Halaman

November 11, 2009

RIYADI MELAMBUNGKAN KESENIAN RAKYAT MERBABU.


Antara, 10 Nov 2009 Oleh : M. Hari Atmoko.

Bukan suatu ironi bagi Riyadi karena sama sekali dia tidak bisa menari, tetapi kiprahnya mengelola kebudayaan dan kesenian selama ini justru telah mengangkat kesenian rakyat petani kawasan Gunung Merbabu di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Spirit berkesenian bagi Riyadi ternyata tidak mesti digeluti dengan keharusan dirinya naik panggung pementasan bersama masyarakat setempat.
"Saya sudah telanjur senang berkesenian, sejak kecil, tetapi sampai sekarang saya tidak bisa menari. Hidup ini bagi saya adalah berkesenian. Saya mengelola potensi kebudayaan masyarakat saya dan tentunya saya harus bergaul tidak hanya di desa ini, tapi di mana saja dan dengan siapa saja," katanya.
Riyadi adalah kepala Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, sejak 2002. Jabatan itu akan dilepas pada 2012, tetapi kedudukan sebagai petinggi komunitas kesenian di Merbabu tak akan pernah luput dari tangannya.
Desa Banyusidi di ketinggian sekitar 850 meter dari permukaan air laut, terletak di lereng barat Gunung Merbabu. Jumlah penduduk desa dengan luas sekitar 736 hektare itu sebanyak 6.613 jiwa atau sekitar 1.400 kepala keluarga, terdiri atas 21 dusun. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani holtikultura.
Basis keseniannya di dusun tempat tinggalnya yakni Gejayan di ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air dan berpenduduk 519 jiwa atau 136 kepala keluarga. Dia juga menjadi Ketua Komunitas Warga Budaya Gejayan.
"Kalau teman-teman lurah dan Pak Camat sering menyebut saya 'lurahe kesenian', itu sebutan yang biasa," kata lelaki berumur 34 tahun dengan istri Slamet Rahayu (34) dan dua anak yakni Febri Prasetyo Putro (10) dan Agus Prasetyo Putro (9) itu.
Berbagai kesenian tradisional setempat antara lain soreng, bali mendres, cakar lele, badui, rodat, topeng ireng, warok, jaranan kreasi, ramayana, grasak, kobra, wayang kulit, dan ketoprak. Berkat sentuhan spirit dan pengelolaan berbagai gagasan kreatif Riyadi, seniman petani setempat telah melahirkan sejumlah kesenian baru yang berbasis ekologi pertanian Merbabu, antara lain kipas mego, truntung gamelan, truntung soreng, gupala gunung, seblak kulup, soreng putri, geculan bocah, dan warok bocah.
Masyarakat setempat pun juga melestarikan tradisi tahunan warisan leluhur seperti sungkem telompak, aum atau kenduri Rajab dan aum Saparan, nyadran makam, dan nyadran bendungan. Setiap dusun, katanya, memiliki grup kesenian rakyat. Mereka tak hanya pentas karena tanggapan atau pesanan dari orang setempat yang sedang berhajat tetapi juga di berbagai kota besar seperti Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta termasuk di Istana Negara telah menjadi catatan kebanggaan masyarakat petani setempat.
"Warok bocah secara khusus beberapa tahun lalu tampil di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara, Ani Yudhoyono, saat berkunjung ke Magelang. Anak-anak senang, Ibu Ani juga tersenyum gembira melihat anak-anak menyuguhkan tarian warok bocah yang terlihat lucu," katanya.
Ia mengaku berperan sebagai pengatur lalu lintas bagi semua grup kesenian rakyat di desa itu untuk mengikuti kesempatan pementasan di kota-kota itu. Tidak ada patokan khusus soal bayaran bagi pementasan mereka karena pentas seni rakyat bagi orang desa adalah segala-galanya, suatu penghargaan atas martabat masyarakat desa.
Selama ini, katanya, bayaran tertinggi atas pementasan kesenian desa itu di salah satu kota mencapai Rp11 juta. "Itu bukan hanya untuk uang saku, tetapi untuk menghidupi kelompok, membeli kostum baru, dan 'make-up', untuk kas. Tentu kalau anggota kami harus pentas di luar kota, mereka harus pulang membawa uang saku sebagai ganti mengolah lahan pertaniannya," katanya.
Pentas keluar kota selalu dianggap Riyadi sebagai kesempatan memelesirkan masyarakat desanya.
"Bayangkan kalau dimenej sebagai rekreasi murni, habis berapa puluh juta untuk puluhan orang berwisata, tentu berat bagi orang desa kami, tetapi melalui kesenian, saya memberi kesempatan warga dusun pelesir, melihat keramaian kota besar, menikmati udara panas dan merasakan kemacetan lalu lintas Jakarta dan mereka bersuka ria," katanya.
Intensitas tinggi berkesenian Riyadi, diakuinya tidak lepas dari pergaulan dengan komunitas seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung Magelang. Magelang dikelilingi lima gunung yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Ia mengaku, banyak belajar mengelola pergaulan dengan masyarakat melalui pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, sejak 2002.
Kades itu pun merasa 'nyantrik' kepada Sutanto dengan ditandai lahirnya ansambel musik kontemporer desa, Truntung Gamelan. Truntung adalah musik pengiring tarian soreng. Ia juga bergaul dengan komunitas seniman petani Merapi "Padepokan Tjipto Boedoyo Tutup Ngisor" pimpinan Sitras Anjilin. Bahkan hingga saat ini komunitas Gejayan menyadari kewajiban kulturalnya untuk pentas setiap perayaan tahun baru Jawa, "Suran" yang menjadi salah satu di antara empat tradisi wajib padepokan yang dibangun almarhum Romo Yoso Sudarmo pada 1937 itu. "Pentas di 'event' itu sebagai ziarah kami kepada Romo Yoso," katanya.
Sejak Festival Lima Gunung ke-3 pada 2004, Riyadi berkiprah secara penuh, menggiring masyarakatnya, menumpahkan energi budayanya secara total untuk memeriahkan hajatan kesenian dan budaya lima gunung itu. Sutradara Garin Nugroho pun memanfaatkan energi berkesenian komunitas petani Merbabu dalam pembuatan film "Opera Jawa" pada 2005 yang sukses itu dengan bintang antara lain Artika Sari Dewi, Martinus Miroto, dan Eko Supriyanto.
Selain itu, sutradara Arswendo Atmowiloto juga tak luput memanfaatkan mereka pada produksi film berjudul "Anak-Anak Borobudur" pada 2007, dengan bintang antara lain Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Nungki Kusumastuti, Butet Kertaradjasa, Adi Kurdi, dan Adadiri Tampalang.
Suatu ektase budaya, katanya, adalah prestasi tertinggi yang dicapainya setiap kali menggelar pementasan kesenian rakyatnya. "Di setiap pentas, di situlah saya merasa menguras seluruh energi, pikiran, tenaga dan semangat hidup," katanya.
Tiga foto ukuran besar di atas kertas vinyl berpigura terpampang di ruang tamu rumah Riyadi yang masih berlantai tanah, namun sudah terlihat gaya artisitiknya. Tiga foto itu terdiri atas dua foto tentang adegan film "Opera Jawa" dan satu foto peresmian "Monumen Lima Gunung" di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, sekitar tiga kilometer timur Candi Borobudur.
Tampak di dalam foto Monumen Lima Gunung itu, Riyadi berdiri berjajar dengan Sutanto Mendut, Mardiyanto (ketika itu Gubernur Jateng), Eko Budiarjo (ketika itu Rektor Undip), dan Darmanto Jatman (Budayawan Semarang), serta pegiat LSM Sahabat Perempuan Magelang, Wariyatun. Belasan kuda kepang terpampang di setiap dinding ruang tamu rumah Riyadi yang telah direhab dari dinding kayu menjadi tembok sejak 2006 itu.
Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum, katanya, sedang menjajaki suatu proyek penataan ruang di desa itu termasuk salah satunya pembangunan suatu pendopo padepokan di samping rumah tinggalnya. "Akan dibangun padepokan," katanya.
Pengajar tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, Rakhmad Murti Waskitho, menilai, Riyadi sebagai sosok manajer dusun yang cukup mumpuni dan berbakat alam. "Ada bakat alam yang dimiliki, ia memiliki kemampuan menangkap melalui kecerdasan alaminya, mengelola potensi lingkungan. Bahwa melalui kesenian namanya bahkan lebih besar ketimbang jabatan kadesnya," katanya. Eksplorasi berkesenian, katanya, tak hanya lewat pementasan langsung seseorang di panggung pertunjukan. Riyadi telah membuktikan kemampuannya mengelola komunitas gunung, meskipun dirinya tak bisa menari.
Sutanto yang juga pengelola Studio Mendut itu mengatakan, bukan penghargaan formal yang menjadi kepuasan batiniah Riyadi dalam intensitas berkesenian. "Penghargaan tertulis dalam lembar-lembar kertas menjadi tidak penting bagi orang seperti Riyadi. Darahnya sudah menjadi darah bewarna seni, ketika warganya menari, ketika truntung dan gamelan ditabuh, dia di belakang semua itu, di situlah letak pencapaian kepuasan batin," katanya.
Relatif banyak orang tak hanya dari dalam tetapi juga luar negeri sudah bertandang ke Gejayan untuk melihat karya-karya kesenian komunitas petani yang dipimpin Riyadi. "Berapa saja orang luar negeri yang sudah ke sini, saya tidak pernah menghitung. Mas Garin, Arswendo, Mas Rendra (W.S. Rendra,red), Slamet Gundono (dalang wayang suket,red), dan banyak lagi yang telah menyerap 'virus Gejayan'. Termasuk hari ini, jam sebelas kurang sepuluh menit adalah penghargaan khusus untuk saya, karena kunjungan anda (penulis,red)," kata Riyadi.
"'Senggakane' (soraknya,red.) 'dur'," demikian salah satu ungkapan yang sering diucapkan Riyadi (bolinks@2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar