Halaman
▼
Juni 30, 2011
GEREGET FESTIVAL TANPA BEREMBUG DUIT.
Borobudurlinks, 25 Jun 2011. “Saya mengingatkan bahwa festival ini tidak merembuk duit, sesuai dengan 'janji suci' kita waktu itu," kata Riyadi saat rapat panitia Festival Lima Gunung (FLG) ke-10. Festival mendatang rencananya berpuncak pada 10 Juli 2011, di kawasan antara Gunung Merapi dengan Merbabu, di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Riyadi adalah salah satu pemimpin penting seniman petani Komunitas Lima Gunung (KLG) yang meliputi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Dia yang juga pengelola padepokan "Wargo Budoyo Gejayan", di lereng Merbabu itu adalah Ketua Panitia FLG ke-9 pada 2010 yang dipusatkan di kawasan Menoreh.
Ketika itu para pemimpin KLG menorehkan tanda tangan di tanah, di panggung terbuka tepi Kali Pabelan Mati, Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur. Tanda tangan antara lain oleh Sitras Anjilin dan Ismanto (pemimpin komunitas Merapi), Riyadi dan Handoko (Merbabu), Sumarno (Sumbing), Supadi (Andong), dan Sutanto (Menoreh) itu memantapkan komitmen menggelar festival tahunan tanpa bicara duit dan sponsor.
Tak ada yang merespons secara berlebihan ketika Riyadi mengingatkan komitmen festival mandiri mereka itu, ketika pertemuan panitia di Sanggar Wonolelo Bandongan, Kabupaten Magelang, pimpinan Ki Ipang beberapa waktu lalu. Mereka seolah sudah memahami secara mendalam dan bukan menjadikan persoalan yang harus dirembuk, terkait komitmen festival mandiri tanpa berembuk duit. Padahal, andaikan dikalkulasi berdasarkan nominal uang, total biaya festival mereka bisa mencapai puluhan juta rupiah.
"Kesepakatan itu harus terus kita pegang dan jalankan. Itu salah satu ruh dari festival kita," kata Ketua Umum Panitia FLG ke-10, Ismanto. Mereka telah sepakat tidak akan mengedarkan proposal bantuan atau meminta sponsor kepada pihak manapun untuk festival tahunannya.
Sekitar tujuh kali para pemimpin KLG bertemu di tempat berpindah-pindah untuk membicarakan persiapan festival 2011 yang diperkirakan bakal menyedot lima ribu orang baik seniman petani komunitas itu, masyarakat penonton dan penikmat seni budaya, maupun kalangan seniman beberapa kota itu, mereka tidak berbicara masalah duit. Segala pembicaraan fokus kepada pergelaran yang bakal mereka suguhkan termasuk kesiapan teknis tuan rumah, warga petani Dusun Keron, dengan kekuatan seniman petani Sanggar Saujana pimpinan Sujono.
Pembicaraan hangat dengan bumbu kental sendau gurau menyangkut tema festival ke-10 harus mereka lakukan hingga dua kali pertemuan. Setelah Sitras Anjilin yang juga pemimpin Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" di lereng Merapi, pengusul pertama atas tema festival, pada pertemuan berikutnya semua pemimpin KLG sepakat mengusung "Tembang Kautaman" sebagai tajuk FLG 2011.
Pemimpin grup "Cahyo Budoyo Sumbing" Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Sumarno, menyebut festival tahunan oleh seniman petani komunitas itu sebagai ajang tertinggi silaturahim mereka. "Festival kita ini sesungguhnya untuk mengungkapkan kegembiraan kita sebagai anggota komunitas. Kesempatan penting kita silaturahmi antarkomunitas. Kita ingin bersenang-senang, kalau ternyata yang lain ikut senang, datang, dan yang menonton banyak, kami pasti tambah senang," kata lelaki tua itu dalam bahasa Jawa.
Saking penginnya petani Keron sebagai tuan rumah festival itu, Sujono pun meyakinkan kepada panitia dengan menyodorkan tanda-tangan seluruh warga setempat yang berjumlah hampir 80 kepala keluarga termasuk di antara mereka beberapa perangkat desa setempat. Bahkan, kata Sujono yang juga pemimpin "Sanggar Saujana Keron" dengan karya utama tarian kontemporer desa "Topeng Suajana" itu, beberapa komunitas kesenian tradisional sekitar dusun setempat berkeinginan kuat turut memeriahkan festival tersebut.
"Ada sekitar lima grup kesenian di sekitar desa kami yang tidak ingin melewatkan kesempatan setiap tahun sekali yang dibuat selama ini oleh teman-teman Lima Gunung (KLG,red.). Kami minta tambahan sehari sebelumnya (9/7) untuk mereka pentas," katanya.
Sejumlah warga setempat, sempat beberapa kali getol bertanya kepada dirinya tentang iuran uang yang harus disetorkan untuk mendukung suksesnya Keron sebagai tuan rumah festival. "Saya tidak menjawab pertanyaan seperti itu, tetapi akhirnya mereka tahu sendiri harus berbuat dan urunan apa. Misalnya warga urunan bambu dan keperluan lainnya untuk membuat properti di desa, kami juga sudah mengatur rencana gorong royong menghias desa, tanpa umbul-umbul perusahaan sponsor," katanya.
Belasan pemuda setempat secara spontan merencanakan performa ritual di tepi dusun itu bertepatan dengan matahari terbit, Jumat (1/7). Mereka akan mengusung tumpeng dari dusun menuju lokasi khusus dengan latar belakang Gunung Merapi dan Merbabu, untuk berdoa sebagai pembuka seluruh warga bergotong royong menyiapkan tempat festival.
"Kalau dipikir-pikir, festival ke-10 yang rencananya sehari (10/7), akan menjadi 10 hari. Kami ingin setiap apa yang kami rencanakan dan lakukan, menjadi bagian dari festival itu sendiri. Ini kelihatannya menarik," katanya.
Pihak panitia telah menyusun agenda festival khususnya pementasan yang bakal diawali dengan kirab budaya seluruh seniman petani KLG melewati jalan desa di Keron dilanjutkan pemukulan gong di arena utama oleh para pemimpin komunitas itu, pembacaan puisi, dan orasi budaya. Empat arena rencananya disiapkan di dusun itu untuk festival tersebut. Setiap anggota KLG, sebelum mementaskan karya seni tradisional, kontemporer, performa, dan kolaborasi, bakal menyuguhkan karya tembang berbahasa Jawa masing-masing, yang berintikan seruan dan nasihat tentang nilai-nilai keutamaan hidup baik sebagai individu dan bersama, pentingnya melestarikan alam, menjaga keutuhan bangsa dan negara, serta keutamaan budaya bangsa.
Berbagai pementasan itu antara lain performa "Terlahir", tembang "Madyo Pitutur", dan tarian "Gojek Bocah" (Sanggar Wonoseni Bandongan), tarian "Lengger Argo Kencono" (Cahyo Budoyo Sumbing), "Grasak" (Lumaras Budoyo Petung). Selain itu, tarian kontemporer "Jazz Gladiator Gunung" dan performa musik "Truntung Jemari Bhumi" (Padepokan Wargo Budoyo Gejayan), drama tari "Andong Jinawi" (Bekso Turonggo Mudo Mantran), tarian tradisional "Kuda Lumping" (Dayugo Merbabu), "Piano Pinggir Kali" (Studio Mendut), "Topeng Ireng" (Sanggar Warangan Merbabu), "Wayang Orang" (Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor), tarian kontemporer desa "Kukilo Gunung" (Sanggar Saujana Keron).
Kalangan wartawan juga menyiapkan pameran foto "Magelang Dalam Bingkai" dan peluncuran buku karya wartawan setempat Solahuddin Al Ahmed berjudul "Jalan Sufi Seniman Merapi", sedangkan Ismanto menggelar pameran tunggal lukisan bertajuk "Ritual". Beberapa kalangan seniman seperti berasal dari Yogyakarta dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta juga telah meminta kesempatan kepada panitia untuk bisa tampil pada festival mendatang.
Pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf), menyatakan pentingnya festival itu sehingga telah menjadwalkan untuk kehadirannya di tengah-tengah seniman petani KLG. "Wajib bagi saya untuk datang, kumpul dengan 'kanca-kanca' (teman-teman, red.) Lima Gunung. Insya Allah saya datang," katanya.
Ia mengemukakan, seniman petani KLG menjadi bagian penting proses kebudayaan di Tanah Air justru karena mereka terus menerus menggali kearifan lokal. Mereka, katanya, secara tekun menelusuri berbagai nilai keutamaan atas kehidupan desa dan gunung yang diungkapkan melalui berbagai karya seni dan penguatan tradisi berkomunitas.
Budayawan Magelang yang juga pemimpin tertinggi KLG, Sutanto Mendut, menyebut manajemen desa sebagai modal mereka secara mandiri membiayai festival. Mereka, katanya, senang berkesenian dan gembira menggeluti kebudayaan gunungnya.
"Mereka juga terus menerus menjalani tradisi bertani. Mereka hidup dari panenan kobis, tembakau, dan lombok. Mereka akrab dengan jejaring sosial 'facebook' dan telepon seluler, tetapi juga melaksanakan warisan lelulur berupa ritual untuk menjaga alam berdasarkan kalender desa masing-masing. Mereka memperkuat jalan hidupnya melalui kebudayaan dan keseniannya," katanya.
Kehidupan mereka sehari-hari, katanya, bukan berarti tidak butuh duit. Mereka adalah individu dan masyarakat desa yang tinggal di kawasan gunung-gunung secara lumrah. "Hanya saja, untuk festivalnya mereka memupuk kebanggaan hati sebagai sosok dan komunitas mandiri," katanya
Maka, tanpa merundingkan masalah uang mereka bergereget atas festivalnya (Hari Atmoko/ANTARA Jateng News).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar