Halaman
▼
November 06, 2009
Meditasi Cicak Versus Buaya
Seniman Lima Gunung Ingatkan Adanya Hukum Karma
oleh Sholahuddin al-Ahmed
Skenario dagelan hukum di negeri ini mencapai alur cerita yang sangat menarik. Berawal dari kisah cicak dan buaya yang dilontarkan pejabat Polri alur dalam hitungan detik cerita itu telah menapaki tangga dramatik menegangkan.
Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), siapa melawan siapa sudah jelas ‘’Ibaratnya di sini buaya di sana cicak, buaya kok dilawan’’. Setelah dialog itu muncul kisah berlanjut penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra H Mamzah, dua unsur pimpinan (nonaktif) KPK.
Skenario berubah lagi, ketika remakaman Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan di putar di Gedung Makamah Konstitusi. Setiap detik dan menit cerita berkembang secara alami, menjadi skenario besar dalam dagelan hukum di negeri ini.
Skenario itu kemudian dimainkan lagi oleh para seniman Lima Gunung dengan judul ‘’Meditasi Cicak Vs Buaya’’ di Studio Mendut, Mungkid, Kabupaten Magelang, Rabu (4/11) sore.
Namanya saja dagelan hukum, pasti mengundang tawa. Mungkin bukan buah tawa saja yang disuguhkan para seniman. Tapi komedi yang menjadi kitab relfleksi, sindiran atau bahkan sebagai tamparan bagi pejabat yang sedang berseteru.
Buaya besar itu diperankan oleh pemahat kondang dari Lereng Merapi, Ismanto. The Master Topeng Kencono Sujono menjadi cicak yang bertengger di atas genting Studio Mendut.
Ismanto mengenakan topeng buaya dengan mulut yang panjang, di pinggangnya dipasangi ekor buaya terbuat dari bahan karet. Seluruh tubuhnya dibalut warna putih. Dia dikelilingi beberapa orang telanjang yang tubuhnya juga dibalut warna putih.
Tak ada ilustrasi musik dalam performance itu, juga tak ada kata yang terucap dari mulut mereka. Semua seperti membisu dan terbenam dalam gerakan-gerakan teaterikal.
Cicak yang diperankan Sujono dan beberapa seniman gunung lainnya, mengenakan kostum hitam. Tubuhnya bertato gambar cicak warna hitam. Kemudian mereka beradu dengan buaya putih. ‘’Buaya kok dilawan’’, seperti skenari di atas buaya tampil sebagai pemenang.
Pemilik Studi Mendut dan juga pimpinan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut mengatakan, para pejabat harus belajar soal kejujuran dari para seniman desa dan gunung. Apa yang terjadi saat ini adalah karma atas apa yang terjadi di dunia hukum selama ini.
Perseteruan antara Polri dan KPK, menurutnya adalah karma elit, tapi sebenarnya, di ranah jelata bisa melihat selama ini, bagaimana upaya penegakan hukum yang memang telah buruk.
‘’Kita bukan memihak dan bukan pula memprediksi siapa yang menang. Tapi semua ini adalah proses pembelajaran bersama tentang hukum,’’katanya.
Apa yang disuguhkan adalah memberikan perspektif dan alternatif hukum dari sudut pandang kebudayaan dan kesenian. Kisah cicak dan buaya hanya sebagian kecil dari skenario dagelan hukum di negeri ini.
Menurutnya hukum seperti petir bagi rakyat kecil tapi menjadi lahan basah bagi pejabat. Rakyat kecil tidak bisa berbuat apa-apa ketika dianggap
melanggar lalu lintas. Hukum adalah milik petani juga seniman sebagai rakyat, bukan dimainkan dan diperdagangkan.
Pimpinan Komunitas Teater Gadung Mlati, Ismanto, mengatakan hukum karma
adalah sebab akibat atas apa yang dilakukan. Ini adalah proses alamiah
dan tidak bisa dihindari manusia. Apa yang dilakukan saat ini, tentu
akan ada akibatnya, yang baik akan menuai kebaikan dan yang buruk pun
akan terlihat.
‘’Hukum Undang-Undang bisa dihindari, disalahgunakan dan diberi intrik,
tetapi hukum karma tidak. Hukum karma akan datang dan menjadi jawaban
perilaku dari manusia,’’katanya.
Hukum karma yang diungkapkan Ismanto baik melalui performancenya dan perkataanya mungkin menjadi pencerahan bagi yang sadar akan adanya pembalasan bagi yang tak jujur. Jauh sebelum negeri ini terbentuk, hukum karma sudah tertulis di relief Candi Borobudur. Salah satunya adalah relief karmawibangga, mungkin akan menjadi falsafah abadi bagi hukum dan karma umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar