‘MISI JOWO’ ROMO VAN LITH.
Borobudurlinks, 1 April 2010. Tahun 1897, adalah tahun yang dianggap penting dalam sejarah misi agama Katholik di Indonesia, khususnya di Jawa. Saat itu seorang pastur muda bernama Franciscus Georgius Josephus van Lith datang dan menetap di kota kecil Muntilan, Kab.Magelang,Jawa Tengah. Di tempat itulah ia mendirikan Sekolah Guru Muntilan yang legendaries.
Kelak di kemudian hari, dari sekolah guru itu, lahir nama-nama tokoh nasional, antara lain: Mgr. Soegijapranata, Yos Sudarso, Cornelius Simanjuntak, I.J. Kasimo, dan Frans Seda. Mereka dan masih banyak tokoh lain telah mengambil perannya sendiri-sendiri dalam masyarakat. Satu yang menyatukan, sama-sama pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Muntilan. Dari banyaknya tokoh yang ‘lahir’ dari sekolah guru itu, kemudian Muntilan mendapat julukan “Betlehem van Java (Betlehem tanah Jawa)”.
‘PASTUR JOWO’ VAN LITH.
Franciscus Georgius Josephus Van Lith atau seringkali disingkat sebagai Van Lith (lahir 17 Mei 1863), adalah seorang imam Yesuit asal Oirschot, Belanda yang meletakkan dasar karya Katolik di Jawa. Namanya dikenal karena mampu menyelaraskan ajaran agama Katolik Roma dengan tradisi Jawa sehingga bisa diterima oleh masyarakat Jawa.
Van Lith tiba di Indonesia untuk pertama kalinya di Semarang tahun 1896. Pastur muda itu menghabiskan setengah tahun pertamanya untuk belajar bahasa Jawa. Ia berkeyakinan untuk menyampaikan kabar baik Kerajaan Allah kepada orang Jawa, ia harus menjadi sahabat mereka. Dan untuk itu, ia harus lebih dulu memahami bahasa dan budaya Jawa.
Apa yang dijalankan Romo Van Lith, tidak langsung berjalan mulus. Ia banyak mendapat tentangan, salah satunya dari Romo Hoevenaars, SJ. Kalau Romo Hoevenaars menerjemahkan ‘Kitab Suci’ cukup menggunakan bahasa Jawa ‘ngoko’, Romo Van Lith menterjemakannya dengan citarasa Jawa ‘inggil’. Romo van Lith sangat memahami filosofi manusia Jawa yang menempatkan hubungan manusia dengan Tuhan pada tataran yang sangat tinggi. Serendah-rendahnya kedudukan seorang Jawa, dalam setiap doanya selalu menyebut Tuhan dengan ungkapan dan bahasa yang agung dan halus.
Konflik kedua pastur yang cukup tajam ini tertulis dalam sebuah buku yang merupakan perdebatan visi masing-masing. Kelak di kemudian hari, keyakinan Romo Van Lith yang terbukti benar. Dari Semarang Pastor van Lith pindah ke Muntilan dan tinggal di Desa Semampir, di dekat Kali Lamat.
Berbeda dengan Romo Hoevenaars yang mengukur keberhasilan misi dengan angka atau seberapa banyak pertambahan pemeluk agama Katholik di antara pribumi Jawa, sejak mula van Lith tidak berambisi untuk sesegera mungkin membaptis orang. Ia lebih berpendirian: biarlah orang melihat kasih Kristus lewat kehadiran dirinya entah akhirnya memutuskan menjadi Kristen atau tidak. Bagi seorang van Lith, Allah sendirilah yang akan berkarya memanggil orang per orang. Dirinya hanya menjadi sarana.
Langkah-langkah tersebut menurut penulis bisa disebut sebagai ‘Misi Jawa’ Romo Van Lith, karena:
- Romo Van Lith menjalankan misinya untuk ‘menaklukkan hati orang Jawa’ dengan menggunakan jalan kebudayaan. Ini mengingatkan pada pendekatan para wali (songo) ketika mereka menjalankan misi penyebaran agama Islam. Mungkin Van Lith juga ‘belajar’ dari para wali itu, bahwa orang Jawa tidak mudah menerima suatu ajaran atau budaya baru dengan begitu saja, apalagi dengan cara-cara pemaksaan. Kebudayaan Jawa lebih mudah ‘menyerap’ budaya baru itu, menjadi ‘Jawa baru’ atau hibriditasi.
Seperti halnya ‘Islam Jawa’, dalam praktek-praktek ritualnya agama Katholik di Jawa juga akrab dengan idiom budaya Jawa seperti penggunaan bahasa, gamelan atau tembang-tembang Jawa, serta yang paling kontemporer adalah wayang ukur (wayang kulit dengan cerita Yesus).
- Perilaku sehari-hari Romo Van Lith yang sedemikian ‘halus’, sehingga dianggap ‘lebih Jawa daripada orang Jawa sendiri’. Hal inilah salah satu hal yang membuat seorang pribumi Jawa bernama Sarikromo tertarik pada agama Katholik. Dan akhirnya pertapa sakti itu bahkan menjadi katekis pertama di bumi Jawa (Lihat: ‘Barnabas Sarikromo, Katekis Pertama di Bumi Nusantara’).
Keyakinan ini lagi-lagi terbukti benar ketika tahun 1904 Romo van Lith mempermandikan sekitar 173 orang dari Desa Kalibawang, Kulon Progo. Sebuah desa di lereng pegunungan Menoreh, sebelah selatan kota Muntilan. Padahal, dari sekian banyak desa yang telah ia datangi, Desa Kalibawang justru merupakan desa yang belum pernah ia sambangi. Dari Kalibawanglah tonggak misi (Katolik) di Jawa ditancapkan. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang di Semagung. Sendang tersebut terletak di antara dua batang pohon sono. Itulah cikal bakal Sendang Sono,
tempat ziarah rohani yang terkenal hingga sekarang.
“Pertobatan dalam jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa ... Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa ... tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum pernah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith. Karena keyakinannya itu, Pastor van Lith lebih memilih untuk menjadi sahabat orang-orang di sekitarnya daripada buru-buru membaptis mereka. Ia mendatangi desa-desa untuk berbincang-bincang mengenai apa saja, termasuk masalah-masalah keluarga.
Salah satunya, Pastor van Lith menangkap kenyataan bahwa para petani di daerah Muntilan ketika itu sangat miskin. Kemiskinan itu melilit lantaran mereka terjerat utang sehingga mereka terpaksa menggadaikan ladang atau sawah mereka. Van Lith bertindak. Ia menebus surat-surat
tanah petani dari rentenir dan mengembalikannya pada para petani.
Satu lagi yang harus dicatat: van Lith tak pernah kenal payah bila sudah bersinggungan dengan keadilan. Rakyat yang terjajah dan kurang pengetahuan memang selalu menjadi bulan-bulanan hukum. Demi tegaknya keadilan bagi rakyat jelata, kerap kali Romo van Lith tampil sebagai pembela mereka di persidangan.
Bahkan, ia tak sungkan mendatangi para pamong praja di kantornya untuk menuntut hak atas rakyat yang diperlakukan tidak adil. Tindakan ini tentu bukan tanpa risiko. Fitnahan dan ancaman tak jarang terlontar. Tapi, semua itu tak dipedulikannya demi martabat manusia lemah. Tak berlebihan bila orang-orang pun menjulukinya “Bapa orang Jawa”.
Ia juga gigih memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri di
Volksraad (DPR).
“Dalam rapat di Sukabumi saya menyatakan ‘tidak setuju’ terhadap sistem pemilihan yang menjamin mayoritas keanggotaan orang-orang Belanda di lembaga legislatif.... (sebab dengan demikian) akan kembalilah kumpeni lama dalam bentuk baru. Walaupun saya tahu bahwa yang menentang pikiran saya ialah Belanda-Belanda di Indonesia. Bila antara Indonesia dan Belanda
terjadi sengketa dan saya harus memilih, maka saya akan memilih pihak Indonesia”.
Kalimat-kalimat tersebut ditulis oleh Pastor van Lith sendiri untuk menunjukkan sikap politiknya saat ia menjadi panitia peninjauan perundang-undangan. Karena sikapnya tersebut tak heran bila ia pun bersahabat dengan Suwardi dan Ciptomangunkusumo, juga pejuang-pejuang kemerdekaan lain. Bahkan, pada pemilihan terakhir untuk pencalonan anggota Volksraad, Pastor van Lith dicalonkan oleh Serikat Islam untuk mewakili daerah Serang (Banten).
MERINTIS SEKOLAH GURU.
Sejak awal Pastor Van Lith berprinsip bahwa misi harus dibangun di atas pundak para remaja dan pemuda-pemuda. Ia harus mencetak tenaga-tenaga pembantu dan dengan demikian ia melipatgandakan dirinya. Namun, untuk itu, ia harus melahirkan pemimpin-pemimpin dengan
watak dan mental yang tangguh.
Gereja pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1897, tahun awal Romo Van Lith bertugas di Jawa, di wilayah Muntilan terdapat 30 orang Katolik. Mereka dibaptis pendahulu Van Lith, Pastor Van Hout. Dari ketiga puluh orang tersebut terdapat 4 orang katekis untuk daerah Muntilan, Magelang, Bedono dan Ambarawa.
Di Muntilan Pastor Van Lith mendapati bahwa uang yang seharusnya untuk membeli tanah dan menebus tanah para petani ditilap katekisnya. Di Magelang keadaannya lebih buruk. Selain melakukan manipulasi keuangan, si katekis terbukti mempunyai 2 orang istri. Hal yang sama juga terjadi di Bedono dan Ambarawa. Pastor van Lith pun terpaksa memecat keempat katekis tersebut. Kejadian itu jelas menoreh kesedihan mendalam pada diri van Lith; bukan pertama-tama karena uangnya tetapi karena murid-murid terdekatnya ternyata sangat dangkal imannya.
Justru karena itu, kelak orang-orang terpilih yang akan turut mengemban tugas misi haruslah orang-orang berjiwa pemimpin dengan watak dan mental yang teguh serta memiliki penghayatan iman yang dalam. Bagi van Lith, tujuan ini hanya akan tercapai bila ia bisa memantau perkembangan setiap muridnya setiap hari setiap saat. Karena itu, para murid kelak harus tinggal di asrama.
Jadilah, tahun 1903 sekolah guru dengan asrama dibuka di Muntilan. Saat itulah titik tolak dimulainya pembangunan kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool di tahun 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool tahun 1904, dan kemudian pendidikan guru-guru kepala pada tahun 1906. Sekolah guru untuk penduduk pribumi Jawa ini bisa dimasuki oleh anak Jawa dari mana pun, dari agama apa pun. Awalnya memiliki murid 107 orang, 32 di antaranya bukan Katolik.
Di tahun 1911 dibuka secara resmi seminari (sekolah calon pastor) pertama di Indonesia karena sebagian di antara lulusannya ingin jadi pastor. Satu di antaranya Mgr A Soegijapranata SJ (1896- 1963), yang kemudian menjadi Uskup Keuskupan Agung Semarang, uskup pertama pribumi. Gereja kecil dan sekolah desa Semampir kemudian berkembang menjadi satu kompleks gedung-gedung yang di tahun 1911 dinamai Kolese Franciscus Xaverius. Hingga kini kompleks pendidikan itu masih eksis dan berdiri dengan megah.
Di Klaten Van Lith berusaha mendirikan HIS. Mula-mula pengajuan ijin pendirian sekolah HIS di Klaten, tapi ditolak oleh Asisten Residen dengan alasan di Klaten telah berdiri HIS Protestan. Karena penolakan itu maka Van Lith mengajukan permohonan langsung kepada residen Surakarta. Permohonannya dikabulkan, sehingga pada tahun 1920, berdirilah HIS Kanisius Klaten.
Selain itu, Van Lith memperjuangkan pendidikan bagi para pribumi. Ia mengusahakan pengiriman mahasiswa-mahasiswa pribumi ke perguruan tinggi di Belanda dan menganjurkan Yesuit agar mendirikan kolese-kolese untuk pendidikan setara AMS.
Beberapa tahun setelah itu, guru-guru yang sekaligus bisa mengajar agama mulai tersebar tidak hanya di pulau Jawa tetapi hingga ke seluruh nusantara. Merekalah yang akhirnya menjadi soko guru gereja di berbagai tempat di berbagai daerah. Demikianpun, Van Lith masih mengidam-idamkan sekolah guru untuk para putri. Dan, jerih payahnya ini terwujud ketika tahun 1915 berdiri sekolah guru untuk perempuan di Mendut.
AKHIR HAYAT.
Van Lith kemudian kembali ke Belanda pada tahun 1920 untuk memulihkan kesehatan. Karena pemerintah colonial Belanda kurang menyukai pastur yang cenderung membela kepentingan pribumi ini, mereka sempat menghalang-halangi ketika Van Lith mau kembali ke Indonesia setelah berobat.
Sikap pemerintah colonial itu tak menyurutkan tekad Van Lith. Tahun 1924 ia kembali dan menetap di Semarang, serta kemudian mendirikan sekolah HIS dan Standaardschool, sambil mengajar para novisiat Yesuit. Van Lith meninggal dunia pada tanggal 17 Mei 1926 di Semarang. Dengan barisan yang amat panjang, anak seorang jurusita ini diantar ke peristirahatan terakhir di kerkop, Muntilan, setelah disemayamkan sebentar di gereja yang dia bangun sendiri.
(Disarikan oleh Mualim M Sukethi, dari beberapa sumber/ bolinks@2010)
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/04/misi-jowo-romo-van-lith.html?m=0
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/04/misi-jowo-romo-van-lith.html?m=0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar