SEJARAH WAYANG GETHUK MAGELANG.

Borobudur Links | Januari 18, 2011 | 22.31 wib | Label: art and culture


Oleh: Mualim M Sukethi.

Borobudurlinks, 18 Januari 2011.
JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ungkapan Sukarno, presiden RI ke 1, itu menegaskan pentingnya sejarah bagi perjalanan suatu bangsa. Dengan memahami sejarah, suatu kaum atau bangsa, bisa mengenali (identitas) dirinya, serta menata dan mengarahkan orientasi kehidupannya di masa depan.
Magelang, sebuah kota yang usianya cukup tua. Lebih 1000 tahun, kalau dihitung dari prasasti Mantyasih (907 M). Namun dalam usia setua itu, kota yang dianggap pusatnya pulau Jawa, ini sedang direpotkan masalah pencarian identitas budayanya. Bahkan, wayang gethuk, salah satu ikon budaya kota itu, sedang dipersoalkan asal usulnya.
Sebuah Koran local mengangkat polemic seputar asal usul wayang yang merupakan varian wayang kulit itu. Polemik bermula dari Ki Ardi Gunawan, dalang wayang gethuk, yang mengaku sebagai pencipta wayang dari gethuk itu. Pengakuan itu menuai protes seniman lain yang mengetahui bahwa pencipta sesungguhnya bukan Ki Ardi . Polemic berkembang melibatkan birokrasi dari Disporabudpar Kota Magelang. Bahkan Joko Prasetyo, Wakil Walikota Magelang, menulis tanggapan via jejaring social facebook.

Masih Hidup.

Menelusuri sejarah wayang gethuk bukanlah sesuatu yang sulit. Eksistensinya masih tergolong muda. Pelaku yang terlibat dalam proses penciptaannya juga masih ada, hidup secara lengkap dan sehat di Magelang.
Tersebutlah nama Untung Laluna (perupa) dan Ki Sambi (seniman kethoprak) yang dianggap sebagai pencipta wayang gethuk. Ide yang muncul tahun 2004, itu merupakan kelanjutan dari kisah sukses mereka saat menampilkan ‘wayang geber’ di Bandung. Sukses ‘wayang geber’ itu mengilhami Untung untuk mencipta ikon budaya Kota Magelang.
Ketika ide itu dilontarkan, Pak Sambi dengan antusias mendukung. Seniman kethoprak itu mengingatkan keberadaan makanan anak-anak berupa sosok wayang yang dibuat dari adonan singkong (gethuk) pipih yang dibakar. Mungkin generasi yang lahir tahun 50-60an ingat terhadap makanan murah meriah yang saat itu banyak ditemui di Magelang.
Dari kreatifitas kedua seniman ini lahirlah wayang gethuk yang pertama kalinya dipentaskan oleh Dewan Kesenian Kota Magelang (DKKM), di gedung Kyai Sepanjang Magelang, mengangkat lakon ‘Dumadine Kutho Magelang’ (sejarah berdirinya kota Magelang). Karena mengangkat khasanah cerita local, maka karakter dan bentuk wayang pun relative baru.
Selanjutnya, tahun 2005, difasilitasi DKKM pula, wayang gethuk dipentaskan dalam festival wayang internasional di Jogyakarta. “DKKM dapat undangan dari panitia festival, kami lalu mengirimkan wayang gethuk yang khas Magelang itu, “ kata Drs Budiono, Mantan Ketua DKKM.

Dari hajatan di kota gudheg itulah wayang gethuk eksis sebagai varian wayang kulit. Kreativitas Untung dkk ini mendapat penghargaan berupa sertifikat dari Hamengku Buwono X, yang menyebutkan Untung sebagai penemu/pencipta Wayang Gethuk.
Sejak itu beberapa seniman mendatangi Untung minta ijin mementaskan wayang kreasi perupa lulusan UNS Solo, termasuk Ardi Gunawan. Kepada Ki Sambi, Gunawan juga meminta contoh wayang bikinan mantan pemain grup kethoprak Sapto Budoyo itu. Kedua seniman itu tak keberatan dengan harapan semakin banyak dipentaskan wayang kreasinya itu semakin dikenal masyarakat.
Terbukti kemudian, wayang gethuk terkenal sebagai ikon budaya Kota Magelang. Gunawan juga dikenal sebagai dalang wayang gethuk, dan menambahkan sebutan ‘Ki’ di depan namanya. Menjadi ‘Ki Ardi Gunawan’, layaknya sebutan dalang wayang kondang. Sampai di sini sebetulnya tak ada masalah.
Persoalannya muncul ketika kemudian Gunawan menyatakan proses penciptaan wayang gethuk versinya dimulai sejak tahun 1991, dan dimainkannya pada tahun 1999, yang berarti menafikan upaya kreatif Untung dan Ki Sambi. Gunawan juga mengakui kalau kasanah cerita wayang gethuk yang berusaha mengangkat cerita seputar sejarah kota dan wilayah Magelang itu sebagai idenya.
Ini yang disayangkan seniman lain di Magelang. Termasuk Untung dan Ki Sambi, yang sejak awal dengan sadar mengangkat ‘Babad Mantyasih’ dan sejarah wilayah Magelang lainnya, untuk memperkuat identitas wayang gethuk sebagai ikon budaya Kota Magelang yang khas milik kota gethuk itu.
Keprihatinan lain terhadap kiprah Ardi Gunawan adalah kemampuannya sebagai dalang yang relatif kurang memadai. Pemahamannya tentang seni pedalangan juga tergolong cethek. Terbukti dalam pentas wayang yang tergolong serius, ia tak berani tampil mendalangi wayang-wayangnya. Misalnya ketika dikirim oleh DKKM ikut dalam pentas wayang internasional di Jogya, menggantikan Untung dkk. Ia membawa dalang lain (Ki Yanto) yang memang memiliki kemampuan dalang lumayan komplit.

Inventarisasi.

Sesungguhnya polemic tak akan terjadi kalau seniman lain yang paham sejarah wayang gethuk menyebut Untung Laluna dan Ki Sambi sebagai penciptanya, dan membantah pengakuan Ardi Gunawan. Dengan alasan tak enak ‘melukai teman seniman lain’, mereka justru melempar masalah itu ke Disporabudpar yang seharusnya menginventarisasi dan memberi pengakuan resmi seputar aset kebudayaan di Kota Magelang.
Namun sikap para seniman itu bisa dimaklumi. Inventarisasi dan formalitas pengakuan memang bukan wewenang mereka, tapi tanggung jawab lembaga terkait, seperti Disporabudpar dan DKKM.

Masalah inventarisasi asset senibudaya Magelang memang memprihatinkan. Saya pernah berniat menulis masalah wisata kota pusaka (heritage) Kota Magelang. Namun data dan foto-foto dari Disporabudpar terasa kurang memadai dan banyak yang salah.
Contohnya tentang keberadaan ‘Gedung Bundar’, gedung berarsitektur unik yang terletak di Jalan Sriwijaya Magelang. Data Disporabudpar yang hanya terdiri 2 kalimat itu menyebutkan kalau bangunan itu didirikan oleh pemerintah Belanda. Padahal setelah saya selusuri dan ketemu ahli warisnya, gedung yang meniru Vila Isola Bandung itu didirikan oleh Tan Gwat Ling, seorang pengusaha hasil bumi, pada tahun 1934.
Untuk mendapat data akurat tentang gedung unik itu juga bukan persoalan yang sukar. Tinggal datangi gedung yang masih megah terawat itu, tanyakan siapakah ahli warisnya. Tinggal diwawancarai, plus informasi dari pihak-pihak lain yang dianggap mengetahui, jadilah sebuah tulisan yang cukup memadai secara jurnalistik serta valid sebagai data.
Demikian pula dalam hal Wayang Gethuk. Setelah mendengar Untung Laluna sebagai pencipta, saya langsung menemuinya. Dari Untung diketahui kronologi sejarah serta orang-orang yang punya kontribusi terciptanya wayang unik itu. Kemudian saya korek pengakuan orang-orang yang disebut Untung, dan saya yakini cukup kompeten dengan masalah ini, seperti Ki Sambi dan Drs. Budiono. Jadilah uraian atau data sejarah sederhana seperti yang saya tulis ini.
Namun kerja sederhana itu nampaknya masih enggan dilakukan. Bukan hanya Disporabudpar, tapi DKKM juga. Coba buka blog Disporabudpar dan website DKKM. Hampir tak ada informasi secuil pun yang bisa kita dapat tentang senibudaya Magelang.
Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri pejabat terkait, saya mengusulkan agar pemerintah kota/kabupaten Magelang membuat database asset budaya yang dimilikinya. Database semacam itu tentu sangat bermanfaat bagi kepentingan sosialisasi dan promosi budaya dan pariwisata.
Untuk melakukan segenap upaya sosialisasi dan promosi itu, saya juga mengusulkan agar dibentuk ‘Sekretariat Bersama Promosi Pariwisata Magelang Raya (Kota/Kabupaten)’. Saya pikir lewat sekber ini kerja sosialisasi dan promosi menjadi lebih terintegrasi dan efektif.
Saya pribadi senang terjadinya polemic ini. Bukan berarti saya mencintai kegaduhan. Karena lewat polemic semacam ini semakin jelas peta persoalan senibudaya di Magelang. Sehingga pihak-pihak berkepentingan: Pemkot, Disporabudpar, DKKM, dan teman-teman seniman lainnya, akan lebih mudah memahami dan membenahinya. Semoga catatan Joko Prasetyo mengawali langkah Pemkot Magelang memulai sejarah baru, seperti semboyan penutup catatannya: “Satukan Hati demi Kemajuan Kesenian Magelang !”. Bravo (bolinks@2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
  • 1st
  • 2nd
  • 3rd
  • 4th
  • 5th

Home | Mobile Version | Seni dan Budaya | Manusia Kreatif | Acara dan Berita | Festival 5 Gunung | Networking | Wisata
(c) 2013-2016 Modus Getar | Powered by Day Milovich