Halaman
▼
Oktober 23, 2009
BENANG KUSUT PARIWISATA: PR BUAT JERO WACIK.
Borobudurlinks/Kompas, 22/10-09. Ingar bingar pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II baru saja berakhir. Sebanyak 34 menteri Kamis (22/10) siang telah dilantik. Sejumlah wajah baru mewarnai susunan kabinet, tapi sejumlah wajah lama ada yang masih bertahan. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata adalah satu diantara sekian wajah lama yang masih dipertahankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Satu periode menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero mestinya mafhum mengenai kekusutan pariwisata Indonesia. Ada kesempatan lima tahun lagi bagi Jero untuk mengurai kekusutan itu. Mari sejenak merenung tentang betapa kayanya tanah air Indonesia. Tentang keunikan masing-masing lebih dari 17.000 pulau, keindahan surgawi pantai-pantai yang membentangi, sekaligus keberagaman etnis yang mendiami.
Tanyakan pada wisatawan apa yang ingin mereka lihat sepanjang waktu liburan mereka. Indonesia punya semua jawabannya dari sejak pelancongan zaman jurrasic di Pulau Komodo hingga urban futuristik di sejumlah kota besarnya. Namun, Indonesia yang layaknya lumbung pariwisata dan budaya belum juga mampu beranjak menjadi negeri pelancongan yang berdiri sejajar dengan para tetangga di ASEAN sebut saja si Uniquely Singapura, si Trully Asia Malaysia, dan si Amazing Thailand.
World Economic Forum pada 2009 menempatkan Indonesia pada urutan ke-81 dari 130 negara yang dinilai dari sisi pariwisata. Angka itu memprihatinkan mengingat Singapura pada forum yang sama masuk dalam daftar top ten. Si Zamrud Khatulistiwa itu masih saja berkutat dengan ruwetnya rantai pemasaran yang menggerakkan sektor pariwisatanya.
Persoalan klasik
Sejumlah pelaku pariwisata yang bergerak dalam bidang travel agen mengeluhkan berbagai persoalan klasik. Minimnya koordinasi antar-dunia bisnis, investasi, dan pariwisata menyebabkan pembangunan pariwisata tidak terpadu dan bergerak tercerai-berai. "Kalau mau jujur dibanding menjual paket ke Indonesia Timur lebih murah dan mudah jualan paket wisata ke luar negeri," kata Tour Manager Amarcy Tour, Ledrik Laurika.
Ia mengaku begitu sulit menekan ongkos penerbangan yang menyebabkan budget paket wisata yang ditawarkan membengkak. Fakta itu menunjukkan belum adanya koordinasi menyeluruh antar-travel agen dengan pelaku bisnis pariwisata yang lain; maskapai penerbangan.
CEO A & T Tour and Travel, Awan Aswinabawa, mengamini hal itu. Kurangnya dukungan airline menyebabkan paket-paket wisata potensial seperti Lombok sebagai alternatif selain Bali menjadi paket yang relatif mahal. "Seharusnya airlines jangan hanya menggarap destinasi-destinasi yang itu-itu saja, cari destinasi lain dan tambah frekuensi terbang, serta turunkan harga tiket untuk destinasi yang potensial," katanya.
Di tangan ahlinya
Branch Office Manager Merpati Nusantara Airlines, RA Junaedi, mengatakan, benang kusut pariwisata Indonesia dapat diurai dengan menempatkan orang yang tepat di pos yang seharusnya pada waktu yang tepat. "Karena pada dasarnya bisnis pariwisata adalah bisnis kreatif," katanya.
Oleh karena itu, sektor pariwisata harus ditangani oleh ahlinya. Ia juga berpendapat dalam mendorong pariwisata maju, Indonesia harus bisa terlebih dahulu membangun ketertarikan. "Setelah terbangun ketertarikan, permudah akses untuk mencari produk yang kita tawarkan," katanya.
Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi NTB, Yaqoub Abidin, berpendapat pembangunan pariwisata harus terintegrasi dengan dunia perdagangan dan investasi. "Tourism, Trade, dan Investment merupakan tiga hal yang tidak bisa dipisahkan," katanya. Pada dasarnya Indonesia tidak perlu waktu lama untuk membangun pariwisatanya asalkan ada kemauan seluruh pihak dan bergerak serentak dalam satu koordinasi.
Sejatinya, Indonesia dari kaca mata pariwisata dinilai unggul dalam dua hal yakni dari ragam destinasi dalam hal sumber daya alam termasuk atraksi dan budaya, serta menjadi negara pelancongan "value for money". Dua hal itu saat ini strategis menjadi amunisi ampuh untuk menghadapi dua kompetitor terdekat Singapura yang terkenal mahal dan Thailand yang masih belum stabil pasca-konflik.
Direktur Promosi Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, I Gde Pitana, mengakui, Indonesia hanya kuat dalam dua hal yang disebutkan di atas. "Sementara beberapa faktor lain dalam kaitannya dengan pengembangan destinasi pariwisata kita masih lemah," katanya.
Kreativitas
Menurut dia, Indonesia sampai saat ini belum mampu memenuhi unsur aksesibilitas termasuk jalan yang memadai untuk mendukung usaha pelancongan. Ditambah belum optimalnya fasilitas-fasilitas sekaligus infrastruktur pendukung hospitality yang mengakomodir keberadaan turis yang berwisata. "Selain itu dari sisi kelembagaan dan manusia yang memberikan pelayanan kebutuhan wisatawan kita masih belum optimal," katanya.
Ia mencontohkan, masih sulit mendapatkan pemandu wisata yang mampu berbahasa asing (Rusia, Jepang, dan lain-lain) di destinasi-destinasi wisata andalan. Pitana menegaskan, pihaknya sudah membenahi berbagai hal dalam sektor pariwisata di Indonesia. "Dalam berbagai keterbatasan termasuk dana promosi kami sudah menerapkan strategi marketing new wave marketing yakni low budget high impact," katanya.
Pihaknya salah satunya menerapkan strategi mengangkat tokoh-tokoh dunia sebagai duta pariwisata Indonesia. "Belum lama ini kami mengangkat Phillip Kotler, bapak marketing dunia, sebagai duta pariwisata kita," katanya.
Ia mengakui, dana promosi Indonesia memang termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara atau hanya lebih tinggi dari Filipina. Pada 2007 saja, anggaran pariwisata Malaysia sebesar 100 juta dolar AS, Singapura 85 juta dolar AS, Thailand 50 juta dolar AS, Indonesia 18 juta dolar AS, dan Filipina 8 juta dolar AS. Namun, budget bukanlah segalanya lantaran pariwisata merupakan bisnis kreatif. Sehingga kreativitas adalah kunci untuk mengurai benang kusut pariwisata Indonesia (MBK/mbonk/Antara/bolinks@2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar