Melihat Magelang Masa Lalu (2)
Magelang yang Pernah Ditinggalkan Penduduknya
Magelang seperti cawan yang diapit dua sungai besar Elo dan Progo juga dikelilingi tujuh gunung menjadi daya tarik pergulatan peradaban dari zaman ke zaman. Dalam perjalanannya juga seringkali mengalami pasang surut.
Setelah masa kejayaan Hindu-Buddha, Magelang pernah ditinggalkan penduduknya karena letusan Gunung Merapi 1006. Wahyu Utami ST MT Peneliti Sejarah Arsitektur Kota Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menggunakan teori Van Bammelen dalam menganalisasa hilangnya peradaban di Magelang atau Kedu dan sekitarnya.
Dalam teori itu, menurutnya, Letusan Gunung Merapi disertai gempa berkekuatan dahsyat, hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol dan Pegunungan Menoreh.
Banyaknya korban meninggal menyebabkan wabah penyakit, sebagian orang yang selamat pindah keluar Magelang. Dia juga menggunakan asumsi lain, pindahnya penduduk Magelang, juga diakibatkan tanam paksa dan pembangunan candi pada Mataram kuno.
Pada saat itu ada perdebatan pembangunan Prambanan dan Borobudur, sebagian masyarakatnya terlibat dalam gotong-royong pembangunan dua candi itu. Karena pekerjaan yang tak pernah berhenti itu akhirnya Magelang ditinggalkan penduduknya.
Ada cerita legenda yang cukup menarik untuk membahas munculnya kembali Magelang dalam panggung sejarah, yang diawali dengan adanya usaha Panembahan Senapati untuk menguasai daerah Magelang yang diceritakan dalam Babad Alas Kedu.
Setelah mengalami kemunduran dan masa kejayaan, Magelang khususnya Bukit Tidar telah dikuasai oleh Raja Jin Sepanjang. Panembahan Senapati kemudian menyuruh beberapa tokoh masyarakat untuk membantu mengusir Raja Jin Sepanjang.
Muncullah kemudian Kyai Keramat yang membantu namun akhirnya tewas di daerah sebelah utara (keramat atau di Desa Kramat, sekarang). Kemudian Raja Jin Sepanjang lari ke arah Selatan dan dikejar oleh Nyai Bogem (tewas akhirnya muncul daerah Bogeman).
Patih Mertoyudo (tewas akhirnya muncul daerah Mertoyodan-salah satu Kecamatan di Kabupaten Magelang) dan Raden Krincing (tewas akhirnya muncul daerah Krincing, daerah di Kecamatan Secang Kabupaten Magelang). Menurut Wahyu, selain itu juga muncul nama-nama daerah sebagai basis pertempuran antara lain Bodongan, Plikon dan Geger.
Pembenahan dan pembangunan kota Magelang, lanjut dia, secara umum mengubah wajah Kota Magelang. Dahulu Belanda merias wajah kota dengan bangunan elok dan panorama gunung dan sawah yang indah menghampar.
Setidaknya, pembangunan itu selaras dengan Magelang yang memiliki potensi panorama alam yang kuat. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, pembangunan tak lagi mengindahkan masterplan peninggalan Belanda yang menitik beratkan pada perpaduan alam dan pembangunan.
‘’Pembangunan yang tak mengindahkan ruang hijau dan menggusur bangunan-bangunan kuno itu semakin gencar mulai tahun 2000. Sebelumnya saya meneliti di sini kondisinya masih bagus, meski sudah ada bangunan-banguan modern di mana-mana,’’katanya.
Dikatakannya, jika Magelang akan mengangkat keindahannya sebagai pontensi wisata maka pembangunan kotanya harus tetap konsisten pada pembangunan yang berbasis lingkungan. Kota Magelang bisa diangkat mendampingi kawasan wisata Borobudur, dengan potensi alam ruang hijau dan gunung tidarnya.
Sependapat dengan hal itu, pembicara lain dalam diskusi ruang publik Edy Soetrisno, Pengembang yang juga Anggota DPRD Kota Magelang, mengatakan jika Magelang ingin maju sudah selayaknya menghargai sejarah. Perjalanan dari abad ke abad Magelang kaya akan nilai sejarah yang ditinggalkan pendahulu.
‘’Ke depan harus bisa mengantisipasi pembangunan yang tak mengindahkan nilai-nilai sejarah itu. Harus berani melakukan gerakan moral, menyelamatkan warisan budaya itu,’’tambah Eddy.(Sholahuddin al-Ahmed)
Anda bisa posting-ulang artikel ini atau dengan mencantumkan link ini:
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/02/melihat-magelang-masa-lalu-2.html?m=0
http://borobudurlinks.blogspot.com/2010/02/melihat-magelang-masa-lalu-2.html?m=0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar