Halaman
▼
April 05, 2011
Tentang DEWAN KESENIAN KOTA MAGELANG (DKKM).
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 5 April 2011. Beberapa waktu yang lalu, telah dilantik pengurus Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM) periode 2011-2014, yang diketuai Condro Bawono alias mBilung Sarawita. Sebelumnya, saat menjelang pemilihan ketua DKKM, saya dihubungi wartawan Magelang Ekspres (ME) yang mencalonkan saya jadi pengurus atau ketua lembaga kebudayaan tingkat Magelang itu. Kendati dianggap memiliki kapabilitas, karena berpengalaman cukup lama sebagai aktivis di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), namun saya menolak untuk terlibat dalam lembaga birokrasi senibudaya semacam itu.
Penolakan semacam ini bukan pertama kalinya. Setidaknya saya dua kali menolak tawaran untuk jadi pengurus DKJ, ketika masih aktif berkiprah di IKJ dan TIM Jakarta. Saya pribadi merasa cukup nyaman bekerja dan berkarya di luar struktur. Namun tetap membuka diri untuk kemungkinan bekerjasama dengan siapa pun, termasuk dengan DKJ atau DKKM.
Saya juga dimintai pendapat tentang kapasitas seorang Ketua Umum (Ketum) DKKM yang kemudian dimuat di koran local Magelang itu. Tentu saya menyebut berbagai hal ideal sebagai syarat menjadi Ketum DKKM. Ia haruslah seorang seniman, penggiat dan pemerhati seni, atau akademisi yang memiliki wawasan kesenian/budaya memadai. Ketum DKKM harus memiliki integritas yang tinggi, karena bermodal integritas itulah lembaga semacam DKKM tak mudah terkooptasi oleh kepentingan lain di luar senibudaya.
Wawasan tentang sejarah budaya Magelang juga harus dimiliki Ketum DKKM, selain wawasan senibudaya secara umum. Dengan demikian ia mampu memetakan segenap potensi senibudaya yang dimiliki Magelang, serta membuat skala prioritas untuk mengembangkan sesuai visinya ke depan. Seorang Ketum DKKM juga harus memiliki jaringan yang memadai, tentunya jaringan yang berkaitan dan bermanfaat bagi organisasi kesenian itu.
Etos profesionalitas juga harus dimiliki Ketum DKKM. Sebab selama ini kerja pengabdian pada lembaga semacam ini sekedar dianggap kerja social tanpa imbalan yang jelas dan memadai alias non-profesional.. Sehingga suatu ketika apabila sang ketum dianggap gagal, maka dengan enteng akan beralasan “Lha saya kan sekedar mbantu …dst”.
Yang tak kalah pentingnya, Ketum DKKM harus memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Hal ini mengingat minimnya dukungan pemda/pemkot di seluruh Indonesia terhadap pengembangan senibudayanya, terkecuali pemprov DKI Jakarta. Ketum DKKM harus mampu ‘menjual’, agar program-program yang disusunnya ‘laku’ dan mendapat dukungan pemkot dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk sponsor.
Tentu saya memiliki referensi menyebut beberapa karakter kepemimpinan semacam itu. Referensi itu saya lihat pada sosok Ayip Rosidi, Trisno Soemardjo, Ramadhan KH, Umar Khayam, ‘Iravati M Sudiarso, hingga Farida Oetoyo. Sosok-sosok itulah yang memimpin DKJ pada masa jayanya, dari mulai berdirinya akhir 60-an hingga sekitar pertengahan 80-an.
Peran Ayip Rosidi dan budayawan Sunda lainnya juga tergolong unik. Selain mumpuni sebagai sastrawan, Ayip dkk juga menjalankan misi khusus yang disebut ‘lobi Sunda’, yakni ‘menaklukan’ Ali Sadikin, sesama ‘urang sunda’ yang saat itu menjadi gubernur DKI Jakarta. Seperti diketahui, Ali Sadikin – Jenderal Marinir, dikenal keras dan tegas dalam memimpin DKI. Ayip juga dikenal sebagai manajer yang piawai. Terbukti lewat eksistensi penerbit ‘Pustaka Jaya’ yang mengalami kejayaan saat dipimpinnya.
LOKAL
Memang tidak fair membandingkan DKKM dengan DKJ. Kendati otoritas DKJ juga terbatas di wilayah DKI Jakarta, tapi wibawanya menasional. Bahkan pada masa jayanya, DKJ dan TIM merupakan barometer senibudaya nasional. Untuk ukuran Magelang, mungkin tak harus seniman nasional/internasional sekaliber Ayip Rosidi dkk. Cukup seniman atau penggiat seni yang mampu menembus batas lokalitas Magelang.
Yang saya amati di kota magelang hanya dari kalangan senirupa yang memenuhi kriteria ini. Nama-nama seperti Oei Hong Djien (OHD, kolektor seni), Deddy Irianto (Langgeng Gallery), Ridwan Mulyosudarmo (Syang-art Space), dan Deddy PAW (perupa), menurut saya cukup memenuhi kriteria itu. Kiprah mereka tidak terbatas local/regional/nasional, bahkan internasional. Saya tak tahu persis apakah nama-nama itu sudah diapproach untuk dicalonkan jadi ketum DKKM.
Okelah persoalan proses pemilihan sudah lewat. Kita harus menerima ’realitas politik’, dengan terpilihnya Condro Bawono alias Mbilung Sarawita. Condro Bawono adalah seorang fotografer, yang dengan ‘rendah hati’ mengaku dirinya sekedar ‘tukang potret’. Karirnya sebagai fotografer relative baru, masih berada di wilayah ‘fotografer kawinan’ atau istilah kerennya ‘wedding photography’.
Tanpa bermaksud mengecilkan eksistensi Condro, sebagai fotografer bobot keseniannya belum teruji dan terpuji. Ia belum pernah berpameran atau memperoleh penghargaan sebagai ukuran prestasinya. Kecuali memamerkan karya-karyanya di dinding facebooknya. Dan kemudian menuai puja-puji basa-basi dari sesama fotografer Magelang, layaknya pertemanan ala facebook.
Tapi memang seperti itulah perkembangan terakhir ‘dunia fotografi’ Magelang. Para fotografer cukup puas meng-upload karyanya di dinding facebook. Sepanjang pengamatan yang saya lakukan, dalam 5-6 tahun terakhir, belum pernah terdengar ada pameran foto di Magelang atau di luar Magelang yang memamerkan foto-foto karya fotografer Magelang secara representatif.
Saya sempat menonton pameran foto dalam rangka ‘Festival 5 Gunung’, pameran ‘HUT Kota Magelang’ di alun-alun, dan pameran foto ‘Sedulur Merapi’ dalam rangka ulang tahun Romo Kirjito, pastur yang kebetulan berhobi fotografi. Tentu ketiga pameran itu tak bisa dijadikan tolok ukur prestasi. Karena memang tak ada proses kurasi, penilaian juri yang kredibel, atau pun kritik yang memadai, menyertai pameran-pameran itu. Padahal ketika era salon foto, Magelang pernah menorehkan karya-karya penting sebagai pemenang kontes foto bergengsi di tingkat nasional itu.
Sejauh yang saya dengar, Condro dipilih karena beberapa kelebihan yang dimilikinya. Ia dianggap ‘tak punya musuh’, dekat dengan elite birokrasi kota magelang, dan wawasannya cukup memadai.
Soal wawasan, mungkin penilaian itu relatif tepat. Dalam pengalaman saya berwacana di facebook, hanya Condro yang relative mampu menanggapi persoalan-persoalan politik/ekonomi/kemasyarakatan yang seringkali saya angkat di facebook. Tentang label ‘tak punya musuh’, ini tentu berkaitan dengan iklim berkesenian ‘terkotak-kotak’ yang cenderung kurang sehat yang tumbuh di Magelang. “Iklim berkesenian di Magelang itu aneh mas. Kalau salah satu pentas, maka kelompok lain nggak mau nonton. Nggak tahu itu karena apa ? Apakah konflik atau terkotak-kotak ? ‘ kata drs. Budiono, mantan ketum DKKM.
Atau seperti yang diungkap Haris Kertorahardjo, seorang penggiat seni, “Dunia senibudaya di Magelang itu dipenuhi raja-raja kecil. Ego masing-masing seniman terlalu tinggi “.
Mungkin benar kalau Condro dianggap ‘tak punya musuh’, karena kiprah keseniannya relative baru. Namun dalam posisinya sebagai ketum DKKM yang berfungsi melahirkan atau menjalankan kebijakan publik di bidang senibudaya kota Magelang, maka label ‘tak punya musuh itu’ akan teruji. Karena memuaskan atau menyenangkan semua pihak adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan. ‘Dunia tak bebas nilai’ demikian ujaran sebuah filsafat klasik.
Dalam hal wayang gethuk yang akan dipatenkan, misalnya, bisa jadi ujian untuk menilai kepemimpinan Condro. Apakah ia akan bersikap netral tapi mengambangkan persoalan, untuk menjaga label ‘tak punya musuh’, sehingga potensial menjadi bom waktu di kemudian hari ? Atau akan bertindak ‘tak mau melukai teman’, tapi menafikan dan melukai teman lainnya, seperti yang dilakukan seniman Magelang selama ini ? Atau akan bersikap ‘katakanlah yang benar itu benar, yang salah itu salah, walau pun pahit’, demi kebenaran itu sendiri ?
Sebagai pribadi yang seringkali mempromosikan senibudaya dan pariwisata Magelang, kasus wayang gethuk itu tentulah membuat saya malu. Ternyata identitas budaya kota Magelang itu dibangun atas dasar kebohongan.
Tentang kedekatan Condro dengan elite politik Magelang, apabila dimanfaatkan secara produktif tentu akan menguntungkan pengembangan senibudaya Magelang. Setidaknya masalah komunikasi antara seniman dan birokrat dapat terjembatani dengan lebih baik. Demikian pula masalah dukungan prasarana hingga dana dari pemkot Magelang untuk menunjang kegiatan dan program senibudaya kemungkinan akan lebih mudah didapat.
Namun kedekatan itu, dalam konteks patron-client, bisa berarti sebaliknya. DKKM bisa terjerat menjadi sekedar client bagi kepentingan patron-nya. DKKM akan kehilangan independensinya. Karena kendati DKKM dibentuk dan berada di bawah otoritas pemkot lewat Disporabudpar, DKKM tidak boleh terkooptasi sekedar menjadi kepanjangan tangan atau pelaksana proyek-proyek pemkot Magelang.
Dalam pengalaman DKJ, hubungan yang tidak sehat itu bisa dihindari oleh kewibawaan dan karisma seniman yang menjadi pengurusnya, yang memiliki reputasi dan integritas yang tak bisa ditundukkan oleh kekuasaan. Sesudah era Ali Sadikin, banyak cara dilakukan oleh Pemprov DKI untuk ‘menundukkan’ DKJ, namun hingga kini cara-cara itu bisa dikatakan tidak berhasil.
Dalam waktu dekat, Kota Magelang akan merayakan HUT-nya. Hajat senibudaya tahunan ini bisa jadi barometer independensi Condro dan pengurus DKKM lainnya. Apakah akan terus melanjutkan gelaran senibudaya yang berbau feodal-borjuis-birokratis seperti yang selama ini berlangsung ? Atau akan melakukan ‘pembaruan’, dengan menyajikan tontonan yang populis-egaliter-kerakyatan seperti yang selama ini menjadi ‘semangat’ tulisan-tulisan Condro ?
Memang Condro tidak sendirian. Membebankan semua masalah ke pundak Condro tentu tidak fair. DKKM adalah organisasi dengan sekian jumlah pengurus. Masing-masing diharapkan saling melengkapi. Demikian pula kalau kita melihat DKJ sebagai contoh.
Di antara pengurus DKJ yang kondang sebagai seniman hebat, tersebutlah Wahyu Sihombing. Sebagai dramawan prestasinya tidak terlalu menonjol. Tapi sebagai organisator (+dosen) prestasinya diakui segala kalangan. Salah satu tonggak prestasinya adalah ‘Festival Teater Remaja’, yang dibidani dan bertahun-tahun dikelola oleh Wahyu Sihombing.
Gelaran tahunan yang kini bernama ‘Festival Teater Jakarta’ itu diakui sebagai ajang pembinaan prestasi yang paling berhasil di bidang senibudaya. Dari ajang inilah lahir seniman teater/film berkualitas, seperti Deddy Mizwar, Norca dan Adhie Massardi, Nasri Cheppy, Budi Otong, Dindon WS, Renny Jayusman, Zaenal Abidin Domba, dll. Mungkin, Condro bisa mengambil peran seperti halnya Wahyu Sihombing. Tentu dalam format dan kegiatan yang tak harus sama.
TEMPURUNG.
Ketika bertemu dengan penulis sesudah terpilih, Condro mengemukakan beberapa gagasannya. Ia ingin mengubah format, prosedur, dan pengelolaan organisasi DKKM. Dari yang semula hirarkis-struktural menjadi collective-collegial. Menurut Condro semua pengurus adalah ketua yang memiliki kewenangan yang sama.
Condro ingin DKKM memfasilitasi semua seniman dan komunitas senibudaya di Magelang untuk tampil unjuk kebolehan. Fotografer yang sering tampil dengan blangkon sebagai atributnya, itu juga ingin organisasi yang dipimpinnya itu menjadi tak popular, karena popularitas adalah hak seniman dan komunitasnya.
Gagasan itu mungkin menarik, karena beraroma demokrasi. Namun tidak semua hal bisa dijalankan sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Karena semua pengurus DKKM diberi kewenangan yang sama, maka setiap keputusan harus melalui persetujuan bersama, sesuai prinsip collective-collegial. Namun ketika harus memutuskan sesuatu yang mendesak apa harus nunggu rapat pengurus ? Jangan sampai ‘jalan demokrasi’ itu justru melanggar prinsip efisiensi.
Keinginan untuk menampilkan semua seniman dan komunitas seni secara adil dan merata, juga bisa berarti kontra-produktif. Karena tidak semua seniman dan komunitas layak tampil. Jangan sampai dana atau bantuan fasilitas yang diberikan pemkot (kalau ada) ‘dihambur-hamburkan’ untuk memuaskan ‘semangat demokrasi’ itu.
Fungsi dewan kesenian yang cukup penting adalah kuratorial. Pengertian ‘membina’ juga berarti memilih dan menyeleksi seniman dan komunitas seni yang layak ‘dibina’ dan ditampilkan, lewat mekanisme pendidikan, pameran, pementasan, festival, dll. DKKM-lah yang memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang pantas dididik, layak pentas/pamer, dan penjenjangan festival.
Sebab cukup banyak orang di Magelang yang mengaku seniman, padahal kesenian yang dihasilkannya tak jelas atau tak pantas disebut kesenian. Hanya bermodal kumis baplang, cambuk, kostum warok, dan kemenyan, lalu ritual. Dan bla bla….jadilah kesenian. Kesenian masih jadi barang mainan, sekedar bagian dari proses mencari jati diri ,atau daripada dianggap pengangguran. Bagi anak muda hal itu bisa dimaklumi. Tapi kalau dilakukan oleh orang berusia 40-50 tahun, tentu ada yang keliru dengan pribadi semacam itu.
Tidak banyak yang menyadari kalau ‘jalan kesenian’ adalah proses panjang dalam waktu bertahun-tahun. Lewat kerjakeras, memeras keringat (dan darah)., untuk mengolah tubuh, olah pikir, dan olah rasa, dalam membentuk plastisitas serta menemukan ‘bahasa ungkap’ yang khas milik seniman itu.
Problem lain yang tak kurang seriusnya menyangkut iklim kesenian di Magelang adalah situasi psikologis ‘katak dalam tempurung’. Banyak seniman di Magelang yang merasa puas menampilkan karya seadanya di depan publik sendiri. Itupun jenis-jenis kesenian yang saya golongkan SDR alias ‘seni dalam rangka’: dalam rangka HUT Kota Magelang, dalam rangka 17 Agustusan, dalam rangka Suran, dalam rangka Pensi (pentas seni SMU atau kampus), dll. Tak pernah lahir seni sebagai ekspresi personal di kota yang adem ayem itu.
Dalam pergaulan kesenian yang berlangsung di berbagai kota hampir tak pernah ditemui seniman Magelang unjuk kebolehan. Tak mesti menjadi penampil, sekedar menonton untuk memperluas wawasan pun jarang dilakukan seniman Magelang.
Seniman Magelang relative terasing dari dinamika kebudayaan di tanah air. Pergesekan yang terjadi hanya mengandalkan pertunjukan seniman luar yang mampir di Magelang. Itu pun hanya satu-dua dalam setahun. Dunia maya yang kini mudah diakses siapa pun, juga tak dilirik. Lalu lintas ‘seni On-Line’ yang gegap gempita jarang menghadirkan karya seniman Magelang. Sebagian besar seniman Magelang ternyata ‘buta IT’.
Kita tak usah bicara program yang muluk-muluk. Cukup bagaimana mendobrak kondisi psikologis yang mirip ‘katak di bawah tempurung’ itu. Di tahun-tahun pertama kepengurusannya juga tidak bisa diharapkan terlalu banyak yang bisa dilakukan Condro dan DKKM. Karena memang tidak ada dana dari pemkot untuk mendukung kegiatannya. Selain masa penyusunan dan pembiayaan program lewat APBD sudah lewat waktunya, juga konsentrasi pemkot Magelang lebih dibutuhkan menyelesaikan percepatan pembangunan pasar Rejowinangun.
Selain melaksanakan agenda tahunan HUT Kota Magelang, maka di tahun pertama ini saya berharap DKKM mampu menyusun dan menginventarisasi potensi seni-budaya yang tumbuhkembang di kota Magelang. Tahun-tahun selanjutnya, ketika program bisa direncanakan dengan baik dan peluang mendapatkan dana pembinaan dari pemkot bisa diwujudkan, kita baru bisa menilai seberapa berhasil kepengurusan DKKM di bawah Condro ini. (bolinks@2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar