Halaman
▼
April 27, 2010
HUT KOTA MAGELANG, QUO VADIS ? (01)
(Refleksi Kritis Perayaan HUT Kota Magelang 2010).
Oleh: Mualim M Sukethi.
Borobudurlinks, 27 April 2010. Untuk kesekian kalinya Kota Magelang memperingati hari jadinya (HUT). Konon, rangkaian acara yang berlangsung sepanjang bulan April 2010, ini memiliki arti strategis bagi pengembangan senibudaya dan pariwisata Magelang. Untuk keperluan borobudurlinks saya menyempatkan diri pulang kampung, dan menyaksikan beberapa rangkaian acara yang diadakan.
Pada kesempatan itu, saya sempat menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon ‘Wahyu Pamong Negara’ , yang berlangsung pada tanggal 10 April 2010, di kampung Meteseh. Selain itu, saya juga menyaksikan acara puncaknya, yakni kirab atau parade dan grebeg gethuk, yang berlangsung pada tanggal 11 April 2010, di seputar alun-alun Kota Magelang. Selebihnya adalah acara olahraga yang telah menjadi rutin, sekedar hura-hura, bukan olahraga prestasi.
Dari kedua acara itu, yang merupakan acara pokok, saya melihat ada kesia-siaan atau kemubaziran dari acara yang menghabiskan biaya hampir 1 milyar rupiah itu. Seharusnya sudah waktunya kita mempertanyakan semua itu. Setelah ke sekian kali diadakan, apa manfaat acara itu bagi pengembangan kebudayaan dan pariwisata, bagi pemberdayaan ekonomi, dan bagi kepentingan masyarakat Magelang secara umum ?
FEODAL.
Beberapa hari lalu, Mbilung Sarawita – facebooker dari Magelang, menulis di grup ‘Magelang Kota Harapan’ tentang ‘Dosa-dosa Panitia Pentas Wayang Kulit HUT Magelang’. Pada intinya tulisan itu menyoroti sikap feodal elitis dari panitia pentas wayang beberapa tahun terakhir, yang selalu menempatkan pejabat dan tokoh masyarakat di tempat terhormat ketika menikmati sajian teater tradisional itu.
Sedangkan masyarakat kecil cukup menonton di pinggiran, berdesakan, basah kuyub kalau hujan, dan…. pokoknya serba tidak enak sajian bagi wong cilik itu. Lantas, Mbilung mempertanyakan, bagaimana mau mengajak rakyat mencintai kesenian dan kebudayaan sendiri kalau selalu diperlakukan tidak adil seperti itu? Kalau ditempatkan dalam konteks hiburan, untuk siapa hiburan itu diperuntukan, untuk pejabat atau rakyat ?
Situasi yang sama juga terlihat pada pementasan wayang kulit di Meteseh. Lakon yang didalangi oleh Ki Wiyanto itu juga menempatkan masyarakat kecil cukup di pinggiran arena. Deretan kursi yang tersedia ditempati oleh para elite Magelang yang terhormat. Bahkan arena di depan layar digunakan sebagai sarana parkir sepeda motor para pejabat itu.
Ini ironis. Seharusnya arena di depan layar merupakan tempat utama menikmati wayang kulit ,sebagai seni pertunjukan yang memanfaatkan kekuatan imaji bayangan hasil perpaduan cahaya dan gerak berbagai wayang yang dimainkan sang dalang.
Memang pertunjukan wayang kulit akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cenderung menggeser konsep dasar wayang sebagai seni ‘bayangan’. Penonton lebih suka menonton dari belakang arena, atau secara langsung menikmati dalang, nayaga, pesinden dan para bintang tamu unjuk kebolehan. Mereka tak peduli lagi pada keindahan seni ‘bayangan’ yang menjadi kekuatan wayang kulit.
Hal ini merupakan akibat dari beberapa inovasi yang ‘terpaksa’ dilakukan para dalang sekedar memuaskan selera rendah penonton. Goro-goro digantikan menjadi dagelan yang dibawakan para pelawak secara langsung (live). Bahkan penyanyi dan grup music (modern) juga seringkali ikut ditampilkan, tak cukup hanya pesinden. Akibatnya, ada penonton yang marah kalau penyanyi (dangdut) itu tak mau menyanyikan lagu kesayangan mereka.
Bahkan dramaturgi atau struktur pengadegan yang sesuai pakem juga ditabrak. Goro-goro yang biasanya ditampilkan di tengah cerita, saat pentas di Meteseh kemarin, relative tampil di awal. Hal ini semata dilakukan sekedar memuaskan selera penonton, yang memang tidak ingin menikmati cerita secara utuh. Jadi, selesai goro-goro, yang diganti dagelan secara live, sebagian besar penonton bubar, termasuk walikota Fahriyanto dan jajarannya. Buat para pejabat itu nilai yang dikandung dalam cerita wayang secara utuh mungkin tidaklah penting.
Sesungguhnya pengaruh budaya pop semacam itu sah-sah saja. Karena bagaimana pun juga wayang adalah wujud kebudayaan ‘yang hidup’, senantiasa bergerak mengikuti arus jaman. Namun menjadikan arena di depan layar sebagai sarana parkir adalah sungguh keterlaluan. Jadi, Kang Mbilung, ini juga ‘dosa tambahan’, sekaligus PR buat teman-teman seniman di Magelang untuk mengingatkan para panitia pentas wayang kulit agar lebih layak dalam bertindak.
Rupanya semangat feodal itu juga mewarnai hampir seluruh acara grebeg gethuk keesokan harinya, yang berlangsung di alun-alun Kota Magelang dan sekitarnya. Dimulai dari arak-arakan atau parade budaya, para elite politik ‘kota gethuk’ itu diusung menunggangi rangkaian kereta kencana yang biasa dipakai raja-raja Mataram Baru. Kereta itu secara khusus disewa dari salah seorang bangsawan keraton Jogyakarta.
Para elite Magelang itu, masing-masing didampingi istrinya, mengenakan busana kebesaran raja dan bangsawan keraton, duduk manis di atas kereta-kereta itu. Melalui jendela kereta, mereka mengumbar senyum sembari melambaikan tangan kepada rakyat yang menonton dari pinggir jalan. Yang menggelikan adalah adegan ketika para elite itu melihat atau dilihat oleh penonton yang mereka kenal. Mereka lalu berteriak dan melambai, hingga kepalanya keluar jendela, mungkin ingin menunjukkan diri kalau mereka bagian dari ‘bangsawan Magelang’.
Sementara rahayat cukup mengekor di belakang. Tentu tidak ikut naik kereta kencana, cukup berbaris rapi sembari memunggah gunungan berisi berbagai hasil bumi yang memang merupakan hasil budaya pertanian sekitar Magelang. Cape ? Jangan mengeluh, cape itu memang hak dan kewajiban rahayat…he he.
Sesampainya di alun-alun adegan menggelikan itu pun terus berlanjut. Rombongan ‘raja dan bangsawan Magelang’ itu ditempatkan di panggung tinggi yang didekor bak keraton sungguhan. Di sayap kanan-kirinya, di panggung yang lebih rendah, duduk berjejer para tamu kehormatan. Maka, kemudian adegan bak ‘pisowanan agung’ pun digelar. Raja duduk di singgasana, didampingi sang permaisuri, mendengarkan laporan mahapatih dan senopati utama. Dan seterusnya….
Lalu, dari semua hiruk pikuk itu di mana rakyat kecil berada ?
Rakyat tetap harus dipinggiran (atau dipinggirkan?). Mereka harus puas di belakang gelaran pasukan. Bersijingkat atau saling gendong untuk bisa menyaksikan ‘kethoprak baru’ itu. Memanjat pagar besi pembatas yang memisahkan rakyat dan pejabat. Atau deprok sekedar melepas lelah dan panas yang menyengat.
Saya jadi teringat ‘Sajak Orang Kepanasan’ karya Rendra, yang salah satu baitnya berbunyi:
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
Maka kita bukan sekutu
Kepengin ‘nJawani’ tidak identik ‘mbangun keraton’. Menjadi petani Jawa yang bermartabat mungkin lebih terhormat.
NEGASI.
Padahal kalau kita mau menengok sejarah wilayah Kedu Magelang, senantiasa dipenuhi oleh narasi yang bersifat negasi, semangat perlawanan terhadap hegemoni pusat kerajaan. Semangat masyarakat yang tak mudah tunduk oleh kekuatan politik dan senjata. Dari mulai hikayat Dadung Awuk, seorang perwira utama yang harus mati dalam perebutan pengaruh melawan Mas Karebet (Joko Tingkir) dalam babad Pajang. Cerita Simo Lodra atau Macan Tidar melawan utusan keraton bernama Mahesa Jenar. Hingga kisah heroik pemberontakan MMC (Merapi Merbabu Complex).
Atau kisah para perwira yang berasal dari tlatah Dulangmas (Kedu, Magelang, Banyumas) seperti Soedirman, A.Yani, Sarwo Edhie, Gatot Soebroto, dll. Dalam perang kemerdekaan, mereka memilih perjuangan senjata, bergerilya di gunung dan desa-desa, ketimbang harus menyerah kepada balatentara Belanda yang menduduki Jogyakarta seperti yang dilakukan para pemimpin sipil.
Iring-iringan 'bangsawan Magelang' di atas kereta kencana (foto Yusuf Kusuma).
Dalam konteks dinamika kebudayaan tanah air, Magelang juga menempati posisi khusus. Di wilayah ini tumbuh subur berbagai kesenian rakyat, seperti Jathilan/Kuda lumping, Soreng, Warokan, Kubro Siswo, Grasak, hingga Topeng Ireng. Selain sebagai produk budaya gunung yang agraris, berbagai kesenian rakyat itu merupakan negasi terhadap budaya keraton yang mapan dengan tarian model Bedhaya Ketawang, Golek Menak, dll.
Tarian Soreng misalnya, adalah tarian yang gerakannya bersumber dari olah kanuragan para prajurit. Tapi bukan prajurit keraton Mataram, melainkan prajurit Ario Penangsang, yang dikenal sebagai pemberontak lawannya Sutawidjaja (Panembahan Senopati). Kenapa masyarakat Merapi-Merbabu mengadopsi nilai-nilai seni yang berasal dari wilayah Pantura yang jaraknya jauh, bukannya dari keraton Ngayogyakarto Hadiningrat yang relative dekat ? Dari seorang pemberontak bukannya dari pahlawan (pemenang) ? Tentu semangat negasi yang mendasari semuanya itu.
Potensi kesenian rakyat inilah yang dilihat dan dikembangkan oleh Sutanto Mendut, serta diangkatnya ke pentas nasional. Jadi kalau sekarang ini dinamika kesenian rakyat di daerah Magelang terasa gegap gempita tentu tak bisa dilepaskan dari peranan seorang Tanto Mendut.
Dan yang lebih penting kesenian rakyat bagi masyarakat gunung di Magelang sekarang ini telah tumbuh menjadi semacam daya hidup, spirit kemandirian, yang tak mudah goyah oleh hegemoni dan infiltrasi kekuatan dari luar yang bersifat ‘merusak’. Inilah social-engineering yang keberhasilannya diakui secara nasional, bahkan internasional, yang bisa disebut karya monumental Sutanto Mendut.
Ada dua parameter yang kiranya perlu saya sampaikan untuk mengukur spirit kemandirian komunitas gunung di Magelang. Pertama, dinamika kesenian rakyat yang tumbuhkembang di Magelang relative tidak ada campur tangan birokrat atau pemerintah sama sekali. Festival Lima Gunung (F5G), yang diadakan setiap tahun, dan kini memasuki usia ke 10 th, selama ini bisa terlaksana tanpa bantuan dana dari pemerintah. Bahkan setahu saya, selama F5G berlangsung belum pernah ada pejabat pemerintah daerah yang menontonnya. Namun terbukti F5G tetap eksis sebagai agenda budaya penting di Indonesia.
Kedua, bagaimana masyarakat gunung di Magelang mampu bertahan dari infiltrasi gerakan atau kelompok ekstrim kanan yang selama 10 tahun terakhir ini tumbuh subur di berbagai daerah. Bahkan merasuk hingga Jogya dan Solo yang dianggap ‘pusat budaya Jawa’. Salah satu benteng pertahanan itu adalah kekuatan kebudayaan. Di Magelang, seringkali kita menyaksikan bagaimana tokoh agama seperti Gus Yusuf, Romo Kirjito, Romo Sindhunata, Bangte Panyavaro, dan beberapa budayawan/seniman, tentu bersama-sama dan ‘diarahkan’ oleh Sutanto, berada dalam suatu gelanggang atau panggung membangun komunikasi kebudayaan lewat kesenian rakyat.
Jadi mestinya para elite Magelang menyadari hal ini, dan memanfaatkannya untuk membangun komunikasi politik yang cerdas, yang tidak menciptakan jarak dengan masyarakat. Bukannya malah ‘bermain kethoprak’ seperti yang nampak pada perayaan HUT kemarin itu (BERSAMBUNG/ bolinks@2010).
Patoni JAW:
BalasHapusluar biasa...setelah"kulo"membaca full"katam" badan trs merinding...ternyata ada seorang Pak"Mualim M Sukethi" yg sangat memperhatikan rakyat magelang ketimbang para pemimpin Magelang itu sendiri...saya sbg "Cah Enom"Magelang merasa malu,krn hal itu tak prnh terfikir...darah yg mengalir di tubuhku ini mmg asli magelang,tp kurasakan hanya"Nitip ... Lihat SelengkapnyaNgeyop",tidak pernah mengalir tuk"berjuang'...stlh membaca"curahan Hati"bapak, rasa ke-magelangan saya smkin kuat...tp dgn apa sy bs brbuat tuk magelang,krn saya hanya seorang buruh yg "terjajah"...SALAM...
(Dari grup 'Magelang Kota Tua'.
Rizan Panhar:
BalasHapussaya kira2 ini hanya menghambur2kan uang rakyat ini pesta buat pejabat dll,....coba kita lihat pembangunaan kota magelang tidak ada konsep sama sekali dan banyak proyek yang terbengkalai karena ketidak seriusan pemerintah dalam hal ini,...mageleng jauh ketinggalan dengan kota kabupaten bahkan kecamatan,....
semoga di awal pilkada ini nanti siapa pun yg akan memimpin kota magelang semoga lebih memperhatikan supaya magelang bisa maju seperti kota2 yg lainnya.
Rumah Pelangi:
BalasHapussungguh suatu hal yg ganjil ketika penggede kota dipilih rakyat, duduknya malah mengangkangi rakyat dg ketidaksadaran pongahnya, di singgasana.
lihatlah sekeliling wahai penggede, darimanakah asal sepatumu?
Wibowo Setyo Utomo:
BalasHapusAbangku Mualim yang Sukethi,
....bener aku merinding dengan semua rintihanmu, itu cetusan sebagian besar rakyat mgl yg terekpresi dg bisikan hati terdalamu. Semua itu benar, seperti philosopi seni soreng. Konon soreng itu manifestasi perjuangan prajurit yg direkrut Mentahun/Ario Penangsang diseputaran Merapi-Merbabu untuk merebut tahta pajang dari ... Lihat SelengkapnyaHadiwijoyo. Beliau Ario Penangsang lebih punya hak tahta itu. Ayahnya Pangeran Surowiyoto (P Sedolepen) disingkirkan. Shg trah kursi raja jatuh ke tangan Joko Tingkir/ Hadiwijoyo anak menantu Trenggono (dinasti syeh siti jenar).Awal berdirinya dinasti MATARAM oleh Pemanahan (ayahanda Danang sutowijoyo/anak angkat hadiwijoyo) Ringkasnya, kekuasaan itu tahta, tahta itu enak akhirnya memabukkan. Gaya ini diduplikasi mBah Harto dengan Orbanya.Orang jawa biasanya jatuh krn Tahta, Harta dan Wanita, dan isnya hanya bunuh-membunuh merebut 3ta itu.
Awal berdirinya Mataram ada tragedi Mangir Wonoboyo yg saat ini makamnya ada di Kotagede/Mentaok, sudah pernah ke sana..? Beliau putra mantu Sutowijoya (yang lebih populer dengan nama Panembahan Senopati) dengan putri Pembayun yang konon meninggalnya saat anak mantu itu sungkem mertua krn Pembayun sdh mulai hamil muda, kepala wonoboyo di benturkan di watugilang. Masalahnya dengan anak menantu saja tega apalagi dengan Bowo/tanto/mualim. Gaya itu yang terduplikasi pada para pejabat kita. Magelang dulu mrpkn wilayah Mataram, seandainya gaya itu menjadi inspirasi para pejabat magelang maka masih ada benarnya. Anda ingat Mas Amien Rais pernah cerita bhw beliau masih ada trah dari Mangir Wonoboyo. Tokoh ini pula yg meluluh lantakkan dinasti Orba. Artinya apa..? Cerita lama terulang, yaitu persaingan antara Sutowijoyo /mbah harto vs Mas Amien/Wonoboyo.( Mangir adalah mrpk tanah perdikan zaman Majapahit) Nah pasti Abang pusing dg cerita ini. Tentang wayang memang gaya solo-yogya beda. Solo lbh pd pertunjukkan sedangkan yogya lbh pada acr seremoni yang sakral, oleh krnya lbh mengutamakan pakem,solo tdk, artinya solo murni pertunjukkan.
Agak ngelantur, ttp yang jelas mari rapatkan barisan utk mengkritisi para pejabat Mgl baik kota-kabupaten. Niat kita baik pilih Bupai/Walikota yg siap dg amanah rakyat spt cetusan nurani Abang.
Malam Bang hormatku.......
Eko Magelang:
BalasHapusya inilah sisi sisi yang dr dulu selalu muncul dalam kegiatan yg melibatkan wong cilik, mungkin tdk hanya di magelang saja, kota2 lain nampaknya senang dan nguri2 budaya feodal ini, lha wong kita itu lama dijajah sama walondo je, ya sikap feodal itu masih nampak melekat bahkan sebagian orang mempertahankan gaya hidup yang menurut saya "njelehi" ini... Lihat Selengkapnya.
tapi setidaknya wong cilik sudah bisa menikamti hiburan itu, sehingga untuk berfikir yang meminggirkan/dipinggirkan itu tak sempat, pokonya rakyat iso nonton dan saya bisa ongkang2 kepenak, wuh....menjengkelkan.
Tetet Srie WD:
BalasHapusTulisan yang menarik; Info terbaru betapa dekaden nya walikota Magelang dan jajarannya, sekaligus mencerminkan tak ada lagi penjaga keluhuran di situ. Saya ingin menduga ada korupsi tapi tak berani; 1 milyar bro'. Thanks berat, n Salam hormat.
Mualim M Sukethi:
BalasHapusTo All. Sikap elite Mgl dlm hajatan budaya ini sesungguhnya cermin dr bgmn mereka menyikapi problem wong cilik. Yg lbh kongkrit lagi dlm kasus Pasar Rejowinangun. Di dunia ini, mungkin hanya terjadi di Mgl, sebuah pasar yg merupakan urat nadi ekonomi kota dan tempat bergantung puluhan ribu warganya, dibiarkan blangkrak selama 3 tahun ini.
Sbg warga... Lihat Selengkapnya asli Magersari Mgl, dimana sebagian besar pedagang itu tinggal, setiap pulang kampung sy mendengar rintihan mereka, stres mereka...nggegirisi bro. 3 th mereka tak punya penghasilan yg memadai. dagangan hbs terbakar, tabungan ludes tuk biaya hidup slm 3 th terakhir ygt tak jelas.
Pdhal slm 10 th terakhir, orde reformasi, Mgl dikuasai PDIP yg mengklaim partainya wong cilik, sampai ada kadernya yg mengaku bernama Joko cilik (calon AA2). Tp perilaku mereka jauh dr harapan wong cilik.
Demikian pula, ketika masalah Pasar Rejowinangun ini diajukan kpd para kandidat Walikota/wakil, tak ada jawaban kongkrit ttg hal ini. Mereka juga tak punya visi ttg Mgl mau dibawa kemana (Jd judul tulisan sy mestinya MAGELANG, QUO VADIS ?). Bahkan yg berasal dr birokrasi dan DPRD pun terkesan tak memahami peta persoalan kota Mgl. Apalagi yg dr luar Mgl.
Mereka mestinya bs belajar, misal, dr Pemkot Jakarta Selatan ketika membangun Pasar Taman Puring usai terbakar, yg merangkul koperasi pedagang (tdk melibatkan pengembang), shg harga jual kios2nya lbh terjangkau.
Atau dr Walkot Solo, yg mengatasi masalah PKL dgn membuat cluster2 ekonomi baru tuk menampung PKL itu. Mslh ekonomi teratasi, mslh lingkungan pun terjaga.
Saya sdh pelajari PDRB kota Mgl 10 th terakhir. Ekonomi hampir tak beranjak. Tingkat pertumbuhan rata-rata 5%, tp inflasi lbh dr itu. Artinya sekedar aman tp stagnan. Demikian juga hampir tak ada bidang usaha baru yg tumbuh di Mgl slm 10 th itu. Tak ada terobosan. Itulah mungkin yg dimaksud Bung Rizan 'tak ada kemajuan'.
Pdhal banyak potensi di Mgl yg sesungguhnya bs dikembangkan lbh optimal. Sy akan suka sekali kalo para elite Mgl bersedia mendiskusikan ttg potensi2 ini. Bersedia membuka diri demi kemajuan kota tercinta ini.
Pelukis Hardi:
BalasHapushahahaha ...itulah mas mualim. lebih dari separo umur saya saya habiskan untuk memprotes hal2 seperti itu . pejabat negara itu ,tak lebih KERE MUNGGAH BALE . mereka ningrat nya sepuhan bukan asli . jadi ya over acting . ningrat karnaval. saya usul kepada masyarakat magelang untuk tidak bodoh..kan ada hong jin ,ada tanto mendut ,dan pelukis2 mulyar2 itu ...terus dimana mereka dalam pesta ketololan ini berada ?
Yusuf Kusuma:
BalasHapussaya jadi ingat Mgr. Suharyo ketika ditahbiskan jadi Uskup Semarang. Dengan sandangan uskupnya dia tidak mau di sebut menduduki, tapi memangku......
Donny Eggers:
BalasHapus@ Pak Mualim,@Pak Hardi, aku ikut prihatin, walau aku bukan orang MGL Asli dan skarang berdomisili di Kalinegoro (Wilayah Kabupaten) tapi sempat sekolah dan di besarkan di kota Magelang, betul komentr Pak Hardi. Saya punya 2 formula u/itu, yaitu SABAR atau LEBIH KERAS DIBENTUR. klo mo lebih keras dibentur jangan tanggung2 sebab harga dari sebuah ... Lihat Selengkapnyaperubahan adalah pengorbanan, dan mereka memang harus dicambuk keras2. tapi klo mo sabar, ya udah diamkan saja (dingu sak matine) serahkan pada alam yang merubahnya.
mBilung Sarawita:
BalasHapusSaya punya mimpi, andai tahun depan diadakan Grebeg Gethuk lagi : Pasukan pengawal gunungan-gethuk dan kereta-kereta "bangsawan Kota Magelang" tidak usah lagi "menyewa" pasukan asli dan kereta asli dari kraton Jogja. Sebenarnya Kota Magelang tidak kekurangan warga yang cukup andal kalau cuma didhapuk jadi pasukan pengawal gunungan-gethuk. Dokar/... Lihat Selengkapnyaandong asli Magelang juga bisa dihias ("disulap") menjadi kereta untuk para "bangsawan" itu. Di samping anggaran biaya bisa menjadi lebih murah, warga asli Magelang juga bisa lebih banyak yang terlibat dan diuntungkan. Gitu kan ?
Kholilul Rohman Ahmad:
BalasHapushe he he...
mantapppszzz
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Mas Hardi. Elite Mgl malah ngga tahu siapa Hong Djien.Mereka blm pernah berkunjung ke museumnya yg terkenal itu. Kalau Tanto dianggap org kabupaten, jd disiriki.
@Mas Yusuf. Sebetulnya bhs Jawa telah memberi perbedaan yg jelas antara 'pamong praja' dan 'pangreh praja'. Tinggal kita pilih, elite Mgl itu di posisi yg mana ?
@Bung Donny. Saya hanya 'amar maruf nahi munkar'. Dlm konteks pers, menjalankan fungsi pers sbg pilar ke empat demokrasi, yakni memberi kesaksian jika 3 pilar yg lain (yudikatif, eksekutif, legislatif) tidak jalan. Dlm puisi Rendra 'orang2 hrs dibangunkan, kesaksian hrs diberikan, agar kehidupan ttp terjaga'.
@Mas mBilung. Kalau toh mau diadakan lagi, mestinya ada dekonstruksi. Konsepnya mesti ditinjau ulang, perlu nggak sih 'priyayi2an' spt itu? Dan pelaksanaannya serahkan pd profesional.
mBilung Sarawita:
BalasHapusSebentar Mas Mualim ... adakah istilah lain dari "profesional" ? Saya khawatir, dengan istilah "profesional", maka seniman & warga Kota Magelang akan semakin sedikit yang "dipakai" ... Atau mungkin bisa dibatasi saja: yang profesional itu EOnya saja (panitia), tetapi harus ada kontrak yang tegas: EO itu harus melibatkan sebanyak mungkin seniman & ... Lihat Selengkapnyawarga Kota Magelang, termasuk kelompok-kelompok seni di sekolah-sekolah (meskipun anak-anak & remaja ini belum berkualitas "profesional") ... Bagaimana ?
Mualim M Sukethi:
BalasHapus@Mas mBilung. Setuju. Kalo sampean memahami filosofi pemikiranku, pasti sadar bahwa sy tipe org yg bottom-up, kontekstual,menghargai local genius. EO semata organisatoris. Tanggungjawabnya nyari sponsor sebanyak2nya krn punya modal jaringan sbg profesional tadi, serta mengarahkan segenap potensi untuk menunjukkan kinerja optimal sesuai konsep atau... Lihat Selengkapnya grand design. Untuk pelaksana teknis, peraga, dan penampil tentu hrs out-sourching dan itu prioritas potensi Mgl sendiri.
Dlm kasus Dynand Fariz, misalnya, ia akan membawa 30 peraga(wati) yg berfungsi sbg 'pucuk lampah', yg menjadi cover dr parade. Sbb untuk melatih SDM baru, apalagi cewe2 Mgl yg agak malu2 kucing, menjalankan tugas itu tentu tdk gampang, butuh waktu lama.
Selebihnya, yg ratusan atau ribuan (kalau ada), ya pasti remaja Mgl sendiri. Itu yg ia lakukan ketika menjadi konsultan SBC (Solo Batik Carnival).
Sedangkan pengarah seni (artistic director) tentu dibutuhkan yg kompeten profesional. Kalau di Mgl tdk ada ya hrs realistis. Tp kan ada Tanto, misalnya.
Itu kalau tergantung saya. Kalau pemkot menunjuk saya. Atau sebaliknya, kalau saya mau...he he.
Donny Eggers:
BalasHapusSaya se7,pak Mualim, dan dalam cacatan saya demokrasi bukan hanya proses tapi juga bermakna perubahan, klo dg kritik tetap tdk juga berubah, ya harus diubah...dan pers juga agen perubahan.
Mualim M Sukethi:
BalasHapusMas Donny. Setuju. Kecuali kalau pers-nya sdh berubah jd agen kehumasan....pis.
Sakya Suu Kyi:
BalasHapusKemana ya calon walkot/wakilnya...kok nggak ada yg berani komen ya ? Pdhal sdh ditagg. Jangan2 wawasannya nggak nyambung ya...he he pis.
Rhr Mukti:
BalasHapustulisan apik, sy setuju!
selama ini wisata bergerak sendiri tanpa campur tangan pemerintah. kalaupun ada 'BANTUAN' ya itu sekedar PROJECT aja. banyak desas-desus ga enak kalo sudah menyangkut project pemerintah.
kebetulan sy punya grup WISATA MAGELANG yg sama dengan milik pak mualim, sy amati ternyata banyak warga MAGELANGan yg peduli dengan kota ... Lihat Selengkapnyakita (kab dan kodya).
tinggal bagaimana cara kita mengakomodasi dan menyalurkannya ...
mungkin antara sy dan p mualim dimulai dengan semangat BONEK dan biarkan mengalir apa adanya mengikuti waktu ...
sy percaya, kita semua punya harapan dan cita-cita indah tentang magelang. semoga ...
Mualim M Sukethi:
BalasHapusSaya sendiri tidak alergi dengan kata project, selama itu ditujukan dan bermanfaat sebesar-besarnya buat masyarakat. Dan di masa kini, sudah saatnya kita berjuang mengakhiri pengertian project yang berarti bagi2 duit di antara para elite.
Dengan kreativitas...AYO CIPTAKAN PROYEK2 BARU BAGI MASYARAKAT. Yang pasti tak harus bergantung pada pemerintah.
Rhr Mukti:
BalasHapusYang pasti tak harus bergantung pada pemerintah. <--- setujuh banget
Edi Wahjanto:
BalasHapusya.....mari kita dukung bersama wargo masyarakat magelang salam saking edi
Mualim M Sukethi:
BalasHapusTrims Pak Edi atas pengertiannya, dan mohon maaf kalau ada kata2 yg kurang berkenan. Mungkin dgn cara 'ngoprak2' demikian saya berkontribusi 'membangkitkan' teman2 Mgl, baik birokrasi mau pun senimannya. Tapi percayalah ini semua karena kecintaan saya terhadap kota kita ini.