ETOS PETANI PAK MUHRONI. (Catatan Perjalanan Menuju Festival 5 Gunung)

Borobudur Links | Juli 28, 2009 | 19.27 wib | Label: Tourism


Sebenarnya Festival 5 Gunung VIII baru akan berlangsung tanggal 26 Juli 2009. Tapi saya sengaja mengunjungi lokasi acara itu sehari sebelumnya. Dengan tujuan untuk mengetahui denyut kehidupan masyarakat desa di mana hajatan budaya itu dilaksanakan.
Hari Sabtu, 25 Juli 2009, jam 13.00, saya meluncur menuju dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, lokasi tempat berlangsungnya festival itu. Perjalanan kali ini saya ditemani Haryo Bagus (Harry), fotografer BOROBUDUR LINKS, yang kebetulan adalah keponakan saya sendiri. Dari Magelang, dengan mengendarai sepeda motor kami mengambil jalur baru melewati Desa Sindas, Pucang, hingga tembus pasar Grabag.

Di Sindas kami sempatkan makan siang di restoran NINIT. Restoran yang dipadukan dengan sarana rekreasi pemancingan ini merupakan cabang dari restoran ayam goreng tulang lunak Ninit di kota Magelang. Di antara pilihan berbagai menu, kami berdua tetap memilih ayam goreng, yang kami anggap sebagai menu khusus restoran ini yang sudah melegenda.
Benar juga, ayam goreng yang tersaji benar-benar nikmat sesuai brand restoran ini. Dagingnya empuk hingga tulangnya, dengan rasa gurih yang khas. Lalapan yang menemani terdiri dari kobis, kemangi, dan rebusan daun singkong yang benar-benar segar, sesegar suasana resto yang berada di tepi sungai Elo di timur kota Magelang ini. Sementara sambal yang kami pesan terdiri dua jenis, sambel terasi dan sambal polos yang dibuat dari cabe mentah dengan bumbu seperlunya. Dengan cepat kami melahap semua sajian itu, tandas tanpa sisa…. Nyoos. Sebelum terbuai oleh suasana santai yang tercipta oleh lingkungan resto, kawatir ngantuk, kami memutuskan meneruskan perjalanan.
Setelah sampai di pasar Grabag, kami belok kanan, melewati Dusun Mangli. Di dusun ini dulu pernah berdiam seorang kyai karismatis yang sangat populer, mBah Kyai Mangli. Motor yang kami tumpangi, Yamaha Mio, tak sanggup mendaki jalanan menanjak yang cukup curam. Harry memutuskan turun dari motor dan berjalan kaki, sementara saya tetap menaiki motor dan menunggu di atas. Sedikitnya 20 menit kami habiskan untuk saling menunggu, mengatasi tanjakan itu.
Jam 15.00 kami sampai di dusun yang kami tuju yang terletak di lereng Gunung Andong, atau sekitar 25 km dari kota Magelang. Memasuki dusun Mantran sudah terlihat beberapa instalasi yang dibuat khusus untuk memberi aksen suasana festival, antara lain: gapura, penjor, umbul-umbul, saung-saungan, dll. Yang unik semua instalasi itu terbuat dari bahan-bahan alami khas pedesaan seperti bambu, daun kelapa, daun aren, daun jagung, dan batang/daun padi. Suasana festival sudah terasa oleh kesibukan warga menghias masing-masing rumahnya, sementara music tradisi Jawa (klenengan) berganti-ganti dengan lagu pop terkini berkumandang mengiringi kesibukan warga dusun.

Hawa Dingin.

Oleh panitia festival kami ditempatkan di rumah keluarga Muhroni (69 tahun), seorang petani sekaligus pedagang yang cukup terpandang di dusun itu. Rumah Pak Roni, demikian panggilannya, berdiri di tengah dusun tepat di pinggir jalan desa. Rumah tembok berukuran 9m x 15m itu berdiri di atas tanah yang cukup luas. Halaman depan tidak terlalu lebar dan tertutup plester karena digunakan sebagai tempat menampung sayur-sayuran dari petani setempat. Di kiri bangunan induk dibangun garasi untuk menampung sebuah mobil pikup dan beberapa perabot pertanian.
Halaman belakangnya justru tergolong luas. Selain dibiarkan terbuka sebagai area jemuran beberapa komoditas pertanian, juga nampak sumur dan peturasan (kamar mandi terbuka) di tengah halaman. Di salah satu sisi halaman, nyambung dengan dapur keluarga, digunakan sebagai gudang tempat menyimpan hasil-hasil pertanian yang sudah kering. Masih ada satu bangunan lagi, yang difungsikan sebagai kandang 3 ekor sapi piaraan keluarga itu, serta kamar mandi/WC tertutup yang menyatu dengan kandang sapi itu.
Di rumah itu Pak Roni tinggal dengan istri dan salah satu anak laki-lakinya, Pak Padi (38 tahun). Pak Padi sendiri sudah berkeluarga dengan dua orang anak berusia 15 tahun dan 3 tahun. Sementara anak laki-laki yang lain, Pak Triyono dan keluarganya, tinggal terpisah di rumah lainnya di dusun itu pula.
Sore itu Pak Roni dan keluarga sibuk melayani tamu-tamunya, karena rumahnya dipakai sebagai secretariat festival. Kami memasuki rumah itu disambut puluhan warga desa dan beberapa panitia festival. Saat itu mereka berkumpul menjelang rapat persiapan terakhir. Rapat diadakan di salah satu sudut ruang tamu keluarga itu yang cukup luas.
Pak Riyadi, Ketua Panitia festival, memimpin rapat membahas pembagian tugas bagi masing-masing warga yang terlibat. Kebetulan Pak Roni dan Pak Padi anaknya kebagian tugas sebagai penerima tamu. Sementara istri-istri mereka menjadi penanggungjawab dapur umum, yang juga ditempatkan di rumah keluarga itu. Di dapur inilah dimasak berbagai jenis makanan, dari mulai makanan pokok dan berbagai panganan lainnya, yang akan disuguhkan bagi para tamu festival.
Sore itu Pak Roni juga melayani Ismanto dan rombongannya. Ismanto adalah seniman serba bisa, yang kini diakui keberadaannya sebagai salah satu pematung batu nomor wahid di republic ini. Ismanto pula yang merancang instalasi sebagai setting artistic lingkungan dusun Mantran. Salah satu instalasinya dalam wujud prasasti batu didirikan di halaman samping rumah Pak Roni. Di rumah Pak Roni pula Ismanto dan rombongannya makan minum dan melepas lelah setelah usai menata instalasi.
Menjelang magrib, di dusun yang terletak di ketinggian 1200 dpl, itu udara berubah drastic. Angin semilir yang sebelumnya hanya terasa sejuk berubah menjadi dingin menusuk tulang. Hampir semua warga dan panitia festival bergegas masuk rumah dan menutup tubuhnya dengan jaket tebal. Hanya Ismanto dan rombongannya yang belum merasa terganggu oleh udara dingin itu. Mungkin karena mereka harus bekerja keras menyelesaikan karyanya, yang di antaranya berupa struktur batu-batuan dengan sebongkah batu besar berada di atasnya. Pada batu besar itulah prasasti festival ditulis dan dipahatkan.
Malam itu tuan rumah menyajikan makan malam berupa nasi putih dengan lauk telor dadar, orak-arik daun kobis, tempe bacem, dan krupuk udang. “Monggo…silakan mas, makan malam sekedarnya,” kata Pak Roni dan Pak Padi kepada setiap tamu yang ada di rumahnya. Ajakan itu diulang beberapa kali lagi, seandainya tamu yang ditawari tidak langsung menyambut ajakannya.
Terdorong sikap tulus tuan rumah serta hawa dingin yang menusuk tulang, menu sederhana itu kami nikmati dengan lahap. Selesai makan kami berkumpul di ruang tamu, ditemani kopi dan beberapa jenis kue kering. Selain kami, panitia, dan warga, malam itu ikut menginap di rumah Pak Roni seorang perempuan asing warganegara Thailand bernama Narumol Thammapruksa, yang akrab dipanggil Kop. Ia seorang seniman teater yang cukup dikenal di negaranya. Dalam percakapan malam itu, ia merasa terkesan oleh keramahan dan keterbukaan tuan rumah.
Sekitar jam 21.00 udara malam semakin dingin. Saya melapisi kaos saya dengan sweater dan jaket yang cukup tebal. Kaos kaki juga saya pakai secara rangkap. Tapi hawa dingin, terutama yang terasa di telapak tangan dan masuk lewat kuping, hampir tak tertahankan. Akhirnya saya memutuskan untuk bergabung dengan warga yang ada di dapur. Nampak beberapa laki-laki duduk ngobrol di amben yang cukup besar. Seperti lazimnya rumah di desa, dapur adalah tempat berkumpul yang paling hangat. Karena di dapur terdapat tungku yang senantiasa terisi kayu bakar kendati tidak sedang dipakai untuk masak. Semacam perapian di rumah-rumah negeri yang bermusim dingin.
Saya langsung menuju tungku yang berada di tengah dapur yang cukup lebar. Saya duduk di dingklik (tempat duduk pendek dari kayu) bersama ibu-ibu yang sedang memasak. Malam itu mereka memasak telur rebus dan kue sagu. Saya sempat menikmati kue yang terbuat dari tepung sagu, kelapa parut, gula, dan butiran pacar cina. Kue yang dibungkus daun pisang dan disajikan dalam kondisi panas itu cukup menolong menghangatkan badan. Apalagi dimakan di antara percik dan kobaran api dari tungku yang cukup besar dengan tiga panci untuk menjerang air, serta wajan besar di atasnya.
Belum lama saya duduk di depan tungku, bergabunglah Pak Roni dan Pak Padi. Kemudian saya dan kedua anak beranak itu terlibat obrolan yang cukup mengasyikkan. Dari keduanya saya memperoleh banyak informasi tentang berbagai hal menyangkut kehidupan masyarakat dusun Mantran.
“Ya…beginilah kehidupan kami sebagai buruh tani,” demikian pengakuan Pak Roni mengawali percakapan. “Kami mohon maaf kalau tak bisa melayani dengan baik,” imbuhnya. Pengakuan seperti itu merupakan pengakuan yang lazim dilontarkan masyarakat desa pada umumnya ketika menghadapi tamu-tamunya dari kota. Pengakuan yang mencerminkan kerendahhatian. Padahal dari kondisi fisik rumah mereka serta 2 (dua) mobil angkutan yang mereka punyai, pik-up dan truk, mereka tergolong petani kaya.
Saya tidak langsung mengungkapkan pengetahuan saya tentang kondisi mereka sebenarnya. Saya mesti berputar-putar dulu. Misalnya dengan menanyakan perihal mobil yang ada di garasi mereka. Dari soal mobil, baru kemudian memasuki pembicaraan lanjutan tentang usaha mereka selain bertani. Setelah itu meluncurlah pengakuan demi pengakuan tentang siapa mereka sesungguhnya.
Pak Roni menjelaskan selain bertani mereka juga berdagang. “Sejak usia 5-6 tahun saya sudah ikut ibu saya mengantar sayuran ke pasar Grabag,” kata lelaki yang tampak masih muda itu. Sejak itu, ia mengantar komoditas yang dihasilkan desanya itu ke berbagai pasar: Grabag, Temanggung, Magelang, hingga Jogyakarta. Peran itu kemudian diteruskan anak sulungnya, Pak Padi, hingga sekarang. Sedangkan Pak Roni dan anak keduanya, Pak Triyono, lebih berkonsentrasi mengelola kebun keluarga.
“Kalau sekarang saya hanya melayani para pedagang di Bandungan, Semarang,” timpal Pak Padi. Kok hanya ke satu pasar saja, yang jaraknya cukup jauh dari Mantran ? “Karena pasar Bandungan adalah pasar sayur terbesar di Jawa Tengah,” jawab lelaki berperawakan kecil itu. Di satu pasar itu saja, setiap hari, sedikitnya ia bisa menjual 10 ton sayur mayur berbagai jenis: kentang, wortel, kobis, kapri, buncis, tomat, dll.
Obrolan hangat di depan tungku itu kian asyik. Tak terasa waktu sudah beranjak ke pukul 24.00, dan kantuk pun mulai menjalar. Setelah berjanji untuk ikut ke kebun esok pagi, saya mengundurkan diri. Saya merebahkan diri di amben besar bersama tamu-tamu lain. Jaket dan kaos kaki tak saya lepas, bahkan ditambah selimut yang disediakan tuan rumah, tak mampu mengusir dingin udara malam itu. Saya ngrungkel, mencoba menghangatkan badan sendiri hingga lelap menghampiri.

Etos Petani Pedagang.

Keesokan paginya, usai sholat Subuh, saya menemui Pak Roni yang sedang melepas istrinya yang mau berangkat ke pasar Kranggan, Temanggung. “Kami punya kios sayuran di sana. Istri saya yang sehari-hari menjaga,” jelas Pak Roni tanpa saya tanyakan. Kemudian kami berdua berjalan menyusuri jalan desa, menuju kebun. Sepanjang jalan kami menemui beberapa petani lain. Ada yang sedang membenahi kobis hasil panen kemarin. Ada juga yang sedang mengangkut pupuk kandang dengan keranjang bambu dipundaknya. Mereka saling menyapa dengan keramahan khas masyarakat desa.
Di sebuah tikungan kami berbelok, menyusuri pematang kebun. Setelah menuruni lembah yang tak begitu curam sampailah kami di kebun Pak Roni. Kebun seluas 1000m2 ini ditanami berbagai tanaman secara tumpang sari. Ada kapri dan buncis yang tampak mulai berbuah. Di sela-selanya menyembul rumpun kentang setinggi 20-30 cm. Di sela yang lain bungkah-bungkah kobis juga siap panen. Sementara tunas-tunas wortel terlihat mulai tumbuh. Luar biasa…sebagai orang kota, saya baru kali ini melihat sistem tumpangsari dengan keragaman tanaman semacam ini.
“Saya melakukan ini agar bisa memanen setiap hari. Kalau hari ini panen kobis, besok panen, buncis. Besoknya kapri bisa dipetik…dan seterusnya. Jadi ekonomi bisa nyambung setiap hari,” kata Pak Roni menjawab keheranan saya. Selain lima komoditas itu masih terlihat tanaman singkong yang tampak rimbun menjulang berderet rapi di sepanjang pematang. “Sedangkan singkong untuk kebutuhan sendiri. Buat ngganjel antara jagung dan padi sebagai makanan pokok,” penjelasan pak tua itu tanpa bermaksud menggurui.
Kebun ini hanya salah satu dari puluhan kebun keluarga Pak Roni. “Dulu saya terima warisan kebun hanya seluas 4000 m2. Kini kami bisa mengembangkannya menjadi 14.000 m2, tiga kali lipat lebih,” ujar Pak Roni dengan nada bangga. Ia juga menambahkan, dari pengembangan usaha yang ia lakukan dengan berdagang sayur-mayur, sampai saat ini ia telah berhasil membangun rumah yang ia tinggali serta dua rumah lain untuk kedua anaknya.
Dari lembah itu kami meneruskan perjalanan, mendaki bukit kecil di lereng gunung Andong itu. Di lereng-lereng bukit itu kebun keluarga Pak Roni ditata seperti terasering. Beberapa petak ditanami tembakau yang daunnya terlihat lebar berwarna hijau tua. Di sela-sela pohon tembakau itu juga menyembul beberapa tanaman sayur-mayur lainnya.
“Tembakau ini tampaknya siap panen pak,” kata saya sembari mengukur lebar daun yang tumbuh di tengah batang. “Sebentar lagi, pertengahan agustus nanti kami mulai memetik. Moga-moga nggak ada hujan hingga panen nanti,” katanya sembari mendongakan wajahnya melihat langit yang pagi itu nampak bersih membiru. Seperti lazim diketahui, hujan yang turun pada saat-saat menjelang panen seperti sekarang ini akan menurunkan kualitas daun tembakau.
“Tahun ini kelihatannya hasil dari tembakau lumayan bagus,” kata saya sok tahu. “Semoga begitu,” timpal Pak Roni. “Tahun lalu saya gagal. Saat menjelang panen hujan banyak turun. Saya rugi hingga 6 juta rupiah,” katanya sembari menunjukkan gulungan batang tembakau kering yang tertumtuk rapi di bawah sebuah dangau. “Ini bekas-bekas kegagalan tembakau tahun lalu. Ini masih bisa dimanfaatkan sebagai kayu bakar….lumayan,” nadanya menghibur diri sendiri.
Di dangau itu saya istirahat sejenak. Sementara Pak Roni dengan sabit yang dibawanya dari rumah mulai memotong deretan rumpun rumput gajah yang tumbuh di lereng-lereng bukit. Pemandangan dari dangau, yang terletak di ketinggian bukit, sungguh sangat elok. Di samping kiri kami gunung Andong menjulang dengan gagah. Di belakang, tak terlalu jauh, mengintip gunung Telomoyo, yang letaknya memang berdekatan dengan gunung Andong.
Di depan bukit, di kejauhan tegak menjulang gunung Merbabu dan Merapi. Di puncak Merapi terlihat sedikit kepulan asap. Matahari yang muncul dari balik kedua gunung itu terasa menghangatkan badan, mengusir rasa dingin yang merasuki tubuh sepanjang malam. Sementara, ketika saya membalikkan badan, nun di kejauhan di batasi lembah yang menghampar memanjang, tampak berderet pegunungan Menoreh, gunung Sumbing dan Sindoro. Menyaksikan panorama elok itu, aku hanya bisa membatin: “Terimakasih Tuhan… Kau telah memberi kesempatan untuk menikmati segala keindahan hidup ini”.
Setelah puas menikmati pemandangan serta menghirup udara segar pagi hari, saya bergegas menuruni bukit. Pak Roni juga sudah menyelesaikan pekerjaannya membabat rumput. Terlihat ia sedang mengikat rumput itu dalam sebuah gulungan yang cukup besar. Selesai mengikat ia langsung memanggul gulungan rumput itu, dan mempersilahkan saya untuk mengikutinya menuruni bukit.
Ia tampak cekatan menuruni lereng yang sempit, kadang-kadang harus melompati undakan tanah ke arah yang lebih rendah. Namun yang kelihatan lucu, tubuhnya yang tergolong kecil kelihatan tenggelam di bawah gulungan rumput yang besar. “Dalam hal olah tani, saya nggak mau kalah dari yang muda-muda. Saya mengolah seluruh kebun ini hanya dibantu anak kedua saya, Triyono” katanya sesampai di jalan desa kembali.
Saya terdiam tak menanggapi. Hanya dalam hati saya membatin, saya mesti belajar tentang hakekat kehidupan dari bapak ini. Tentang etos seorang petani sejati, tentang perjuangan, kesetiaan, kejujuran, dan kecerdasan menyiasati hidup. Luar biasa...
Sesampainya di rumah, Pak Roni langsung ke halaman belakang. Gulungan rumput itu ia taruh di depan kandang sapi. Saya sendiri kemudian membereskan diri, mandi dan berganti baju. Selesai mandi saya ke ruang tengah mau membenahi peralatan laptop yang tadi malam saya charge. Saat itu Pak Padi sudah nampak rapi. Ia menggamit lengan saya dan mempersilakan untuk sarapan pagi bersama. Menu pagi itu: nasi putih, urap, semur telur, tempe bacem, dan tak ketinggalan krupuk udang.
Selesai sarapan, saya lihat Pak Padi dan Pak Roni sedang membereskan meja kursi di depan rumah. Keduanya tampak rapi dengan setelan batik yang tampak baru. Keduanya menyambut tamu festival yang mulai berdatangan. Keramahan nampak menghiasi wajah mereka. Sementara dari panggung yang tak jauh dari rumah, suara gamelan bertalu-talu menandakan acara festival 5 Gunung akan segera dimulai. (Mualim M Sukethi/Bolinks @2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich