GETHUK SPIRITUAL. (Visi Pembangunan Kota Magelang).
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 2 April 2011. Bukan kebetulan kalau sarasehan ini diadakan di bulan April, bulan yang diistimewakan warga kota Magelang . Di bulan ini setiap tahun warga kota Magelang merayakan HUT-nya. Tahun ini memasuki usia ke 1105 tahun.
Kendati tergolong berusia tua, namun situasi ‘kegamangan budaya’ membebani kota yang dianggap ‘pusatnya Pulau Jawa’ ini. Berbagai kegiatan budaya yang diadakan dalam rangka HUT itu terasa diadakan sekedar seremoni belaka, tanpa didasari pemahaman budaya dan kejelasan visi tentang posisi dan arah pembangunan kota Magelang.
Maka, sejauh yang saya amati, acara yang berpuncak dalam bentuk arak-arakan atau gerebeg gethuk, itu kurang berhasil sebagai agenda pariwisata seperti yang ditargetkan. Dalam kalender pariwisata nasional atau paket-paket biro wisata, HUT Kota Magelang itu tak pernah tercantum. Seperti halnya ‘Jember Fashion Carnival’ dalam rangka HUT Kota Jember, atau ‘Solo Batik Carnival’ dalam rangka HUT Kota Solo.
Demikian pula, tak terjadi peningkatan aktivitas ekonomi pariwisata yang terjadi di Magelang. Paling banter, sebagian masyarakat dapat hiburan gratis nonton arak-arakan dan pentas teater bearoma feodal-borjuis serta rebutan gethuk di puncak acara. Atau sekedar ditulis seadanya di media-media local beberapa hari kemudian.
Yang cukup berhasil adalah pemanfaatan gethuk sebagai identitas grebeg, atau dikembangkan sebagai varian wayang (gethuk). Namun sayang pemanfaatan penganan khas Magelangan itu semata dimaknai secara fisik. Tak pernah ada upaya yang serius untuk memaknai produk ‘local genius’ itu, lebih jauh lagi, secara spiritual.
NILAI TAMBAH.
Pada akhirnya progress dari proses kebudayaan (dan peradaban) adalah persoalan nilai tambah. Sesuatu yang tak ada menjadi ada. Sesuatu yang lemah diperkuat atau diberdayakan. Sesuatu yang lama diperbarui atau diaktualisasi.
Saat berdiri di depan candi Borobudur, seringkali saya merasa merinding. Saya berkeyakinan peradaban dan kebudayaan (bangsa) kita bisa dikatakan berhenti di candi kebanggaan masyarakat Magelang Raya ini. Sesudah Borobudur rasanya tak ada lagi produk kebudayaan bangsa Indonesia yang layak dibanggakan.
Namun dalam skala kecil masyarakat Magelang menemukan gethuk, penganan yang dibuat dari singkong dan kemudian popular sebagai oleh-oleh khas Magelang. Kendati seringkali dianggap sepele, menurut saya keberadaan gethuk itu tergolong penemuan jenial di bidang (budaya) kuliner. Merubah singkong yang nilai atau harganya tak seberapa (Rp 1000,- - Rp 2000,-per kg), menjadi penganan berkelas yang harganya lumayan mahal (Rp 14.000,-/dus, kurang dari 1 kg).
Terjadi transformasi kelas, dari penganan rakyat jelata, menjadi penganan bergengsi yang jadi buah tangan kalangan menengah atas apabila berkunjung ke kota Magelang.. Ada nilai tambah yang luar biasa dari perubahan singkong menjadi gethuk itu.
Demikian pula dengan berdirinya New Armada. Sebelumnya Magelang hanya dikenal sebagai wilayah berbudaya agraris. Namun setelah industry karoseri mobil ini berdiri, Magelang mulai dikenal dan mengenal budaya industry.
Yang mengherankan, kedua produk kebudayaan yang untuk ukuran Magelang cukup spektakular itu, ternyata kurang berhasil menjadi lokomotif pergerakan bagi kemajuan dan pembangunan masyarakat Magelang. Setelah gethuk relative tidak muncul ikon kuliner lain dari Magelang. Padahal wilayah Magelang Raya sebagai lembah yang terkenal kesuburannya, menghasilkan berbagai produk pertanian yang apabila diolahmestinya akan menghasilkan berbagai macam varian penganan. Dari salak pondoh yang melimpah ternyata tak pernah lahir keripik salak. Rambutan yang saat panen raya hanya dihargai Rp 500,-/kg, tak memancing lahirnya industry manisan (kaleng) rambutan. Demikian juga dengan papaya, pisang, dan aneka produk hortikultura lainnya, yang hanya dijual sebagai komoditas pertanian belaka. Tanpa diolah lebih lanjut sehingga menghasilkan nilai tambah seperti halnya gethuk.
Kalau di beberapa Negara seperti Jepang, Taiwan/China, Korea, industry otomotif sebesar New Armada biasanya akan diikuti lahirnya industry kecil atau skala rumahan yang menghasilkan berbagai komponen penunjang seperti industry sekrup/baut/mur, kampas, cetakan fiber, dan asesoris otomotif lainnya. Industri seperti itu tak ada yang lahir di sekitar New Armada. Kalau toh tumbuh usaha perbengkelan, tak lebih hanya bengkel las ketok cat, seperti yang berderet di sekitar jalan Panca Arga.
Kalau kita menengok tumbuhnya industry berbasis rekayasa teknik di Indonesia juga tak lepas dari adanya industry besar seperti pabrik gula dan pabrik perkakas militer. Cikal bakal industry karoseri di Malang tumbuh di sekitar pabrik gula Gondanglegi. Tumbuhnya industry logam di Klaten juga tak lepas dari keberadaan pabrik gula di sekitarnya. Atau industry peralatan militer/dirgantara/kereta api di Bandung yang mampu melahirkan berbagai ketrampilan yang bersifat rekayasa teknik masyarakat sekitarnya.
Kegagalan industry gethuk dan New Armada menginspirasi masyarakat warga juga berimbas pada situasi ekonomi Magelang yang stagnan. 30 tahun terakhir tak ada ikon baru di bidang ekonomi yang lahir dari Magelang. Secara angka pun juga tak ada lonjakan berarti. Ekonomi tumbuh sekitar 5-6%. Tapi angka pertumbuhan yang dicapai tak berarti apa-apa karena laju inflasi juga berkisar di angka itu. Sekedar aman tapi stagnan.
Situasi stagnan, bahkan involutif, itu tak hanya terjadi di bidang ekonomi, industry, atau ketenaga-kerjaan. Di bidang-bidang lain juga relative tak terjadi kemajuan atau pencapaian yang cukup signifikan di Magelang.
Tahun 1948, di Magelang diadakan ‘Kongres Kebudayaan Indonesia’ yang ke 1. Saat itu hampir seluruh tokoh politik nasional atau founding-father hadir di Magelang. Sukarno, Hatta, Sudirman, Natsir, Muhamad Yamin, Ki Hajar Dewantara, dan puluhan tokoh lain hadir di kota sejuk ini. Kejadian ini setidaknya mengisyaratkan dua hal. Magelang diakui sebagai kota budaya dan (wisata) konvensi yang penting di awal kemerdekaan republic ini.
Setelah itu tak ada lagi peristiwa budaya berskala nasional yang terjadi di Magelang. Ada riak-riak kecil pada tahun 60-70an saat Lisda (Lingkar Seni Drama) dan radio RSPD berkiprah. Atau akhir-akhir ini dengan kemunculan beberapa seniman muda yang cukup produktif tapi terasa ‘salah arah’. Catatan penting justru ditorehkan oleh seniman-seniman di wilayah kabupaten Magelang, yang kehidupan kebudayaannya terasa gegap gempita lewat revitalisasi kesenian rakyat.
Di bidang pendidikan, praktis tak terjadi lompatan prestasi yang berarti. Memang ada Akademi Militer (Akmil) dan SMU Taruna Nusantara, tapi kedua institusi pendidikan ‘militer’ itu relative tak menghasilkan nilai tambah yang signifikan bagi prestasi pendidikan di kota Magelang. Demikian pula dengan kehadiran UMM dan UTM, yang hanya berkonsentrasi mengembangkan jurusan atau bidang yang terlalu umum, yang hanya menempatkan kedua universitas itu di level medioker.
Saya heran, keberadaan candi Borobudur yang tergolong monument dunia tak menggerakkan pemangku kepentingan pendidikan di Magelang membangun institusi pendidikan di bidang pariwisata. Dengan jumlah pengunjung lebih 3 juta setiap tahun, seharusnya Borobudur bisa menjadi semacam laboratorium hidup bagi pengembangan pendidikan pariwisata.
Yang menyedihkan adalah degradasi yang terjadi di bidang lingkungan dan tata ruang kota Magelang. Dulu ketika saya kecil-remaja, tahun 70-80an, di Magelang masih bertebaran ruang terbuka hijau (RTH) yang sekaligus berfungsi sebagai ruang public. Tapi kini RTH itu telah berubah bentuk dan fungsi.
Lapangan di sekitar kelahiran saya, Kampung Magersari, kini berubah menjadi lapangan golf yang tak sembarang orang bisa mengaksesnya. Lapangan gladiol kini berubah jadi perumahan mewah. Ruang public di bekas 2 (dua) terminal bus, kini ‘mlangkrak’ menjadi deretan ruko kusam yang tak menyiratkan denyut ekonomi. Sebentar lagi stadion Abu Bakrin dan bekas stasiun Kebonpolo juga akan menyusul menjadi sentra ekonomi baru (Semoga nasibnya tak seperti bekas standplat itu).
RTH dan ruang public juga tak bisa kita temui lagi di kampung-kampung seperti Magersari, Karang Gading, Kliwonan, Jaranan, Panjang, Kemirirejo, Wates, hingga Menowo. Jangankan main sepakbola, sekedar bermain pingpong saja rasanya susah di kantung-kantung urban itu.
Sekarang ini praktis tinggal Alun-alun, Taman Badakan, dan Gunung Tidar, RTH yang tersisa sebagai asset kota Magelang. Khusus untuk Gunung Tidar kita mesti berterimakasih kepada Akmil yang telah berhasil menyulap bukit gundul itu menjadi hutan kota yang rimbun kaya O2 (oksigen). Beruntung, beberapa institusi militer yang ada di Magelang masih mempertahankan dan merawat prasarananya berupa lapangan dan RTH yang bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar.
Degradasi lingkungan itu juga terasa dengan maraknya pedagang kaki lima (PKL) dan reklame luar ruang (outdoor ads) yang tak terkendali. Keberadaan PKL yang hampir memenuhi sudut kota itu juga secara langsung merupakan imbas dari terbengkelainya pasar Rejowinangun, sejak terbakar hampir 3 tahun lalu. Saya juga menyimpan keheranan, kota yang gagal membangun pasar dan dipenuhi PKL seperti Magelang bisa memperoleh ‘Penghargaan Adipura’. Bagaimana criteria penilaiannya ?
REPOSISI.
Mungkin paparan di atas menjadikan kita semua pesimis memandang masadepan kota Magelang. Seharusnya tidak begitu. Karena dengan segenap potensi yang dimiliki Magelang, seharusnya situasi stagnan itu bisa dipecahkan dan dikembangkan.
Potensi apa yang dimiliki Magelang ? Kalau dulu sebagai hinterland wilayah Magelang Raya terkenal kesuburannya, sehingga menjadi lumbung pangan bagi keraton Mataram. Maka kini kita bisa menempatkan pariwisata sebagai potensi yang pantas dikembangkan kota Magelang.
Untuk menggambarkan kekayaan potensi wisata wilayah Magelang, berikut saya kutipkan keterangan sebuah grup atau komunitas di facebook yang menempatkan Magelang sebagai focus kegiatannya. “MAGELANG, adalah suatu wilayah yang terdiri Kotamadya dan Kabupaten Magelang. Wilayah itu, sesungguhnya, memiliki potensi wisata yang luar biasa. Alamnya elok indah bestari. Sedikitnya ada 8 (delapan) gunung mengelilingi wilayah itu (Merapi, Merbabu, Andhong, Telomoyo, Sumbing, Sindoro, Menoreh, dan Tidar), serta 2 (dua) sungai legendaris membelah lembahnya (Elo dan Progo) yang tergolong subur nan permai. Berbagai komoditas pertanian tumbuh berkembang, antara lain: padi, buah-buahan, sayuran (hortikultura), tembakao, panili, kopi, teh, jamur, dll. Sehingga beragrowisata di daerah ini tentulah asyiiik...
Warisan budaya (heritage), baik fisik mau pun non-fisik, sangat kaya dan bermacamragam. Di Indonesia ini, mungkin hanya Magelang yang hampir di setiap kecamatan terdapat candi. Borobudur, Mendut, Pawon, tentu sudah Anda kenal. Tapi masih banyak lagi candi di wilayah itu: Ngawen, Sengi, Tikus, Umbul. Selogriyo, dll. Selain itu, bangunan bersejarah peninggalan kolonial juga tak terhitung jumlahnya.
Senibudaya, khususnya seni rakyat, tumbuh berkembang dengan baik di banyak desa hingga kini. Seorang pemerhati budaya berani mengklaim, mungkin di Asia Tenggara hanya Magelang yang paling banyak memiliki kesenian rakyat. Pendapat itu tak berlebihan, mengingat sekarang ini hampir tiap hari berlangsung acara senibudaya di daerah itu.
Bahkan, kini Magelang mengukuhkan dirinya sebagai kota yang paling menentukan dinamika senirupa di Indonesia. Di kota berhawa sejuk ini kini berdiri museum senirupa modern/kontemporer terbesar di dunia. Suatu perkembangan yang mungkin Anda sekalian tak mengetahui dan menyadarinya.
Hanya pantai dan laut yang tak dimiliki Magelang” (Grup “Sahabat Borobudur” on facebook).
Kalau kita percaya bahwa masadepan perekonomian dunia ditentukan sedikitnya oleh 3 (tiga) factor, yakni: Pariwisata, IT (teknologi informatika), dan industry kreatif. Maka selayaknya masyarakat warga Magelang bersyukur atas karunia Allah SWT, karena dari ke tiga factor itu satu diantaranya dimiliki Magelang, yaitu pariwisata.
Namun karena penanganannya kurang optimal atau kurang tepat, maka segenap karunia itu tak berarti membawa berkah kesejahteraan bagi masyarakat Magelang. Contohnya keberadaan candi Borobudur ternyata tak membuat warga sekitar Borobudur sejahtera. Kehadiran 3 juta turis setiap tahun yang mengunjungi candi terbesar di dunia itu ternyata relative tak berdampak positif bagi tingkat kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Data stastitik tingkat kesejahteraan menunjukkan posisi Kecamatan Borobudur yang berada di urutan ke 17 dari 22 kecamatan se Kabupaten Magelang.
Untuk lebih mengoptimalkan potensi pariwisata yang dimiliki Magelang, seyogyanya para pemangku kepentingan di Magelang Raya, menyatukan langkah, mereposisi dan mengarahkan rencana pengembangan dan pembangunan di wilayah ini. Beberapa langkah yang pantas dipikirkan antara lain:
- Ubah dan arahkan rencana dan kebijakan pembangunan ke arah pengembangan pariwisata.
- Bangun insfrastruktur yang menunjang pengembangan pariwisata, termasuk pendidikannya.
- Tarik investor dan mudahkanlah investasi di bidang pariwisata.
- Kembangkan segenap potensi ekonomi, termasuk ekonomi kreatif, untuk menunjang pengembangan industry pariwisata.
- Bangun dan perluas jaringan dengan pelaku industry pariwisata.
- Susun dan buatlah system dan strategi promosi pariwisata yang tepat guna. Untuk kepentingan ini saya mengusulkan didirikannya Sekretariat Bersama Badan Promosi Pariwisata Magelang Raya (Kota dan Kabupaten).
Berbicara tentang pengembangan pariwisata, sesungguhnya Kota Magelang telah mulai melakukan terobosan yaitu dengan dibangunnya wahana pariwisata ‘Taman Kyai Langgeng’. Kendati terbukti menghasilkan pemasukan ke kas pemkot dalam jumlah yang tak sedikit (kalau tidak salah hingga 1/3 PAD Kota Magelang), namun wahana yang dipenuhi permainan anak-anak konvensional itu setelah sekian tahun relative tak berkembang, tak ada penambahan wahana baru.
Salah satu yang saya rekomendasikan adalah pengembangan wisata seni di kota Magelang. Keberadaan museum senirupa kontemporer Indonesia yang terbesar di dunia, serta berbagai insfrastruktur seni lainnya, seperti galeri dan komunitas seni, bisa dijadikan titik awal bagi pengembangan pariwisata seni. Bukan sesuatu yangt mustahil, suatu ketika Magelang menjadi kota seni sekaligus kota tujuan wisata penting di Indonesia.
***
Suatu malam di sebuah desa di sekitar candi Borobudur. Saat itu kami menikmati sajian bakmi goreng/rebus di warung Pak Parno yang legendaries. Di sudut lain, sepasang turis bule nampak menikmati sajian warung yang menempati emper rumah sederhana itu. Saya dengar kedua turis itu adalah tamu ‘Amanjiwa’, hotel eksklusif di selatan Borobudur.
Saya kira tak ada yang istimewa melihat turis bule makan di suatu warung sekitar Borobudur. Yang istimewa ketika kita harus membayar. Kalau kami hanya membayar sebesar Rp 10,000,-/porsi, maka untuk sajian yang sama turis itu harus membayar Rp 250,000,-/porsi. Ada selisih harga berkali-kali lipat yang harus kami bayar. Itulah manfaat nilai tambah.
(Mualim M Sukethi, adalah pemerhati budaya Magelangan. Pemilik dan pengelola www.borobudurlinks.com, portal SeniBudaya dan Pariwisata Magelang. Selain itu ia juga seorang penulis kreatif serta produser film/TV. Tulisan ini disajikan sebagai makalah utama dalam sarasehan Pramusda DPC PAN Kota Magelang).
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/04/gethuk-spiritual-visi-pembangunan-kota.html?m=0
http://borobudurlinks.blogspot.com/2011/04/gethuk-spiritual-visi-pembangunan-kota.html?m=0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar