Suasana diskusi di Limanjawi ArtHouse, Borobudur.
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 6 Juli 2010. Beberapa waktu lalu terjadi dua peristiwa budaya penting menyangkut pariwisata dan Magelang.
Pertama, rombongan kesenian Gejayan, Kabupaten Magelang, berpentas di kota Surabaya. Grup kesenian pimpinan Lurah Riyadi itu berpentas pada hajatan deklarasi salah satu calon walikota dalam Pilkada Surabaya, di akhir Mei 2010 lalu. Seperti cerita seputar kiprah ‘Komunitas 5 Gunung’ (K5G) lainnya, maka pentas sedulur-sedulur Gejayan itu berlangsung sukses. Ukuran sukses adalah pentas berlangsung lancar, meriah, membahagiakan masyarakat penonton dan pengundang, serta diulas secara positif oleh media massa. Sedangkan para seniman pelakunya juga merasa senang bisa berekspresi dan berwisata, serta memperoleh imbalan materi yang cukup layak.
Kedua, diterimanya anugrah ‘Maarif Award 2010’ oleh Romo Kirjito, pastur yang berkiprah di wilayah Dukun, Kabupaten Magelang. Anugrah prestisius itu diterima Lik Kir, panggilan akrab Romo Kirjito, sebagai wujud penghargaan atas kiprahnya mendampingi masyarakat sekitar Merapi dalam upayanya menyelamatkan lingkungan dan kebudayaan lewat gerakan ‘Edukasi Gerakan Masyarakat Cinta Air’ (EGMCA).
Dari kedua peristiwa itu sesungguhnya dapat tergambar dengan jelas posisi senibudaya dalam kehidupan masyarakat Magelang, antara lain:
A). Senibudaya Magelang diakui secara nasional bahkan internasional. Cerita sukses K5G di Surabaya
itu bukan satu-satunya. Kebetulan saya menyaksikan sendiri pementasan seniman-seniman petani Magelang itu dalam beberapa kesempatan: di depan istana negara Jakarta dalam rangka Parade Budaya Nusantara, di lapangan proklamasi Jakarta dalam rangka Hari HAM seDunia, pembukaan Komunitas/Teater Salihara Jakarta, Festival 5 Gunung dari tahun ke tahun, Di Borobudur dalam rangka Waisyak, di Megamendung dan Bandung Jabar, di Aceh, dll.
Salah seorang eksponen K5G, Sitras Anjilin, diundang ke Inggris untuk mempertontonkan seni ritual yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan kehidupan kesenian dan kebudayaan masyarakat Merapi. Mereka juga diundang untuk menghadiri hajatan kesenian internasional di Korea Selatan. Namun karena kendalan dana dan teknis, keberangkatan ke Korea itu terpaksa ditunda.
B). Seniman-seniman Magelang memiliki ‘posisi tawar’ yang cukup kuat. Mereka bisa berekspresi bebas, tanpa harus memenuhi kaidah atau format kesenian sesuai pesanan seperti ‘seni wisata’ umumnya. Selain itu mereka juga diperlakukan dan dibayar secara layak, sesuatu yang masih menjadi dambaan para seniman ketika berhadapan dengan bisnis pariwisata.
Romo Kirjito saat menerima 'Maarif Award'.
C). Kesenian rakyat yang dikembangkan seniman/budayawan Magelang memiliki fungsi yang tidak semata-mata kesenian ‘ansich’. Tapi juga memiliki fungsi kebudayaan, yakni memberikan nilai tambah bagi kemanusiaan.
Kesenian bagi masyarakat gunung di Magelang sekarang ini telah tumbuh menjadi semacam daya hidup, spirit kemandirian, yang tak mudah goyah oleh hegemoni dan infiltrasi kekuatan dari luar yang bersifat ‘merusak’. Ada dua parameter yang kiranya perlu saya sampaikan untuk mengukur spirit kemandirian komunitas gunung di Magelang. Pertama, dinamika kesenian rakyat yang tumbuhkembang di Magelang relative tidak ada campur tangan birokrat atau pemerintah sama sekali. Festival Lima Gunung (F5G), yang diadakan setiap tahun, dan kini memasuki usia ke 10 th, selama ini bisa terlaksana tanpa bantuan dana dari pemerintah. Bahkan setahu saya, selama F5G berlangsung belum pernah ada pejabat pemerintah daerah yang menontonnya. Namun terbukti F5G
tetap eksis sebagai agenda budaya penting di Indonesia.
Masyarakat gunung di Magelang juga mampu bertahan dari infiltrasi gerakan atau kelompok ekstrim kanan yang selama 10 tahun terakhir ini tumbuh subur di berbagai daerah. Bahkan merasuk hingga Jogya dan Solo yang dianggap ‘pusat budaya Jawa’. Salah satu benteng pertahanan itu adalah kekuatan kebudayaan. Di Magelang, seringkali kita menyaksikan bagaimana tokoh agama seperti Gus Yusuf, Romo Kirjito, Romo Sindhunata, Bangte Panyavaro, dan Sutanto Mendut, berada dalam suatu gelanggang atau panggung membangun komunikasi kebudayaan lewat kesenian rakyat.
Sementara lewat senibudaya Romo Kirjito mampu menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, serta melakukan ‘perlawanan budaya’ terhadap kekuatan modal yang cenderung eksploitatif dan hegemonic. Kalau Romo Kirjito kemudian memperoleh ‘Maarif Award’ dari Maarif Foundation, maka Sutanto memperoleh ‘SET Award’ dari Yayasan SET. Keduanya memperoleh penghargaan bergengsi itu untuk kategori penggerak perubahan masyarakat berbasis kebudayaan.
D). Senibudaya memiliki arti penting bagi pengembangan kepariwisataan Magelang. Kiprah K5G dengan Sutanto sebagai ‘presiden’, Romo Kirjito yang menggunakan senibudaya sebagai pendekatan bagi pemberdayaan masyarakat, serta seniman Magelang lainnya, tentu memiliki kontribusi yang signifikan bagi pengembangan kepariwisataan Magelang.
Dalam hal K5G, kini, nama mereka menjadi jaminan bagi para penyelenggara pariwisata di Magelang mau pun luar Magelang. Sementara, kiprah Romo Kir mampu mendatangkan puluhan ribu ‘orang-orang kota’ melakukan kunjungan wisata di desa-desa binaannya.
Tentang kiprah Romo Kirjito, mungkin perlu kita ketahui bersama latar belakangnya. Selain tugas kerasulannya, Romo Kirjito datang ke wilayah Merapi, akhir tahun 90-an, membawa isu lingkungan hidup lewat pertanian organik. Namun kenyataan di lapangan ternyata berbeda. Lingkungan Merapi saat itu, bahkan hingga kini, mengalami degradasi yang luar biasa. Hal itu disebabkan usaha penambangan pasir skala besar yang dilakukan kaum pemodal.
Lik Kir mengubah haluan. Ia melihat situasi kritis itu lebih memerlukan prioritas penanganan. Ia juga melihat kekuatan kebudayaan yang dimiliki masyarakat sekitar Merapi. Sejak itu Mbah Kir, panggilan lainnya, menggunakan kesenian sebagai alat perjuangan. Ia juga fokus pada persoalan kelangsungan budaya air sebagai medan perjuangan.
Sutanto Mendut.
Ternyata kiprah dan gerakan yang dimotori Romo Kir tidak hanya menyadarkan masyarakat sekitar Merapi untuk kembali memuliakan budaya air sebagai bagian kearifan tradisi dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan. Tapi juga mampu mendatangkan nilai tambah yang secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Lewat jaringannya, Romo Kir memperkenalkan gerakan itu, dan mengundang masyarakat kota untuk bersama-sama saling belajar tentang budaya air. Gerakan ini mendapat sambutan luar biasa. Selama lima tahun terakhir ini setidaknya 10.000 lebih masyarakat kota di Indonesia dan luar negeri mendatangi dan ‘live-in’ di rumah-rumah penduduk sekitar Merapi. Masyarakat desa pun mendapat penghasilan tambahan selain bertani. Ekonomi mereka meningkat signifikan.
Yang juga penting dari kiprah Romo Kirjito ini adalah bahwa pariwisata budaya tidak harus dipahami terbatas pada pertunjukan senibudaya saja. Tapi merujuk pada pengertian kebudayaan secara lebih luas. Ide, kreativitas, perilaku sehari-hari, adat istiadat, persoalan dan bagaimana masyarakat memecahkan persoalan itu, adalah berpotensi sebagai asset pariwisata.
E). Keberhasilan dua komunitas itu bisa disebut keberhasilan ‘pariwisata aktif’ dan ‘pariwisata pasif’. Mereka mampu menangguk ‘devisa’ di wilayahnya, seperti yang diperoleh masyarakat Merapi bersama Romo Kirjito.
Sedangkan kiprah Sutanto dan K5G-nya membuktikan bahwa senibudaya Magelang juga dihargai secara layak di luar wilayahnya. Tanpa mereka semua, Magelang hanya dikenal karena Borobudur. Itu pun seringkali disalahpahami sebagai bagian dari Jogyakarta.
F). Kiprah dan keberhasilan kedua tokoh itu serta komunitas budaya yang mereka bina, menurut saya merupakan wujud nyata keberhasilan konsep ‘Pariwisata Berbasis Masyarakat’ atau ‘Tourism Based Community’. Keberhasilan mereka adalah buah kerja keras yang mereka lakukan puluhan tahun.
Mereka berjuang secara mandiri. Tanpa binaan atau bantuan dari pemerintah dan lembaga-lembaga pariwisata lainnya. Mereka mengolah dan mengelola sendiri potensi unggulan yang mereka miliki, serta bagaimana cara ‘menjualnya’. Membangun jaringan dan cara berpromosi sendiri yang khas dan unik. Kalau anak muda gaul masa kini mungkin menyebutnya dengan ‘indie tourism’.
Tentang ‘pariwisata berbasis komunitas’ yang cukup berhasil juga ditunjukkan oleh Desa Candirejo, Borobudur, Kabupaten Magelang. Dengan kondisi yang “apa adanya”, artinya hampir tidak ada yang istimewa dibandingkan desa-desa lainnya di wilayah Magelang, Candirejo sebagai desa wisata, ternyata mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula hidup pas-pasan sebagai petani, kini mayoritas penduduk mempunyai penghasilan tambahan sebagai pemilik homestay, local guide, kusir Andhong, dan pengrajin.
Dulu kusir andong itu hanya dapat penghasilan 15-20 ribu rupiah sehari. Kini selain penghasilan mereka meningkat, mereka juga bisa memperoleh SHU dari koperasi. Tahun 2008 lalu, 16 pemilik andhong di desa itu berhasil mengumpulkan SHU sebesar 30 juta rupiah.
Pertumbuhan koperasi desa juga bisa menggambarkan peningkatan kesejahteraan warga. Tahun 2003 koperasi memiliki kas sebesar 18 juta rupiah. Tahun 2004 meningkat menjadi 29 juta. Tahun 2005 jadi 42 juta. Tahun 2006 jadi 80 juta. Tahun 2007 jadi 121 juta. Dan tahun 2008 lalu berkembang menjadi 210 juta rupiah.
Padahal desa itu hanya menerima wisatawan asing dari satu hotel, Saraswati, serta 1-2 biro wisata dari Jogyakarta. Promosi yang dilakukan juga sederhana, dari mulut ke mulut, plus website sederhana. Memang faktor jaringan yang dibuaty LSM yang dulu memfasilitasi desa itu menjadi desa wisata cukup berperan, seperti CIDA, JICA, dan Patrapala.
Jadi dalam hal pengembangan pariwisata Magelang, pemerintah daerah (kota/kab) bisa lebih berperanserta untuk memfasilitasi hal-hal yang kurang mampu dilakukan masyarakat, misalnya dalam hal promosi dan membangun jaringan. Masak, pemerintah yang serba berlebih itu kalah sama komunitas atau LSM ? (borobudurlinks@2010).
Makalah ini ditulis untuk diskusi ‘SeniBudaya Unsur Penting Pariwisata’,
Tgl 24 Juni 2010, di Limanjawi Art-House, Borobudur, Magelang.
Pungki Purbawati:
BalasHapusSiiiippp...lanjutkan...dn slmt ya...
Anna Ningsih:
BalasHapusTOP Bgt,.....mg seni n budaya qt trus berkembng....,,
Penthol Magelang:
BalasHapusmbah jito is the best..!
Ninuk Retno Raras:
BalasHapusikut seneng...sukses!
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Pungki. Trims. Pasti dilanjut. Selamat tuk sapa nih ?
@Ana. SeniBudaya Indonesia akan trus bkembang, selama kita berkomitmen tuk hal itu.
@Penthol. Yg 'the best' juga warga Merapinya.
@Ninuk. Syukur, ada yg ikut seneng...berarti tugas kita sukses..he he.
Anna Ningsih:
BalasHapusRomo Kir Mang idola qu yg jg mengembangkn iman umatx d paroki SUMBER,,,
Penthol Magelang:
BalasHapusbetul,pak.. masyarakat merapi n magelang pd umumnya,sgt tinggi minat berbudayanya.. :)
Wahyu Setiawardani:
BalasHapusTUL BANGETTTTTTT......masa sih pemerintah kalah ya sama komunitas masyarakat yang serba keterbatasan......berarti .....(????????)he he he
Mbilung Sarawita:
BalasHapusAndaikata konsep "kebudayaan" yang dipahami oleh pemerintah tidak direduksi menjadi sekedar "kesenian & pariwisata", mungkin sinergi antara pemerintah dan masyarakat sudah sejak lama menghasilkan banyak karya dahsyat ... Sayang sekali, reduksi yang terterap pada pendekatan terlalu-sektoral telah memenjara aspek "kebudayaan" hanya sebagai urusan Disporabudpar & Dinas Pendidikan, sehingga (langsung ataupun tidak) telah "memancing" SKPD-SKPD lain untuk terlalu-egois pada "urusan masing-masing" sampai pada taraf meyakini bahwa "urusan kebudayaan itu bukan urusan kami" ... :-(
Gemak Mendut:
BalasHapusseandainya pmrintah c q pns , tdk berperan jedi ekonom riil,tdk sok seniman,tdk sok arsitek,tdk sok travel agency,cukup melayani publik kayak di negeri maju,soalnya saderhana,pngin tampil jadi aktor,makanya a sosial, a historis, a progresif ,intinya over peran - HARUSNYA KAYAK ABRI,BACK TO BASIC.....mudeng we ora maknane pelayan publik....memang ada daerah tertentu nonjol kayak solo,tapi mayoritas omdo,proposal maya,.....atau jane ngerti,tapi butuh tambahan proyek dompet,ah wis ah...nunggu zaman kelekone...ndak nggege mongso
Pungki Purbawati:
BalasHapus@ ms mualim..slmt dn slmnya buat ber 3 donk...termasuk yg nulis...hehehe..
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Ana. Kiprah Romo Kir itu membuktikan bahwa firman Allah itu harus ngejowantah dlm kehidupan nyata, yg bermanfaat bagi umatnya. tak hanya berhenti jd puisi di gereja2.
@Penthol. Untuk itu kita mesti berterimakasih bagi mereka berdua, dan petani/seniman/budayawan Magelang lainnya. Pemerintahnya di mana ?
@Dani. Kutunggu kiprahmu dg EO-nya di Magelang. Banyak kesempatan lho ?
@Mbilung. BETUL. Revolusi po ?
@Gemak. Koyo Solo yo ra po2 to ? Taruh kata sekedar proyek dompet...yg pasti tambah rame. Sing penting dompet rakyate yo melu kandel, ora ming birokrate sing biso maling.
@Pungki. Tak kiro nggo aku thok...tiwas GR..he he. Salam buat keluargamu.
Herry Suprihanto:
BalasHapussaya yg dilahirkan di Magelang ikut bangga dengan perkembangan Magelang belakangan ini...melalui tulisan mas Mualim selama ini saya bisa mengetahui kalo Magelang mulai bergaung di nusantara ini...baik dari bidang seni...wisata maupun budaya...kalo dulu..Magelang hanya terkesan sbg kota pensiunan...tp sekarang ternyata mampu mengangkat potensinya keluar...izinkan saya menyampaikan apresiasi kepada pihak2 yg sdh memelopori dan banyak berbuat untuk kotaku Magelang tercinta...khusus kpd mas Mualim...saya ucapkan banyak2 terima kasih atas segala upayanya dalam memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan wong Magelang pada khususnya
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Herry. Trims mas atas apresiasinya. hal itu mmg menjadi tanggungjawab saya, mas Herry, dan semua pihak untuk terus 'ngompori' agar kehidupan senantiasa dinamis (kesaksian hrs diberikan, agar kehidupan tetap terjaga, kata Rendra). Rakyat Mgl (khususnya kabupaten) tlh berbuat dan membuktikan 'beginilah mestinya menjadi rakyat yg berdaya'. Tinggal dipertanyakan, apa yg telah diperbuat pemerintahnya ?
Kulo nuwun, numpang kenal.....
BalasHapusKami salah satu wakil dari Komunitas Blogger Magelang, nyuwun monggo kita ramaikan jagad dunia maya dengan berbagai ragam potensi yang dimiliki Magelang.
Monggo kita pererat tali Paseduluran Tanpa Batas!
Muhammad Mansur Chisni:
BalasHapuswah berarti pak Mualim tidak pernah/belum pernah mendengar kiprah Alm Gus Muh/Ahmad Muhammad Chudlory yang senantiasa istiqomah menjaga, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan jawa yang medianya...biasanya pada bulan ruwah yang dibarengin dengan perayaan khataman pondok API Tegalrejo...yang nanggap wayang 7 hari 7 malam, jatilan, reog, barongan, ndentek, dll...dan alhamdulillah sampai sekarang masih dilanjutkan oleh adik dan putra/putri beliau...dan sebentar lagi akan diadakan untuk tahun 2010 dengan klimaksnya yang ditandai dengan arak-arak keliling desa tegalrejo...untuk tahun 2011 saya berharap event di tegalrejo yang konsisten dilaksanakan setiap tahun tersebut dapat dijadikan salah satu event budaya yang dapat dipromosikan dalam rangka tetap melestarikan kesenian adiluhung yang kita punyai...dan Insya Allah Alm Gus Muh tidak pernah mempertanyakan kontribusi orang lain/pemerintah karena memang beliau berniat baik dan tulus dalam menjaga warisan leluhur, semoga amal ibadah beliau mendapatkan ridho Allah, amin.
Herry Suprihanto:
BalasHapusmas M Mansur....lho jebul ada acara semacam itu yg trus dipelihara tho ....nderek bingah mas....Magelang sekarang tambah regeng...maklum .. . saya terlalu lama meninggalkan Magelang...jd gak tahu perkembangan Magelang klo gak ada informasi semacam ini...saya ikut bangga...mudah2an generasi mudanya bisa melanjutkan tongkat estafet kebudayaan...Amin YRA...
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Mansur. Selain bergaul dgn Gus Yusuf, saya juga membaca buku desertasi Prof. Bambang Pranowo 'Memahami Islam Jawa'. Dari Gus Yusuf dan buku itu saya mengetahui kiprah Alm Gus Muh.
Saya juga membaca dan bergaul langsung dgn Alm GusDur. Dari beliau saya mengetahui ttg akomodasi n apresiasi thd kesenian (tradisi) yg dilakukan alm Mbah Chudlory. Anda bisa baca artikel saya 'Catatan Kecil Bersama GusDur' (01) di http://www.borobudurlinks.com/ (portal yg saya kelola). Tentu di lain waktu saya akan menulis ttg para ulama itu dan pondok API dlm kiprahnya nguri2 budaya (Jawa) ini.
Yg mesti dilihat berbeda, antara yg dilakukan mBah Chudlory n Gus Muh dengan Sutanto n Romo Kirjito, adalah kedua ulama itu (dan kini juga dilakukan oleh Gus Yusuf, yg lebih lintas wilayah) melakukan semua itu 'demi kesenian itu sendiri' dan dlm rangka menjaga harmoni lingkungan di sekitar Tegalrejo.
Sementara yg dilakukan Sutanto dan Romo Kirjito lebih sbg 'rekayasa sosial', bagaimana memberdayakan masyarakat (ekonomi, sosial, politik) lewat senibudaya. Yg dilakukan Tanto bahkan bersifat lintas disiplin dan wilayah, hampir di seluruh Kab.Mgl. Kalau anda cermat membaca tulisan saya (juga artikel 'HUT Kota Mgl Quo Vadis') pasti akan memahami argumen saya ini.
Karena konteksnya 'indie tourism' atau 'Pariwisata berbasis masyarakat' dan pemberdayaan masyarakat, bukan semata ibadah (yg jaminannya sorga) spt yg dilakukan para ulama itu, maka otomatis peran pemerintah dipertanyakan. Kalau tidak mempertimbangkan panjangnya tulisan, saya mungkin akan lebih banyak lagi melayangkan gugatan pada perann pemerintah ini.
Kalau kita sepakat salah satu tugas pemerintah adalah mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata, serta mendinamisasikan kehidupan kebudayaan, maka dlm konteks itulah saya mempertanyakan peran Pemkot/Pemkab Mgl yg tidak sebanding dengan kiprah masyarakatnya.
@Mas Herry. Selama mas Herry mau membuka borobudurlinks.com niscaya akan ketemu dengan banyak informasi seputar SeniBudaya dan Pariwisata Magelang. Bukankah hal ini semestinya juga tugas pemerintah ?
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Mansur. Selain bergaul dgn Gus Yusuf, saya juga membaca buku desertasi Prof. Bambang Pranowo 'Memahami Islam Jawa'. Dari Gus Yusuf dan buku itu saya mengetahui kiprah Alm Gus Muh.
Saya juga membaca dan bergaul langsung dgn Alm GusDur. Dari beliau saya mengetahui ttg akomodasi n apresiasi thd kesenian (tradisi) yg dilakukan alm Mbah Chudlory. Anda bisa baca artikel saya 'Catatan Kecil Bersama GusDur' (01) di http://www.borobudurlinks.com/ (portal yg saya kelola). Tentu di lain waktu saya akan menulis ttg para ulama itu dan pondok API dlm kiprahnya nguri2 budaya (Jawa) ini.
Yg mesti dilihat berbeda, antara yg dilakukan mBah Chudlory n Gus Muh dengan Sutanto n Romo Kirjito, adalah kedua ulama itu (dan kini juga dilakukan oleh Gus Yusuf, yg lebih lintas wilayah) melakukan semua itu 'demi kesenian itu sendiri' dan dlm rangka menjaga harmoni lingkungan di sekitar Tegalrejo.
Sementara yg dilakukan Sutanto dan Romo Kirjito lebih sbg 'rekayasa sosial', bagaimana memberdayakan masyarakat (ekonomi, sosial, politik) lewat senibudaya. Yg dilakukan Tanto bahkan bersifat lintas disiplin dan wilayah, hampir di seluruh Kab.Mgl. Kalau anda cermat membaca tulisan saya (juga artikel 'HUT Kota Mgl Quo Vadis') pasti akan memahami argumen saya ini.
Karena konteksnya 'indie tourism' atau 'Pariwisata berbasis masyarakat' dan pemberdayaan masyarakat, bukan semata ibadah (yg jaminannya sorga) spt yg dilakukan para ulama itu, maka otomatis peran pemerintah dipertanyakan. Kalau tidak mempertimbangkan panjangnya tulisan, saya mungkin akan lebih banyak lagi melayangkan gugatan pada perann pemerintah ini.
Kalau kita sepakat salah satu tugas pemerintah adalah mendorong terciptanya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata, serta mendinamisasikan kehidupan kebudayaan, maka dlm konteks itulah saya mempertanyakan peran Pemkot/Pemkab Mgl yg tidak sebanding dengan kiprah masyarakatnya.
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Pendekar Tidar. Salam kenal juga. kami persilakan bagi teman2 Pendekar Tidar untuk ikut meramaikan Borobudurlinks, sesuai konteksnya.
Kapan2 kalau pas di Mgl saya pengin kopi darat dgn teman2 Pendekar Tidar. Kalau berkenan. Salam.
Kholilul Rohman Ahmad:
BalasHapusSeperti biasa, tgl 7-15 Sya'ban/Ruwah, kirab budaya Pawiyatan Budaya Adat (PBA) warisan Gus Muh tahun ini kembali digelar.
Muhammad Mansur Chisni:
BalasHapus@Pak Mualim, saya setuju dengan pendapat Bapak bahwa peran pemerintah memang dibutuhkan, tetapi kalo pemerintahnya ndableg (mohon maaf mungkin kosakatanya kurang pas) masak kita sebagai masyarakat juga mau ikutan ndableg, tentu kita harus terus berkiprah dan berbenah dengan harapan secara paralel pemerintah juga menyadari perannya tersebut dan secara nyata kita juga mendorong pemerintah berpartisipasi...@Pak Herry...alhamdulillah perayaan khataman di Tegalrejo masih diuri-uri sampai sekarang oleh para penerus...cuman memang belum ditangkap oleh Pemerintah sebagai salah event budaya yang dapat dipromosikan...
Wibowo Setyo Utomo:
BalasHapusHormatku Kang Alim;
Terus terang aku malu dg diriku sendiri. Sebagai orang yang pernah dpt kepercayaan tongkat kepariwisataan dan kebudayaan di Magelang Kab ternyata tongkat itu hanya mujarab untuk Kanjeng Bupati dan jajaran birokrat lainnya.
Saya tdk ingin pengakuan ttp hanya ingin bisa hadir bareng dg komonitas itu saja ternyata sangat sulit sekali. Klasik alasannya, sibuk dan tdk ada dawuh.( ha ha kuno ) bukan untuk masy dan para pelaku wisata budaya yang istilah populernya menurut Kang Alim is Tourism Based Community. Tetapi hanya untuk menjaga amannya Singgasana keangkuhan saja.
Sebagai upaya menghibur setidaknya ada untung dan benarnya juga Kang..! Seandainya aku turun terlibat, so pasti namaku banyak disebut Kang Alim melampaui populeritas Kanjeng Bupatiku. Tetapi sebenarnya aku takut juga dg lingkungan masyarakatku yang membesarkanku, ibarat, ...aku takut kuwalat dg Empu spt cerita keris gandring yang dipakai Ken Arok kukut sampai sampai tujuh turunan itu. Bukankah suatu pertanda bhw aku tdk bisa dan tidak mampu menghormati laku-bratanya Empu itu disaat keris itu dicipta....? Keris itu aku, Empu itu yang ada Di Atas dan Kolektor keris itu orang yang berperilaku mengkomersialkan Jabatan. Sedangkan, Kebo Ijo, Tunggul Ametung, Anusopati bahkan Ken Arok adalah suatu makna lambang kekuasaannya, keangkuhan, keserakahan dan kemunafikan manusia yang menata Kab Magelang. Lantas di mana Gandringnya.....? (maaf tdk pakai empu... hanya gandring lho)
Agung Nugroho:
BalasHapusmumpung durung di klaim negoro liyo, monggo sami sesarengan nguri-uri kabudayan adhiluhung nuswantoro.....
@pak bowo : sak ngertos kulo sabdo bupati meniko SABDO PANDHITO RATU....
@all : Berkah PENGERAN tansah tumedak wonten ngarsa ndiko sami....
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Kholil. Wis sibuk dadi wong Betawi...ra sempat nambahi rame wacana ttg Mgl maneh...Ayo dunk !
@Mansur.Kalau kami2, penggiat budaya, mungkin nggak peduli sm pemerintah. Tapi buat wong cilik, dlm posisi client, seringkali ngarepke. Ora duite, tp kebutuhan 'rumongso diwongke'. Bahkan sekedar menyapa saja pemerintah kok keberatan.
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@P'Bowo. Saya sekedar menyalurkan keprihatinan teman2 pelaku budaya. Contohnya, teman2 Borobudur yg tiap tahun bikin parade budaya, belum pernah sekalipun ditengok bupatinya. Padahal rmh bupati itu kan hanya 'sepelemparan batu' dr Budur. Entah kalau pejabat yg lain.
Kemarin waktu diskusi di Limanjawi/Wanurejo, P'Dian - KadinBudpar yg baru janjinya mau datang, sesuai undangan. Ternyata nggak datang tanpa kabar berita. Ketika dicek ke kantornya, ternyata nggak ada seorang stafnya pun yg tahu acara itu. Pdhal diskusi ini diadakan oleh Cluster Pariuwisata Borobudur dibiayai Bappeda.
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Agung. Soal klaim budaya, kalo bener terjadi, seharusnya kita malah bangga. Ternyata budaya kita diapresiasi oleh bangsa lain. Budaya bukan benda yang bisa dimaling lalu hilang. Dimainkan atau diklaim bangsa lain, seluruh dunia juga tahu bahwa kebudayaan itu milik siapa.
Toh kebudayaan kita juga hibriditasi dari berbagai kebudayaan bangsa lain juga kok. Santai aja bung....