Halaman

April 21, 2010

PAMERAN LUKISAN MENGENANG 100 HARI GUS DUR.


Oleh: Anang Zakaria.

Borobudurlinks, 21 April 2010.
Sehari setelah tiba di Ibukota, mendadak terbesit keinginan Djoko Pekik untuk melukis di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Jadilah, Kamis (31/12) malam di penghujung tahun 2009 lalu, seniman yang mendapat julukan pelukis satu milyar itu menunaikan niat.
Berhajat mengabadikan kemeriahan tahun baru dalam lukisan, Djoko justru kaget. Dia temukan kesedihan di balik gegap gempita malam pergantian tahun. Bendera setengah tiang terpasang dimana-mana, bahkan di jantung kemeriahan di Jakarta itu. KH. Abdurahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia telah berpulang, Rabu (30/4) senja sebelumnya.
“Baru tahu saat itu, sebelumnya tidak,” kenang dia ditemui di sela pameran lukisan untuk memperingati 100 hari meninggalnya Gus Dur di Galeri Langgeng Magelang, Jumat (16/4) malam pekan kemarin.
Malam itu juga, satu lukisan tercipta. Kemeriahan bercampur kepedihan tergambar di dalamnya. Malam Tahun Baru 2010 Berduka. Selamat Jalan Gus Dur, demikian lukisan Djoko itu punya nama. Dilukis di atas kanvas berukuran 160 sentimeter kali 215 sentimeter, lukisan itu kini turut dipamerkan bersama puluhan lukisan lain bertema Gus Dur di galeri itu. Sedikitnya ada 35 perupa yang terlibat dalam pameran itu.
Lebih dari seorang mantan Presiden, bagi Djoko, Gus Dur adalah seorang seniman sejati. Kyai yang digelari bapak pluralisme itu sekaligus telah menjelma menjadi ratu bagi wong cilik. ”Dia mengerti betul arus bawah,” kata dia. Bagi Djoko, hanya ada dua Presiden Indonesia yang seperti itu. Selain Gus Dur, juga Soekarno.
Kurator Pameran Afnan Malay mengatakan dari semua karya yang dipamerkan jelas tergambar adanya kerinduan aroma surgawi yang pernah ditawarkan Gus Dur. Bukan surga dalam angan-angan melangit. Untuk meraihnya, orang harus berpeluh keringat karena direpotkan.

Surga yang ditawarkan, tulis dia dalam brosur pameran, adalah pluralisme (kebersamaan) dan semangat humanisme yang tidak pernah menyikapi dunia orang lain sebagai hal ihwal merepotkan. ”Kalau kita merasa tak kebagian,” tulis dia, ”Itu karena bingkisan surga yang dibawa Gus Dur membentur tembok duniawi.” Dan, tembok itu bernama nalar cupet.
Mengabaikan tetek bengek kerepotan itu, diantaranya terlihat dari karya Didik Nurhadi berjudul Tertawa Dari Sana. Tawa lepas dan renyah khas Gus Dur terlukis disana. Seakan menertawakan mereka yang masih mengagungkan kerepotan.
Tak peduli dengan kerepotan juga terlukis dalam karya Hadi Susanto berjudul Royal Thorne. Berbaju batik, bcrcelana jins dan selop hitam di kaki, Gus Dur duduk di atas setandan pisang. Ya, gitu aja kok repot.

Humanisme –juga pluralisme- sekaligus merupakan kekuatan. Dia adalah semangat memecah kesunyian yang menindas. Semangat itu tergambar pada karya Tita Rubi yang diposisikan di sudut ruang pameran. Bertajuk Missing and Silent karya itu berupa gunungan pasir dengan serakan foto orang-orang hilang di era reformasi. Di atasnya, tergantung miniatur janin terbungkus plastik berisi air. Sekilas, pikiran langsung tertuju janin dalam rahim.
Menurut Afnan, kehidupan surga adalah situasi, yang jangankan manusia beserta kemanusiannya, rumput pun diberikan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang.
Dalam puisi dengan metafora rumput berjudul Gus Dur Yang Tidak Membakar Rumput, Afnan menulis:

Gus, demikian kata-katamu yang kupahat sendiri dalam benakku.
Kita tak akan membakar rumput. Kita tak akan pernah membakar rumput!
Apalagi di halaman muka. Rumah kita sendiri.

Dengan cara itu, aroma surgawi –pluralisme dan humanisme- bisa dinikmati. Dan ternyata, Gus Dur masih ada (Tempo Interaktif/bolinks@2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar