WAKTU BERHENTI DI MAHA GELANG.

Borobudur Links | September 19, 2009 | 11.03 wib | Label: Tourism

Sekelompok turis asing menikmati matahari terbit di Menoreh.


Oleh: Dahono Fitrianto/KOMPAS.

Beberapa orang pernah mengatakan, Magelang berasal dari
kata 'maha' dan 'gelang', yang berarti gelang raksasa. Secara
geografis, perkataan itu ada benarnya, karena daerah Magelang memang
berada di sebuah lembah yang dikelilingi deretan gunung api dan
perbukitan: sebuah gelang raksasa!
Di sebelah tenggara akan terlihat Gunung Merapi yang selalu
mengepulkan asap putih dari kepundannya. Di sebelah timur, tepat di
sebelah Merapi, berdiri tegar Gunung Merbabu.
Di utara, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Semarang, Magelang
dipagari oleh barisan Pegunungan Andong. Pegunungan itu berderet ke
arah barat sampai menyambung dengan kaki Gunung Sumbing. Sementara di
selatan, barisan Pegunungan Menoreh menjadi batas Magelang dengan
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Barisan gunung berapi yang pernah memuntahkan abu vulkanik dan
aliran dua sungai besar-Progo dan Elo-di lembah Magelang, menjadikan
tanah daerah tersebut sangat subur. Pertanian menjadi mata pencarian
utama penduduk yang mendiami tanah Magelang sejak beribu- ribu tahun
silam.


Hingga kini, masyarakat desa-desa gunung di sekeliling Magelang masih melandaskan kehidupannya pada pertanian. Selain menanam padi, komoditas pertanian utama mereka adalah berbagai macam sayur-mayur, mulai dari kentang, tomat, bawang putih, daun bawang, buncis, sampai
kacang panjang.
Dan seperti di komunitas masyarakat agraris lainnya di seluruh penjuru bumi, selalu ada ritual tradisi berkaitan dengan siklus tanam dan panen. Di masyarakat agraris Nusantara, ritual semacam itu secara umum disebut upacara Sedekah Bumi. Di daerah Magelang, ritual ini disebut upacara Merti Bumi. Hampir seluruh dusun di Magelang memiliki tempat dan waktu khusus sendiri-sendiri untuk melaksanakan ritual ini. Ritual yang sudah berlangsung ribuan tahun ini biasanya dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap "keramat" atau "angker", misalnya di pohon-pohon besar, sumber mata air, atau sungai.
Dari ritual-ritual inilah muncul bentuk-bentuk kesenian tradisi yang berbeda dari satu desa ke desa lain. Menurut seniman dan budayawan Sutanto Mendut dari Magelang, bentuk ritual dan kesenian
itu bisa berbeda menurut kondisi alam, interaksi masyarakat, dan bahkan jenis tanaman yang ditanam di daerah tertentu. "Kesenian tradisi di desa yang menanam padi dengan desa yang menanam vanili, misalnya, bisa berbeda bentuk," tuturnya.
Meski sekilas ritual-ritual tradisi itu semata-mata adalah perwujudan kepercayaan paganisme dari masa lalu, tetapi menurut Tanto, semua ritual tersebut sebenarnya adalah bentuk kearifan lokal
pemimpin masyarakat pada masa itu. "Itu tak lepas dari politik lokal untuk melindungi kepentingannya," ujar Tanto.
Pada saat sebuah mata air atau pohon besar dikeramatkan, maka masyarakat secara turun-temurun tidak akan berani mengganggu benda-benda tersebut. Dengan demikian, sumber daya alam dan kelestarian lingkungan di suatu tempat akan terjaga. "Nenek moyang kita sudah sejak lama tahu bahwa pohon dan air berkaitan erat, dan air adalah sumber kehidupan. Jadi, sudut pandangnya adalah pendekatan ekologis, bukan mistis semata," papar penggagasawal Festival Lima Gunung ini.
Di Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, yang terletak 2.000 meter di atas permukaan laut pada lereng Gunung Sumbing, upacara Merti Bumi dilaksanakan pada awal bulan Sapar pada sistem penanggalan Jawa. Menurut Kepala Dusun Krandegan, Sumarno, upacara itu dilakukan untuk meminta keselamatan desa dan keberkahan panen kepada Sang Pencipta Hidup.
Salah satu kesenian tradisi yang ditampilkan pada ritual tersebut adalah lengger. Kesenian yang hampir mirip dengan ledhek atau tayuban, yakni dimainkan pasangan lelaki dan perempuan itu, dianggap melambangkan kesuburan. Mementaskan kesenian ini dipercaya mendatangkan hasil panen yang berlimpah.
Sementara dari empat pentas kesenian wajib yang digelar sepanjang tahun di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, di lereng Gunung Merapi, terdapat satu pentas yang sifatnya sakral. Masyarakat dusun tersebut menyebutnya sebagai upacara Suran, karena dilaksanakan
setiap tanggal 15 bulan Sura.
Menurut ketua komunitas kesenian Padepokan Tjipta Boedaja Dusun Tutup Ngisor Sitras Anjilin, pada ritual Suran yang esensinya sama dengan Merti Bumi, digelar pertunjukan wayang orang dengan kisah sakral yang mengisahkan lakon Dewi Sri, dewi kesuburan.

Tidak hilang.
Pada saat agama-agama samawi masuk ke Jawa, ritual- ritual tradisi ini tidak serta merta ditiadakan. KH Muchammad Yusuf Ch atau Gus Yusuf dari Pondok Pesantren Asrama Pendidikan Islam (API)
Tegalrejo mengatakan, para Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa justru menggunakan acara-acara tradisi tersebut sebagai sarana dakwah.
"Para wali, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Giri, menyadari bahwa ritual-ritual dan acara kesenian tradisi tersebut menjadi pusat kehidupan warga desa yang efektif untuk mempersatukan dan merukunkan mereka. Sehingga, apabila tradisi itu dirusak atau dilarang, malah bisa menimbulkan perlawanan dari masyarakat," papar Gus Yusuf.
Kekuatan kesenian untuk merukunkan penduduk desa itu tergambar dari cerita Gus Yusuf tentang penduduk Dusun Tepus di dekat Tegalrejo. Beberapa puluh tahun silam, penduduk desa tersebut berbeda pendapat mengenai penggunaan uang kas desa. "Satu kelompok ingin menggunakan uang itu untuk membeli seperangkat gamelan, sementara kelompok lainnya ingin memakainya untuk membangun masjid. Padahal, uangnya terbatas," kisahnya.
Karena perselisihan pendapat itu tidak bisa diselesaikan, penduduk desa akhirnya mendatangi ayah Gus Yusuf, KH Chudlori bin Ichsan (kini sudah meninggal), ulama karismatik yang mendirikan Ponpes Tegalrejo. Di hadapan Kiai Chudlori, mereka meminta saran untuk memutuskan buat apa uang kas desa itu.
"Ayah saya langsung mengatakan, 'Gunakan uang itu untuk membeli gamelan. Karena dengan gamelan, masyarakat desa akan bersatu, guyub, dan rukun.Kalau masyarakat sudah guyub dan rukun, maka nanti masjidnya akan datang sendiri'," tutur Gus Yusuf.
Menurut Gus Yusuf, persatuan, perdamaian, dan kerukunan adalah nilai-nilai dasar dalam Islam. Dan pada saat nilai-nilai dasar itu telah ditanamkan pada masyarakat, ajaran-ajaran yang lain akan dengan mudah disampaikan.

Tak terpisahkan
Kesenian yang pada hakikatnya adalah usaha menghaluskan rasa dan menajamkan kepekaan batin, menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari masyarakat desa. Para seniman rakyat di desa-desa itu tetap berangkat mencangkul sawah pada pagi hari. Sementara para petani yang telah usai mencangkul dan mengangkut hasil buminya dari ladang ke lumbung akan berkumpul pada malam hari untuk berlatih menari, menabuh gamelan, atau menembang. "Di dusun kami sampai ada semboyan 'awan macul, bengi uro-uro'. Siang mencangkul, malam menembang," tutur Sitras.
Seperti juga yang terlihat di Krandegan. Saat kami datang ke desa tersebut, para pemudanya masih giat mengangkut hasil bumi berupa kentang dan kubis dari ladang ke rumah mereka.Hanya dalam waktu satu jam, mereka telah berkumpul di rumah kepala dusun untuk berlatih kuda lumping dan lengger.
Dengan kondisi alam yang begitu memanjakan manusia, dan kehidupan masyarakat yang rukun damai, waktu seolah berhenti di lembah Magelang. Skala-skala waktu dan jarak yang sangat kaku dan begitu mengikat pada masyarakat kota besar yang selalu menuntut kepastian dan ke-eksak-an, tidak berlaku lagi di desa-desa gunung ini.
Mereka tidak akan bisa menjawab dengan eksak saat ditanya berapa usia mereka, jarak dari satu desa ke desa lainnya, atau jam berapa mereka biasanyaberkumpul untuk berlatih kesenian. Jawaban hari ini bisa jauh berbeda dengan jawaban esok hari. Bukan karena mereka bodoh, bukan karena mereka buta pengetahuan dasar, tetapi lebih karena hal-hal itu tidak begitu penting lagi bagi mereka.
Waktu mungkin memang berhenti di lembah Maha Gelang, tetapi kehidupan masyarakatnya terus bergulir, berputar, bergelora mengikuti pergantian malam dan siang. Dalam kesunyian lereng-lereng Merbabu, Merapi, Sumbing, Andong, dan Menoreh, mereka terus bergerak dan berubah untuk mencari hal terpenting dalam kehidupan: keseimbangan dan harmoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich