Halaman

Oktober 25, 2009

SYANG ART-SPACE.


Ridwan Mulyosudarmo: Magelang Bisa Jadi Kota Galeri.

Borobudurlinks, 15/10-09.
Taman Gladiol, dulu, dikenal oleh masyarakat Magelang sebagai taman rekreasi yang multiguna. Dinamai taman Gladiol, konon, pada jaman Belanda banyak ditumbuhi bunga gladiol. Setelah kemerdekaan, tempat itu menjadi sarana rekreasi terbuka yang merakyat. Tempatnya yang mirip cekungan, berada di antara kompleks perumahan lama bergaya kolonial dan lembah Progo dengan Gunung Sumbing di kejauhan. Elok nian…..
Itu dulu. Kini, jangan harap Anda bisa menemui taman itu lagi. Di bekas taman itu kini berdiri deretan rumah-rumah modern, sebagian berarsitektur romawi (maunya), dengan pilar-pilarnya menjulang ke angkasa. Inilah konsekuensi modernisasi yang ‘kebablasan’. Menggusur apa saja, demi bangunan beton. Ruang terbuka hijau (RTH) yang memang sedikit di Magelang, hilang satu demi satu.

Untung ada Ridwan Mulyosudarmo (55 th), seorang arsitek/kontraktor sekaligus kolektor lukisan terkemuka, yang kemudian menyulap sebuah restoran di deretan bangunan itu menjadi sebuah galeri atau rumah seni. SYANG ART SPACE, nama rumah seni itu setidaknya mengembalikan keberadaan ‘ruang publik’ di lingkungan itu. Bedanya, dulu Gladiol beraspek lingkungan, kini Syang Art Space beraspek kebudayaan.
“Saya mendirikan galeri ini karena dukungan teman-teman, terutama dokter Hong Djien, “ kata Ridwan, dalam suatu perjumpaan di kantor galeri, yang terletak di lantai dua bagian belakang. Tadinya selama 5 tahun, Ridwan dan istrinya memanfaatkan bangunan berbentuk ruko ini sebagai restoran. Namun karena bisnis resto di Magelang sudah sampai titik jenuh, Ridwan pun berpikir lain. Apalagi koleksi lukisan dan benda seni di rumahnya mulai menumpuk tak terkendali, dan membutuhkan sarana untuk memajangnya.
Saat itulah Hong Djien mengatakan: “Bikin galeri “. Ridwan pun tanpa berpikir panjang lagi langsung mengubah resto itu menjadi galeri. “Selain untuk sarana pameran, galeri ini saya maksudkan sebagai tempat ngumpul bagi komunitas seni di Magelang, “ lanjut Ridwan .
Ridwan mulai mengoleksi lukisan sejak awal tahun 90-an. Ia bersama teman-temannya yang tergabung dalam “Kelompok Lima” tergolong generasi pertama “murid” Hong Djien. Selain Ridwan, empat lainnya adalah Harmanto, Ongki, Che Kong, dan Kris Dharmawan. Yang disebut terakhir adalah pemilik Galeri Semarang, yang kini dianggap sebagai galeri terbesar dan berpengaruh di ibukota Jawa Tengah itu.

Bekas resto itu kemudian di desain ulang. Dua ruang utama, di lantai 1 dan 2, dijadikan arena memajang karya seni, lukisan dan patung. Bagian belakang lantai 1 dijadikan ruang serbaguna. Di ruang itu seringkali dimanfaatkan menjadi studio lukis oleh para pelukis tamu (artist in residence).
Bagian belakang lantai 2 dijadikan kantor dan ruang pribadi Ridwan. “Saya sering menerima tamu pribadi atau teman-teman di sini, “ kata Ridwan sembari membuka horden jendela. Dari jendela itu nampak gunung Sumbing dengan lembah sungai Progo-nya. Di luar gedung berwarna dominan merah bata, itu juga diletakkan sebuah totem setinggi 2,5 meter, yang menjadi semacam penanda bahwa gedung ini berfungsi kebudayaan.
Syang Art-Space dibuka secara resmi tanggal 18 Januari 2009, lewat orasi penyair Rendra. Sejak dibuka, hingga September 2009, sudah 4 kali pameran diadakan di galeri ini. Pameran pertama bertajuk “Friendship Code”, menghadirkan 22 karya seni kontemporer baik lukis maupun seni instalasi dari 22 seniman asal Yogyakarta dan Bali.
Sedangkan untuk menutup tahun 2009, ini Syang Art-Space akan memamerkan karya-karya Putu Adi Gunawan. “Setidaknya 5-6 pameran yang kami adakan setiap tahunnya, “ urai Ridwan tentang agenda galerinya.
Apakah menguntungkan membuka galeri di Magelang ? “Secara bisnis, untuk saat ini, belum menguntungkan, “ jawab Ridwan tegas. Apalagi, menurut arsitek lulusan Universitas Gajah Mada (UGM), itu mengelola galeri itu cukup ribet. Harus membuat agenda pameran.

“Mengemas pameran itu tidak gampang. Biayanya cukup mahal, sekitar 50 juta rupiah sekali pameran di tempat. Memenej seniman juga tidak mudah, “ ungkap Ridwan. Menurut Ridwan, seniman seringkali kurang professional: tidak tepat waktu, karya yang dipamerkan tidak sesuai janji karena yang istimewa sudah dijual dulu, membuat CV yang tidak meyakinkan, dll. “Padahal pilihan terhadap seniman adalah citra galeri, “ katanya.
Namun Ridwan menambahkan, tujuan mendirikan galeri bukan semata-mata mengejar keuntungan materi, “Galeri juga sarana untuk mendidik masyarakat “ . Untuk itu, saat pameran mau pun tidak ada pameran, Syang Art-Space tetap membuka diri bagi masyarakat Magelang. Hari libur pun diusahakan buka.
“Saya membayangkan, bukan tidak mungkin, suatu ketika Magelang menjadi kota galeri, “ jawab Ridwan ketika ditanya kaitan usaha galeri dan prospek pariwisata Magelang. Sekarang saja, selain warga Magelang, banyak warga dari luar kota dan turis manca Negara yang mengunjungi Syang Art-Space. “Turis-turis asing itu kebanyakan tamu Amanjiwo, “ papar Ridwan menyebutkan sebuah hotel internasional yang terletak di Borobudur.
“Banyak juga utusan galeri atau balai lelang dari luar negeri yang datang khusus ke Magelang untuk kulakan lukisan. Soalnya hanya dengan datang ke Magelang, lukisan-lukisan terbaik dari seluruh Indonesia bisa mereka dapatkan, “ lanjut Ridwan sambil memperlihatkan beberapa catalog pameran yang pernah diadakan di kota militer itu. Dari buku-buku itu, bisa dilihat siapa saja seniman dan kualitas lukisannya. Selain menunjukkan keberagaman asal seniman, kualitas lukisan yang dipamerkan memang tergolong yang terbaik dari senirupa Indonesia saat ini (bolinks@2009).

SYANG ART-SPACE.
Jalan MT Haryono No. 2 Magelang 56122
Ph. +62 293 360963
Fax. +62 293 365192
Syang_art@yahoo.com
www.syangart.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar