Halaman

Maret 31, 2010

GEREJA ST. IGNATIUS MAGELANG, dari masa ke masa.


Borobudurlinks, 31 Maret 2010. Ketika tinggal di Magelang, saya tiap hari pergi-pulang sekolah melewati gereja Santo Ignatius ini. Sebuah gereja yang tergolong besar untuk kota sekecil Magelang. Sosoknya yang megah dan kokoh nampak serasi dengan lingkungannya, kompleks pasturan, yang terlihat lapang dan rindang oleh keberadaan beberapa pohon mahoni.
Bagi kami, remaja SMU, yang sering jadi bahan guyonan adalah gambar di dinding depan gereja ini, sketsa sosok pastur berkepala plontos memegang kitab bertuliskan AMDG. Secara guyonan kami mengartikan tulisan AMDG itu sebagai ‘Aku Mamerke nDas Gundul’ (Aku memamerkan kepala gundul).
Padahal AMDG itu arti sebenarnya adalah ‘Ad Maiorem Dei Gloriam’ (Demi Kemuliaan Tuhan yang Semakin Besar), yang menjadi semboyan Ordo Serikat Jesus yang didirikan Santo Ignatius, nama gereja ini. Itulah sepenggal kenangan masa remaja, yang nakal, jahil, penuh guyonan, menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Setelah 30 tahun berlalu, gereja yang terletak di Jalan Yos Sudarso, sebelah barat Alun-alun Kota Magelang, ini masih nampak seperti dulu. Tak banyak yang berubah dari sosok gereja ini beserta lingkungannya. Gedung pasturan, Panti Mandala, serta kompleks Sekolah Pendowo, yang luas seluruhnya sekitar 13.000 m2, masih terlihat utuh, terawat, bahkan kini terlihat bersih dengan pewarnaan bernuansa cerah. Beberapa jenis pohon, terutama mahoni, yang besar dan kokoh dominan menaungi kompleks peribadatan ini.

ROMO VOOGEL SJ.

Dalam sejarah misi Katholik di Jawa, sejak tahun 1865 tercatat dua orang anak bernama Yoseph dan Sanisa dipermandikan di Magelang. Namun jangan dibayangkan kalau permandian itu dilakukan di sebuah gereja yang megah seperti gereja Ignatius sekarang ini. Sebab, baru pada tahun 1890 tanah yang kemudian menjadi komplek gereja ini dibeli oleh Romo F.VOOGEL SJ. Kebetulan di atas tanah itu sudah ada suatu bangunan yang untuk sementara dijadikan tempat peribadatan.
Pembangunan gerejanya sendiri baru tercatat dilakukan pada tanggal 31 Juli 1899. Setahun kemudian, pada 22 Agustus 1890, sudah dapat digunakan untuk mempersembahkan misa kudus. Sedangkan pemberkatan gedung secara meriah pada 30 September 1900, dalam misa konselebrasi yang dipimpin Romo Mgr LUYPEN SJ dari Batavia, denagn didampingi oleh Romo MUTZAER SJ dari Cirebon, Romo ASSELBERGS SJ dari Jogya, Romo FISHER dan ROMO HEUVEL dari Magelang. Sedangkan Romo VOOGEL justru tidak bisa hadir, karena sakit dan harus kembali ke Belanda.
Selain itu juga hadir Residen Kedu, petinggi militer Belanda di antaranya Kolonel Van der DUSSEN, tokoh-tokoh masyarakat Cina, dan tokoh-tokoh pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat Magelang tidak terbatas pada umat Katholik saja.
Saat bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913, ketika seorang anak Jawa bernama Soewini (14) dipermandikan dengan nama Margaretha. Kemudian menyusul Maria Moerjati, dan sejanjutnya disusul lagi oleh 12 siswa HIS (kini SDK Pendowo). Bertambahnya masyarakat Jawa memeluk agama Katholik ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan dengan tinta emas, di antaranya Romo VAN LITIH SJ dan Romo JJ HOWENAARS MA SJ.

Perkembangan yang menggembirakan itu memunculkan pemikiran untuk memperluas gereja. Pada tanggal 15 Agustus 1926, perluasan dimulai dengan menambah dua sayap di kanan kiri induk bangunan, masing-masing selebar 3,5 meter. Keluarga ORIE yang kala itu tinggal di Belanda, menyumbang permadani untuk memperindah tampilan gereja.
Mulai tahun 1933, setiap hari minggu seusai misa siang, ada khotbah dan pelajaran agama yang disampaikan dalam bahasa Jawa oleh para Katekis. Sebagian besar para Katekis itu adalah siswa-siswa Perguruan Muntilan, hasil didikan Romo VAN LITIH SJ.


BENTURAN-BENTURAN PADA MASA REVOLUSI FISIK.

Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang berdampak pilu bagi kehidupan Gereja, khususnya di Magelang. Pastur-pastur berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp interniran. Penggunaan bahasa Belanda dilarang. Kehidupan gereja semakin dirundung sendu dengan meninggalnya Rama SONDAAL SJ.
Walaupun Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan Republik Indonesia yang merdeka pada 1945 diakui kedaulatannya, namun nasib baik belum berpihak kepada Gereja. Pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, dan digunakan sebagai markas mereka. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945, sebuah drama berdarah berbau fitnah menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang. Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder, dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang yang memancing di air keruh. Sepuluh orang ini dibawa dan dibunuh di komplek kuburan Giriloyo, Magelang. Tiga tahun kemudian peristiwa pembunuhan kembali terjadi. Romo SANDJAJA , yang saat itu dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H BOUWENS diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.

BENAH LANGKAH MENUJU HARI CERAH.

Warna kehidupan umat Katolik dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar juga menunjukkan perkembangan yang baik. Khusus di Magelang, hal ini tak lepas dari upaya gigih Romo TH HARDJOWASITO PR dan Romo VAN HEUSDEN SJ, yang berhasil men¬jalin hubungan yang baik antara gereja dengan masyarakat umum. Saat itu masyarakat Kampung Kauman dan sekitarnya, tak seorang pun yang tidak mengenal kedua Romo ini. Mereka menganggap dan merasa Gereja Ignatius Magelang merupakan salah satu bagian kehidupan mereka.


Nuansa keterbukaan dan keakraban ini semakin mekar berkembang setelah era Konsili Vatikan II. Justru ketika suasana panas melanda kehidupan masyarakat Indonesia menjelang dan setelah peristiwa Pengkhianatan G-30-S/PKI meletus, rasa persatuan umat Katolik dengan orang-orang Kampung Kauman semakin mengkristal. Dalam suasana kehidupan yang diwarnai saling curiga terhadap pihak-pihak yang tak sealiran, umat Islam dan Katolik, yang terwakili oleh Pemuda Kauman dan Angkatan Muda Katolik Magelang, lebih mengencangkan hubungan dengan baik. Demi menjaga keamanan, gedung AMKRI Magelang dijadikan "posko" bersama. Dalam suasana yang semakin kondusif, umat katholik Magelang bersama hierarki mulai memikirkan sarana peribadatan agar semakin memadai, salah satunya adalah renovasi gedung Gereja. Pada tanggal 1 Agustus 1962, dimulailah renovasi gereja dengan perencana dan pelaksananya dari kota Semarang.
Gedung yang semula bergaya Gothik dirombak total menjadi gaya yang sama sekali baru. Bebe¬rapa dari bagian gedung lama masih difungsikan sampai sekarang, di antaranya : jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja. Dana pembangunan dipero¬leh dari Keuskupan Agung Semarang, dari para donatur dan partisipasi umat melalui kolekte, dan juga uang saku pribadi Romo VAN HEUSDEN SJ. Pembangunan renovasi gereja selesai dalam waktu se¬kitar tiga tahun.

KEMBANG MEKAR DI TANGAN TUHAN

Renovasi bagi banyak orang yang menyatakan diri ingin dibaptis. Menyikapi hal ini, diadakan kursus katekis untuk mempersiapkan guru-guru agama dan karya pewartaan lainnya. Demikian pula pelayanan dalam pendidikan formal dengan mendirikan SDK Prontakan, serta sekolah-sekolah yang dikelola oleh suster-suster Tarekat Santa Perawan Maria di Dekil Magelang Utara.
Upaya ini semakin menambah jumlah umat yang untuk sementara berkembang secara kuantitatif. Perlu pemikiran untuk lebih memberi warna kualitatif lewat penggembalaan yang lebih baik. Pemikiran ini membuahkan keputusan untuk memecah Paroki St. Ignatius menjadi dua wilayah besar. Ini terjadi pada 1 Oktober 1971, dimana umat di wilayah Kecamatan Magelang Utara mandiri sebagai paroki dengan nama Paroki Santa Maria Fatima. Romo A. MARTADIHARDJA SJ, yang saat itu menjadi pastur Paroki St. Ignatius Magelang, sangat berperan dalam upaya pemekaran ini.
Kembang mekar selanjutnya juga terjadi di Paroki St. Ignatius sendiri, yang sampai dengan tahun 1983 dibagi menjadi tujuh wilayah penggembalaan : Magelang, Panjang, Rejowinangun, Tidar, Jurangombo, Kemirirejo, dan Cacaban. Semakin kecil dan sempitnya wilayah pastoral ini bukannya berarti juga memperkecil nyali dan mempersempit pola pandang umat dalam pengembangan iman. Justru semakin banyak umat yang tersapa lewat pelayanan dalam segala aspek. Demikian pula semakin banyak tumbuh benih-benih unggul yang sebetulnya berpotensi, namun belum sempat unjuk diri dalam partisipasi menggereja.
Upaya pemekaran ini semakin menyeruak seiring pemekaran wilayah pemerintahan dengan munculnya kelurahan-kelurahan baru. Kini Paroki St. Ignatius Magelang terbagi menjadi 13 wilayah penggembalaan. Penggembalaan semakin diefektifkan dengan membagi 13 Wilayah dalam 36 Lingkungan. Pembagian tersebut di luar stasi-stasi yang ada di lereng Gunung Sumbing, yang terdiri dariDampit, Kajoran, Kaliangkrik. (Disarikan oleh Mualim M Sukethi, dari buku ‘Merangkai Kisah, Kenangan 100 Tahun Gereja Katolik St. Ignatius Magelang/bolinks@2010).

1 komentar:

  1. Masih bagusan gereja santo Jusuf Gedangan Pengapon Semarang seperti gereja dinegeri Belanda atau Eropa

    BalasHapus