukisan saya, tapi ketika tahu lukisan itu sudah dikoleksi sebuah galeri di Surabaya, ia tak segan-segan membelinya di galeri itu. Tentu dengan harga galeri “.
Hal yang sama juga terjadi, ketika OHD membeli karya Deddy yang sedang dipamerkan di Art-Seasons Singapura. ”Jadi tak benar kalau OHD hanya mau membeli karya pelukis muda, dengan harapan dapat harga murah, “ tambah perupa lulusan Institut Kesenian Jakarta itu.
OHD juga dianggap berjasa menularkan hobi dan ilmunya kepada para pedagang tembakau di Magelang. “Tadinya teman-teman itu menganggap aneh hobi saya mengkoleksi lukisan. Dianggap menghambur-hamburkan duit, “ cerita OHD tentang asal mula tumbuhnya komunitas kolektor di Magelang. “Tapi setelah memahami bahwa lukisan adalah investasi yang menguntungkan, akhirnya mereka juga tak segan-segan membelanjakan keuntungan tembakau untuk membeli lukisan”.
Tak heran dalam waktu relative singkat, sekitar satu dasawarsa terakhir, jumlah kolektor karyaseni di Magelang membengkak, dari belasan menjadi 60 orang lebih. Tak semuanya semuanya jadi kolektor murni seperti OHD. Sebagian besar pengikutnya itu berkembang menjadi art-dealers (pedagang karyaseni) yang cukup berpengaruh dalam peta bisnis senirupa di Indonesia.
Dansa.
Kendati sebelumnya sudah dianggap piawai sebagai kolektor, namun nama OHD mencuat secara nasional terutama sejak krisis moneter (krismon) tahun 1998. Didorong keprihatinannya melihat rekan-rekannya sesama pengusaha terpuruk akibat krisis yang melanda dunia itu, OHD kemudian memfasilitasi rekan-rekannya itu untuk mengikuti lelang lukisan yang diadakan beberapa balai lelang di Jakarta. Saat itu, lelang lukisan merupakan salah satu bagian dari penjualan aset-aset milik pengusaha yang kolaps karena krismon.
Ternyata lelang lukisan itu laku keras, dengan harga yang lumayan menguntungkan. Berbeda dengan asset dalam bentuk lainnya, property misalnya, yang harganya jatuh jauh lebih murah dari harga sesungguhnya. “Terbukti lukisan mampu membantu kami bangkit dari keterpurukan, “ ungkap Ridwan Mulyosudarmo, yang sebelum mendirikan galeri adalah seorang kontraktor bangunan berpartner dengan Kris Dharmawan.
Sejak itu pengaruh OHD menyebar ke segala arah. Tak hanya didamba para perupa muda untuk mengangkat harkat lukisan mereka, tapi berbagai galeri dan pameran senirupa terkatrol gengsinya karena jasa dan pengaruh OHD. Termasuk museum, galeri, dan balai lelang di manca negara.
Namanya menjadi jaminan galeri, tulisannya tersebar di berbagai catalog pameran, ia juga melanglang Negara untuk menjadi pembicara di forum-forum seni dan budaya. Kini, OHD tampil bak selebritas, yang selalu menyedot perhatian, khususnya dalam berbagai pertemuan pecinta senirupa yang kini menjadi gaya hidup kaum sosialita.
Untuk menghormati OHD, dalam ulang tahunnya yang ke 69, 5 April 2008, sejumlah seniman memperingatinya dengan cara yang unik. Mereka menggelar pameran bertajuk ’69 Seksi Nian’, bertempat di Jogya Gallery. Lebih dari 70 karya lukis dan instalasi ertema ‘69’ dibuat khusus oleh para perupa, antara lain Nasirun, Hadi Soesanto, Lashita Situmorang, I Wayan Upadana, Eddie Hara, dan I Made Arya Palguna.
Setelah mencapai semua itu, apalagi yang diinginkan OHD ? “Saya sedang merenovasi bekas gudang tembakau yang sudah tak saya pakai lagi menjadi museum senirupa yang lebih representative, “ kata OHD memaparkan rencananya ke depan. Di bekas gudang yang terletak di kawasan tengah kota Magelang itu, nantinya, selain museum akan dilengkapi berbagai sarana seperti panggung pertunjukkan, tempat pertemuan, cafĂ©, perpustakaan, dll.
“Berbeda dengan museum sekarang yang tertutup, museum di bekas gudang itu nantinya bersifat terbuka. Masyarakat umum bisa menyaksikan karya-karya yang dipajang, serta memanfaatkan sarana yang ada ,” lanjut OHD. Lelaki yang masih nampak segar di usianya yang ke 70, ini juga berharap nantinya museum itu bisa membiayai sendiri. Seperti museum di luar negeri. Konsekuensinya pengunjung harus membayar untuk menikmati segala fasilitas museum. “Tentu tidak semahal di luar negeri. Di mana pengunjung harus membayar paling murah US$10, itu pun harus antre 3-6 bulan, “ kata OHD yang telah mengunjungi museum senirupa di berbagai dunia.
Sebelum semua itu terlaksana, OHD juga telah membukukan koleksi-koleksinya yang dianggap penting. Buku setebal 312 halaman ini diantaranya berisi ilustrasi kira-kira 150 gambar berwarna, dan jika ditimbang beratnya tak kurang dari 3 kilogram. “Buku Exploring Modern Indonesian Art: The Collection of Dr. Oei Hong Djien memberikan sebuah ikhtisar yang menakjubkan terhadap seni rupa Indonesia di abad 20 sampai abad 21, “ kata Michelle Chin, seorang kritikus senirupa kenamaan.
Oh ya, di usianya yang cukup lanjut saat ini, kiranya OHD punya hobi baru yang cukup menguras tenaga, apa itu ? Berdansa. Wouw…!
“Sebetulnya bukan hobi baru. Saya menekuni dansa sejak 1997, “ Cerita OHD tentang hobinya selain lukisan ini. Kegiatan berdansa seperti meniupkan semangat baru dalam kehidupannya setelah ditinggal mati istrinya, Wilowati Soeryanto, pada tahun 1992. Dia menyenangi semua jenis dansa, mulai dari waltz sampai Latin dance, seperti cha cha cha, rumba, samba, salsa, bahkan kadang dangdutan. Secapai apa pun, matanya akan berbinar kalau diajak dansa. “Dansa Yok dansa….! (bolinks@2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar