Halaman

Februari 22, 2010

Melihat Magelang Masa Lalu (1)



Keunikan Magelang dengan Tujuh Gunungnya

Melihat perjalanan massa lalu Magelang sungguh menarik, perjalanan waktu dari Hindu-Buddha kemudian pendudukan Inggris VOC dan Belanda hingga sekarang. Semua itu dikupas dalam diskusi borobudurlinks.com ‘’Visi Tata Ruang Kota Magelang’’, berikut laporan Sholahuddin al-Ahmed.

Ada yang menarik dari pemaparan Wahyu Utami ST MT (Peneliti Sejarah Arsitektur Kota Universitas Gajah Mada), salah satunya mengungkapkan adanya bukti sejarah bahwa Magelang atau Kedu sudah memulai peradabannya pada 78 M.

Berdasarkan sumber cerita rakyat diceritakan tentang datangnya serombongan orang Rum yang dipimpin Raja Pendeta Ngusmanaji mencoba masuk ke wilayah Jawa khususnya Kedu akan tetapi gagal karena terserang penyakit.

Rombongan kedua yang disengaja tanpa orang Rum yaitu dengan mendatangkan orang-orang Keling, Seiloh dan Siam, mencoba membuka lahan kembali yang dimulai ekspedisinya tahun 83 M dan pada tahun ke lima berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M. Kemudian mereka menancapkan tongkat tumbal di 5 lokasi di Jawa, salah satunya di Bukit Tidar oleh Syeh Subakir.

Kemudian dia meloncat menceritakan Magelang pada masa Mataram Kuno, bermula dari cerita Raja Sima yang sangat terkenal dari Kalingga melarikan diri karena gempuran dari kerajaan yang ada di Jawa Barat dan akhirnya mendapat tempat di Lereng Gunung Merapi (Prasasti Canggal), maka dimulailah babak baru berkembangnya kawasan Magelang sekarang ini.

Mataram Kuno di Magelang dimulai Raja Sanjaya yang membuat prasasti Canggal tahun 732 M, di Gunung Wukir, Lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang kemudian menjadi Raja Mataram Kuno yang pertama.

Keberadaan prasasti itu, setidaknya menjelaskan Magelang dengan latar belakang Bukit Tidar sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan baru yaitu Kerajaan Medang. Hal itu juga dikuatkan Prasasti Tuk Mas (Kabupaten Magelang) 500 M yang bercerita tentang adanya sumber air yang bersih yang disamakan dengan Sungai Gangga.

Zaman Mataram
Pada masa Kerajaan Mataram Hindhu, Magelang diperkirakan mulai dikenal lebih luas pada masa pemerintahan Rake Watukara Dyah Balitung (898-908 M) dengan memerdekakan beberapa daerah yang ada di Magelang mulai tahun 905 M yang tertuang dalam prasati Poh (905M).

Pada masa pemerintahan Raja Balitung istana Mataram Hindhu berada di daerah Medang I Poh Pitu (Kedu). Daerah yang dijadikan daerah perdikan adalah daerah Mantyasih dan Poh sebagai daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima.

Peneliti yang juga kelahiran Magelang, itu mengurai tentang sesuatu dibalik Prasasti Mantyasih. Antara lain mengungkapkan fakta bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan ‘’Mantyasih’’ yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan.

Selain Prasasti Mantyasih juga sebelumnya telah ada Prasasti Poh yang terletak di Kampung Dumpoh (sekarang). Menurutnya, Magelang menjadi daya tarik karena letak geografisnya. Dikelilingi tujuh gunung antara lain, Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo dan Sumbing. Di aliri dua sungai besar, yakni Elo dan Progo.

Di tanah cekungan ini menurutnya, sejak dahulu merupakan hamparan tanah dipenuhi sawah dan hutan. Pada zaman dahulu itu menjadi magnet orang-orang untuk datang dan bercocok tanam.

Pada zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC Magelang dijadikan markasnya. Pada zaman penjajahan Belanda, juga dijadikan pusat pemerintahan dan militer.

‘’Pada masa penjajahan orang-orang Belanda suka dengan Magelang membuat vila karena panorama indah pegunungan dan aliran sungai yang menjadi sumber penghidupan,’’katanya.

Dikatakannya, daya tarik Magelang dengan tujuh gunung dan dua sungai besar itu, kini justru tenggelam. Seiring dengan pembangunan gedung bertingkat dan alih fungsi persawahan dan ruang hijauh menjadi bangunan atau perumahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar