Halaman
▼
Oktober 25, 2009
MAGELANG, PUSAT SENIRUPA INDONESIA.
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 25/10-09. Tahukah anda kalau di kota Magelang terdapat museum senirupa kontemporer Indonesia yang terbesar di dunia ? Apakah anda pernah membayangkan terdapat asset senilai 2 triliun rupiah lebih tersimpan di rumah orang-orang kaya Magelang dalam bentuk benda seni ? Pernahkah anda berhitung bahwa dari asset sebesar itu terjadi transaksi benda-benda seni sedikitnya 100-200 milyar rupiah setiap tahun di kota kecil itu ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas bukanlah sesuatu yang susah. Datanglah ke jalan Diponegoro, di barat kota Magelang. Sebuah rumah berarsitektur lama, di pojok jalan itu, adalah kediaman dr.Oey Hong Djien, seorang dokter sekaligus pedagang tembakau terkemuka di kota sejuk itu. Oey Hong Djien, yang sekarang lebih popular disebut OHD, adalah kolektor lukisan dan karyaseni lainnya yang jumlah koleksinya tak ada tandingannya di republik ini. Sebagai kolektor, kalibernya bahkan melewati Soekarno, presiden RI ke I, yang dikenal sebagai kolektor kelas wahid.
Di rumah OHD tersimpan 2000 lebih karya senirupa. “1500 lebih lukisan, dan 500 lebih patung dan karya tiga dimensi,” kata OHD mencoba mengingat jumlah koleksinya. Karya sebanyak itu tersimpan rapi di rumahnya. Sebagian di plafon yang telah disulap menjadi tempat penyimpanan lukisan. Sebagian lagi dipajang di dua museum yang terletak di belakang rumahnya, yakni Museum Modern Art dan Museum Contemporary Art.
Tahun depan OHD akan membuka satu museum lagi, di bekas gudang tembakau miliknya, di kawasan Tengkon, di tengah kota. Dengan tiga museum dan 2000 lebih karya senirupa itu, maka OHD berani mengklaim bahwa museumnya adalah museum senirupa Indonesia yang terbesar di dunia. “Di Indonesia memang museum saya yang paling banyak menyimpan koleksi. Kalau sudah terbesar di Indonesia tentu menjadi terbesar di dunia, karena di luar Indonesia belum ada museum yang khusus mengkoleksi karya senirupa Indonesia, “ papar OHD tanpa bermaksud membanggakan diri.
Di Magelang (termasuk Temanggung dan Parakan), selain OHD, sekarang ini telah tumbuh generasi pengikutnya, jumlahnya lebih 60 orang. Tak semua jadi kolektor murni seperti OHD. Sebagian besar memposisikan dirinya sebagai art-dealers. Mereka memiliki koleksi antara 50 hingga 500 karya senirupa per orang. Kalau dipukul rata masing-masing memiliki 200 karya, maka karya senirupa yang tersimpan di rumah orang-orang kaya Magelang itu mendekati 15.000 karya.
Berapa nilai karya-karya itu ? Kalau yang dimaksud nilai adalah harga dalam rupiah, maka jumlah seluruhnya lebih dari 2 triliun rupiah. Jumlah itu berdasarkan taksiran harga 100-200 juta per karya. Taksiran harga itu sangat konservativ, atau kisaran paling murah. Karena banyak karya yang tergolong ‘old-master’ yang harganya jauh di atas harga itu. Karya-karya Affandy, Hendra Gunawan, Sudjojono, Le Man Fong, Joko Pekik, Widayat, Srihadi Sudarsono, Popo Iskandar, Basuki Abdullah, yang tergolong ‘old-master’ harganya sekarang ini antara 1-5 milyar rupiah.
“Harga karya beberapa seniman muda juga sudah menyamai, bahkan melampui harga old-master itu, “ kata OHD sembari menyebut beberapa nama perupa muda, antara lain: Nasirun, Entang Wiharsa, Ivan Sagita, Heri Dono, Agus Suwage, Nyoman Masriadi, dll. “Pada lelang di Singapura karya Masriadi laku hingga 9 milyar rupiah lebih, “ lanjut dokter yang hanya sebentar mempraktekan ilmu medisnya itu.
Jadi jangan heran dan kaget kalau transaksi yang dilakukan para kolektor dan art-dealers itu setiap tahunnya melebihi angka 100-200 milyar rupiah. Selain bertransaksi di antara sesama kolektor dan art-dealers Magelang, transaksi itu juga terjadi dengan art-dealers dan galeri dari Jakarta, Semarang, Surabaya, hingga kota-kota dunia (Singapura, Beijing, Abu-Dhabi, dll) yang dikenal sebagai pusat bisnis senirupa.
Arahmaiani, pelukis Bandung yang kini tinggal di Jogyakarta, menggambarkan dinamika bisnis senirupa di Magelang dengan ungkapan khas: “Hanya di Magelang, karya-karya senirupa yang tergolong kelas satu, bisa berpindah tangan 3-4 kali dalam sehari”. Wow….
Pedagang Tembakau.
Gairah pertumbuhan bisnis senirupa di kota yang relative kecil itu, memang, tak bisa dilepaskan dari sosok OHD. Boleh dikatakan OHD-lah yang menularkan demam lukisan di kalangan teman-temannya sesama pedagang tembakau. “Mereka kan sering kumpul di rumah saya, untuk urusan tembakau. Mungkin karena mereka sering mengamati dinding rumah saya yang penuh lukisan, lama-lama kegemaran itu nular juga, “ jelas OHD.
“Ya, OHD adalah patron kami, “ kata Ridwan Mulyosudarmo, pemilik Syang Art Space, galeri yang terletak di jalan Tentara Pelajar, Magelang. Ridwan dan empat kawannya lagi tergolong yang paling serius mengikuti jejak OHD. Lima orang yang popular disebut ‘Kelompok Lima’ itu adalah Ridwan, Harmanto, Ongki, Che Kong, dan Kris Dharmawan. Yang disebut terakhir adalah pemilik Galeri Semarang, yang kini dianggap sebagai galeri terbesar dan berpengaruh di ibukota Jawa Tengah itu.
Selain menularkan ilmunya dalam menilai dan menghargai sebuah karya seni, OHD juga menjadi trend setter di kalangan pengikutnya itu. “Kalau OHD membeli karya seorang perupa, atau menilai karya perupa itu bagus, maka kami akan berbondong-bondong memburu karya perupa itu pula,” jelas Ridwan lebih lanjut.
Jadi apa yang dikoleksi OHD akan mereka koleksi pula. Kalau koleksi OHD dianggap karya-karya kelas satu, maka demikian pula koleksi para pengikut itu. Yang membedakan, kalau yang dimiliki OHD benar-benar karya yang terseleksi. Maka yang dimiliki para pengikut itu seringkali bukan yang terbaik dari seorang perupa.
“OHD hanya mau mengkoleksi karya yang menurutnya terbaik. Kalau menurut OHD nggak bagus, dikasih saja ia nggak mau, “ kata Deddy PAW, pelukis Magelang yang dua karyanya juga dikoleksi OHD. Deddy PAW juga bercerita kalau OHD tidak membeli karyanya di rumah, dengan harga special karena sesama orang Magelang. “Ia membeli ketika saya pameran, dengan harga pameran. Satu di galeri Surabaya. Satu lagi saat Art-Season Singapura “.
Selain itu, dalam hal jumlah koleksi juga membedakan OHD dengan pengikutnya. Kalau saat ini koleksi OHD mencapai 2000 karya lebih, maka koleksi para pengikut itu hanya terbilang ratusan. Karena OHD kolektor murni, ia tidak pernah menjual karya yang pernah ia beli. Sementara para pengikut itu sebagaian besar menjadi art-dealers, yang memperdagangkan koleksi yang mereka punyai. Koleksi mereka selalu berotasi kepemilikannya.
Lompatan dalam hal jumlah kolektor di Magelang, yang tadinya cuma belasan menjadi lebih 60 orang sekarang ini, dimulai saat krisis moneter(krismon) melanda Indonesia tahun 1998. Saat itu banyak usaha bangkrut, termasuk usaha para kolektor Magelang. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi keterpurukan dunia usaha adalah melakukan lelang asset milik perusahaan-perusahaan yang bangkrut itu, termasuk lukisan.
OHD kemudian memfasilitasi agar koleksi para usahawan Magelang diikutkan dalam lelang. Ternyata lelang lukisan itu laku keras, dengan harga yang lumayan menguntungkan. Berbeda dengan asset dalam bentuk lainnya, property misalnya, yang harganya jatuh jauh lebih murah dari harga sesungguhnya. “Terbukti lukisan mampu membantu kami bangkit dari keterpurukan, “ ungkap Ridwan, yang sebelum mendirikan galeri adalah seorang kontraktor bangunan berpartner dengan Kris Dharmawan.
Momentum krismon itu ternyata ikut membangkitkan gairah para pengusaha di Magelang untuk menanamkan investasinya dalam bentuk lukisan dan karya seni lainnya. Kalau tadinya terbatas di kalangan pengusaha tembakau, maka latar belakang profesi para kolektor itu pun semakin beragam. Ada pemilik jaringan toko emas, pengusaha karoseri, pebisnis obat-obatan, pemilik usaha garment, hingga pemilik show-room mobil.
Kalau pada awalnya ada ‘Kelompok Lima’, kemudian dikenal ‘Kelompok Senyum’ mengiringi munculnya kolektor-kolektor baru itu. Lho ? “Karena kami membeli lukisan itu sebagai bagian dari kesenangan hidup. Kami berangkat ke pameran atau rumah pelukis secara berombongan dengan penuh senyum, “ kata David Joe Dozan, pengusaha garment yang kini termasuk ‘berani’ dalam memborong lukisan.
Tentang ‘kegilaan’ dalam memborong lukisan, Ridwan punya cerita lain. “Kami berangkat ke pameran atau rumah pelukis seringkali berombongan. Begitu sampai, kami saling mendahului turun dari mobil, saling berebut untuk mendapatkan lukisan terbaik dalam pameran itu “.
Fenomena perkembangan jumlah kolektor di Magelang ini kemudian menjadikan peta bisnis senirupa di Indonesia menjadi gegap gempita. “Bahkan sekarang ada suatu ukuran, sebuah pameran lukisan di Indonesia dianggap gagal kalau tidak didatangi kolektor magelang, “ cerita Deddy PAW menggambarkan pengaruh para kolektor Magelang itu. Luar biasa.
Pasar Internasional.
Institusi semacam balai lelang yang tumbuh seiring geliat usaha pasca-reformasi, semakin meneguhkan kepercayaan para kolektor Magelang, bahwa karya seni bisa menjadi ladang bisnis yang menguntungkan. Munculnya balai lelang internasional sekelas Christies dan Sotheby’s di Singapura, misalnya berperan besar mendongkrak harga-harga lukisan para perupa Indonesia.
Nilai rupiah yang jatuh saat krismon hingga sekarang ini, menyebabkan harga lukisan perupa Indonesia terasa murah bagi balai lelang internasional itu. Balai lelang itu kemudian memborong lukisan perupa Indonesia, yang kebetulan sebagian besar dikuasai kolektor dan art-dealers Magelang. Sebaliknya, bagi para perupa dan art-dealers harga yang kemudian muncul dan dipatok dalam lelang-lelang di negeri jiran itu terasa mencengangkan. Bisa sepuluh kali lipat lebih dari harga yang berlaku di pasaran dalam negeri.
“Saya membeli lukisan Agus Suwage 20 juta rupiah, dan berhasil menjualnya 250 juta rupiah di suatu lelang Singapura, “ kata Deddy Irianto alias Deddy Langgeng, pemilik Galeri Langgeng. Hal yang sama juga dialami Ridwan yang berhasil menjual lukisan Putu Sutawijaya 1,7 milyar rupiah, padahal lukisan itu dibelinya 125 juta rupiah.
Margin yang sangat besar itu menggiurkan banyak pengusaha lain yang kemudian berbondong-bondong menggeluti bisnis karya seni. Jadi tak usah heran kalau dalam hitungan kurang 10 tahun jumlah kolektor di Magelang membengkak, dari belasan menjadi lebih 60 orang. “Bandingkan dengan Jogya. Di kota yang bisa dikatakan gudangnya perupa itu jumlah kolektornya kurang dari 10 orang, “ imbuh Ridwan.
Jumlah kolektor, serta jumlah karya seni yang dikoleksi yang sedemikian banyak, menempatkan Magelang dalam posisi yang signifikan sebagai pusat bisnis senirupa Indonesia. Orang-orang dari balai lelang atau galeri internasional kalau mau ‘kulakan’ lukisan yang dituju bukan Jakarta, Bandung, atau Jogya, tapi langsung ke Magelang. “Di Magelang mereka bisa mendapatkan lukisan-lukisan terbaik dari seluruh Indonesia, sekaligus dalam jumlah yang banyak, “ kata OHD.
“Galeri Masterpiece Jakarta kalau beli lukisan ke Magelang bawa truk boks ukuran besar, “ imbuh Deddy Langgeng menguatkan pernyataan OHD tentang gemuruh bisnis lukisan di Magelang. “Tapi kami tidak sekedar bermain di kandang. Kami juga ekspansi ke kota lain, mendirikan galeri di Jakarta dan Jogyakarta. Serta rajin mengikuti lelang atau art-fair di luar negeri ,” kata Deddy melengkapi pernyataannya.
Deddy dan Galeri Langgeng memang paling agresif mengembangkan pasar senirupa. Di Jakarta ia punya dua galeri, satu di kawasan Kemang dan satunya lagi di Grand Indonesia. Sekarang ia sedang membangun satu galeri lagi di Jogyakarta. Deddy juga tergolong paling rajin mengikuti lelang atau art-fair di luar negeri. Bahkan beberapa kali mengadakan sendiri pameran perupa Indonesia di luar negeri. Tahun lalu ia mengadakan pameran di Abu Dhabi, menampilkan karya Agus Suwage, Arahmaiani, Harris Purnomo, FX Harsono, dan Nano Warsono.
Langkah Deddy juga diikuti kolektor lain. Di Magelang, Ridwan mendirikan Syang Art-Space, dan Alexander Ming mendirikan Golden gallerys. Kris Dharmawan mendirikan Galeri Semarang. Beberapa galeri terkemuka di Jakarta diketahui juga dimiliki pengusaha dari Magelang. “Sekarang ini 80% pasar senirupa Asia Tenggara didominasi karya-karya dari Indonesia. 50% persen dari jumlah itu dipasok dari Magelang, “ papar Deddy menggambarkan peran dan dominasi art-dealers Magelang.
Apakah hanya cerita sukses yang mengiringi perjalanan para kolektor Magelang ? Tentu tidak. Tak sedikit resiko yang mereka alami.
OHD misalnya, pernah terperosok membeli karya Raden Saleh palsu. “Ibarat sekolah, anggap saja itu ongkosnya, “ kata OHD mengutip falsafah Jawa ‘jer basuki mowo beyo’. Yang lucu, karya palsu yang kemudian oleh OHD dijuluki karya Raden Salah itu, ternyata diminati pihak lain, kendati OHD jujur mengatakan bahwa itu lukisan palsu. “Ditawar 100 juta, padahal saya belinya hanya 15 juta. Tapi ndak saya kasih. Biar tetap melengkapi koleksiku. Paling tidak orang akan tahu, seperti itulah lukisan palsu, “ lanjut OHD dengan enteng.
Deddy Langgeng beberapakali gagal mengangkat atau menjual karya perupa Indonesia. “Buat saya yang lama menjadi pemain saham, resiko seperti itu biasa, “ kata Deddy, yang hingga kini pun masih memasang papan nama ‘Bhakti Sekuritas’ (perusahaan saham) di pintu masuk rumahnya.
Pengalaman lain dialami David Dozan. Belum lama ini ia mempersiapkan seorang perupa untuk berpameran tunggal di Singapura. Ia sudah membiayai segalanya: booking tempat yang tidak murah, biaya promosi, bahkan juga menjamin hidup sang perupa selama beberapa bulan untuk mempersiapkan karya-karyanya. “Hampir 1 milyar rupiah sudah kukeluarkan untuk mempersiapkan itu semua, ” ungkap David tanpa mau menyebutkan nama perupa itu.
Ternyata semua jerih payah itu gagal total. Pada saat hari H, perupa itu tidak siap mengirimkan karya sesuai target. Baik target kuantitas, apalagi kualitas. Usut punya usut, ternyata selama ini karya-karya yang dibuat untuk pameran itu dijual kepada pihak lain tanpa setahu David.
Apakah hal-hal semacam ini tak membuat jera para kolektor itu ?
“Tidaklah itu…,” tegas Ridwan. Menurutnya, “Memasuki dunia senirupa itu asyik, nyandu, dan ngangeni…he he “.
***
Sore itu, diantar Deddy PAW, saya menemui Deddy Langgeng di galerinya, yang terletak di sisi barat Magelang, menghadap gunung Sumbing di kejauhan. Saat itu ia sedang menemani beberapa tamunya melihat lukisan yang terpajang di galerinya. Galeri yang cukup besar itu mampu manampung puluhan karya lukis dan instalasi kontemporer, yang rata-rata berukuran besar.
Salah seorang tamunya, yang bernama Paulus, ternyata adalah pemilik pabrik cat dari Surabaya, yang produknya sedang digemari masyarakat. Ia juga kolektor, namun masih terbatas mengkoleksi karya-karya old-master. Sekarang ia ingin mengkoleksi karya-karya kontemporer. Ia merasa harus belajar karena karya-karya kontemporer seringkali tidak mudah dipahami.
“Saya datang ke Magelang, karena di tempat inilah saya bisa mempelajari karya-karya kontemporer secara lengkap. Datang ke tempat yang tepat, serta belajar dari orang yang tepat pula ,” kata Paulus sembari menunjuk Deddy Langgeng. Ungkapan Paulus ini kiranya tepat pula untuk meneguhkan posisi Magelang sebagai pusat senirupa Indonesia (bolinks@2009).
Wah, saya yang menklaim diri sebagai Wong Magelang, malah baru tahu tentang Art Center ini. Tapi ya maklum juga, itu khan dunianya high class..... Gak terjangkau deh untuk ukuranku.....
BalasHapusBung Yuddy, lbh baik terlambat tahu drpd tdk tahu sama sekali...he he. Tdk hanya sampean kok yg blm tahu ttg museum itu, bahkan walikota atau Ketua DPRD aja nggak tahu kok. Pejabat Disporabudpar juga banyak yg blm tahu.
BalasHapusUntuk menikmati dan memahami karya senirupa tdk harus kaya atau masuk golongan high-class dulu. Justru untuk itulah museum atau art centre dibuka, agar masy luas bisa menikmati koleksinya.
Saya menulis semua ini juga bertujuan agar masy Mgl khususnya terbuka wawasannya tentang kekayaan dan ikon wisata yg dimiliki kotanya. Jd, nantinya kalau bicara ttg wisata Mgl tidak hanya Kyai langgeng atau senerek bu Atmo aja. Tapi bisa pamer bahwa Mgl, dlm hal seni, tidak kalah dibandingkan kota lain, bahkan Jkt atau kota2 besar lainnya. Sebuah anugrah yg pantas disyukuri dan dinikmati.
Kita mesti berterimasih pd pemilik museum dan art centre itu. Karena dgn adanya sarana itu, msy Mgl bisa menikmati karya2 senirupa klas dunia. Sesuatu yg blm tentu bisa dirasakan oleh warga kota2 lainnya. Selain itu, museum dan art centre itu juga menaikkan martabat Mgl sbg kota kebudayaan yg diakui eksistensinya.
Sekali2 Bung Yuddy bisa membawa murid2 untuk mengunjungi museum itu....