Halaman

Februari 22, 2010

Melihat Magelang Masa Lalu (3-habis)



Benar!!! Magelang Pusat Seni Rupa Terbesar di Dunia

Pembicara pada diskusi ‘’Visi Tata Ruang Kota Magelang’’ yang paling nyeleneh mungkin Oei Hong Djien dokter yang juga kolektor lukisan kondang. Orang asli Magelang yang biasa disapa OHD itu hidup di tiga generasi, masa penjajahan, revolusi dan era modern sekarang.

Dia mengaku bahagia karena bisa melihat Magelang zaman penjajahan, saat itu menjadi kota persinggahan dan pusat militer. Waktu kecil dia menceritakan pernah tinggal di Jl Tidar, banyak ruang publik yang digunakan bermaian bagik itu di kaki gunung tidar dan di bayeman.

Ruang hijau dan ruang publik banyak yang hilang, bahkan dibanding Kota Kudus menurutnya ketinggalan jauh. Padahal kota kretek itu dahulunya tandus dan gersang.

Dia sepakat ketika sekarang mulai menggeliatkan lagi Magelang sebagai kota pelajar dan kota transit juga Kota lukisan. Tapi ironisnya kondisi sekarang justru menjadi kota penuh ruko, baliho dan pedagang kaki lima. Menurutnya, kepentingan ekonomi tidak sinkron dengan budaya.

Padahal mengembangkan kota ruko pusat perekonomian kemudian ditinggalkan karena kurang menghasilkan. Bagaimana kalau kota hijau dan sejuk dikembangkan, maka akan lebih bergengsi.

Dia mencontohkan, di Austria kota kecil yang penuh dengan ruang hijau dan ruang publik yang indah. Magelang punya hutan dan gunung di dalam kota, potensi itu perlu didukung ruang hijau lain dan taman.

Geliat seni budaya juga mendukung cita-cita itu. Misalnya saja sebulan sebelum pameran atau pergelaran, seniman berlatih performance berbulan-bulan itu sudah menjadi bagian daya tarik wisata. Apakah masyarakatnya sudah siap befikir ke arah situ.

Menurutnya, Deddy Langgeng memiliki pusat seni rupa terlengkap di Indonesia bahkan dunia. Asal dikelola dengan baik dan didukung seluruh elemen masyarakat bisa mengembangkan ke arah pariwisata.

Dia juga mengusulkan bisa saja ada sebuah festival tahunan, menutup daerah pecinan. Berbagai geliat seni budaya selama sepekan di gelar di sana. Kawasan pedestrian yang bisa menarik wisatawan domestik dan luar negeri.’’Saya masih yakin jika dihijaukan dan ditata menjadi kota wisata Magelang akan bisa lebih baik,’’tambahnya.

Apa yang dibicarakan dalam diskusi mungkin saja masih dianggap sebagai sebuah wacana oleh pemerintah atau sebagian masyarakat. Hampir semua peserta yang hadir (para seniman, aktivis, akademisi, budayawan dan mahasiswa, wakil rakyat, pejabat), sepakat bahwa ke depan Magelang haruslah menjadi kota yang menjual keelokan panorama dan potensi geliat seni budayanya. Bukan menjadi hutan advertaising, dan ruko-ruko yang tak produkstif.

Apakah pernah membayangkan di Magelang memiliki aset seni rupa senilai Rp 2 triliun lebih tersimpan di rumah orang-orang kaya Magelang. Setiap tahunnya ada transaksi Rp 100-200 milyar rupiah. Ada banyak geleri seni rupa di kota getuk ini.

Salah satunya, di rumah OHD tersimpan 2000 lebih karya senirupa, 1.500 lebih lukisan, dan 500 lebih patung dan karya tiga dimensi. Karya sebanyak itu tersimpan rapi di rumahnya. Sebagian di plafon yang telah disulap menjadi tempat penyimpanan lukisan. Sebagian lagi dipajang di dua museum yang terletak di belakang rumahnya, yakni Museum Modern Art dan Museum Contemporary Art.(Sholahuddin al-Ahmed)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar